Kamis, 23 Juli 2009

Jangka Jayabaya

Jangka Jayabaya

Disusun Oleh: Arif Hartarta

Prabu Jayabaya , Raja Kediri kedatangan tamu seorang pendeta dari Rum bernama Maulana Ali Samsujen yang amat dihormati kerena terkenel sakti, pandai meramal dan tahu akan hal-hal yang belum terjadi. Jayabaya bertguru padanya.
Sang pendeta menerangkan berbagai ramalan yang tersebut dalam Kitab Musarar dan menceritakan penanaman orang sebanyak 20.000 keluarga oleh utusan Sultan Galbah di Rum. Orang2 itu ditempatkan di pegunungan Kendheng., lalu bekerja membuka hutan, tetapi banyak yang mati karena gangguan makhluk halus, setan brekasakan dsb. Hal itu terjadi pada th. Rum 437. Sultan Rum memerintahkan lagi penanaman orang di pulau Jawa dan kepulauan lainnya dengan mengambil orang2 dari India, Keling, Kandi, dan Siam. Sejak penanaman orang yang kedua kalinya itu sampai hari kiamat kobra terhitung 2.100 th. Matahari lamanya atau 2.163 th. Bulan. Sang Pendeta mengatakan, bahwa orang di Jawa yang berguru padanya tentang isi ramalan hanyalah Ajar Subrata di Gunung Padang.
Beberapa hari kemudian Jayabaya menulis ramalan pulau Jawa sejak ditanami orang yang kedua kalinya hingga kiamat kobra, lamanya 2.100 th. Matahari. Ramalannya menjadi Tri-takali, atau 3 jaman, yaitu:

1. jaman permulaan disebut Kali-Swara. Lamanya 700 th. Matahari(721 th. Bulan). Pada waktu itu di Jawa banyak terdengar suara alam, gara2, geger, halilintar, petir serta banyak kejadian2 ajaib. Karena banyak manusia menjadi Dewa dan Dewa turun ke bumi menjadi manusia.
2. jaman pertengahan (Kali-yoga)700 th. Banyak perubahan pada bumi. Bumi belah menyebabkan terjadinya pulau kecil2, banyak makhluk yang salah jalan, karena orang yang mati banyak yang menjelma (nitis Jw).
3. jaman akhir (Kali- sangara) -700 th. Banyak hujan salah mangsa (musim) dan banyak kali dan bengawan bergeser, bumi kurang manfaatnya. Menghambat datangnya kebahagiaan, mengurangu rasa “nrima”, sebab banyak manusia yang mati masih tetap memegang ilmunya.

Tiga jaman tsb. Masing2 dibagi menjadi Saptama-kala, artinya jaman kecil2, tiap jaman rata2 berumur 100 th Matahari (103 th Bulan), seperti berikut:

1. Jaman Kali- Swara:
1. Kala- kukila 100 tyh dari th. 1 – 100: hidupnya orang seperti burung berebutan. Siapa yang kuat, dia yang menang. Belum ada raja, jadi belum ada yang mengatur.
2. Kala-Buddha (th 101-200). Permulaan orang Jawa masuk agama Buda menurut syareat Hyang Jagad Nata (Batara Guru)
3. Kala-brawa (201-300): orang2 di Jawa mengatur ibadahnya kepada Dewa, sebab banyak Dewa turun ke bumi menyebarkan ilmu.
4. Kala-tirta (th 301-400): banjir besar, air laut menggenangi daratan. Disepanjang air itu bumi menjadi belah dua. Yang sebelah barat disebut pulau Sumatra, lalu banyak muncul sumber air, disebut umbul, sendang, telaga dll.
5. Kala-swabara (th 401-500): banyak keajaiban yang tampak atau menimpa diri manusia.
6. Kala-rebawa (th 501-600): orang di Jawa mengadakan keramaian2, kesenian dsb.
7. Kala-purwa (th 601-700): banyak tumbuh2an, keturunan orang besar yang telah menjadi orang biasa menjadi orang besar lagi.

II. Jaman Kala-Yoga:
1. Kala-brata (th 701-800): orang mengalami hidup sebagai fakir.
2. Kala-drawa (th 801-900): banyak orang mendapat ilham. Orang pandai menerangkan hal2 gaib.
3. Kala-dwawara (th 901-1.000): banyak kejadian yang mustahil.
4. Kala-praniti (th 1.001-1.100): banyak orang mementingkan olah pikir.
5. Kala-teteka (th 1.101-1.200): banyak orang dating dari negri2 lain.
6. Kala-wisesa (th 1.201-1.300): banyak orang yang terhukum.
7. Kala-wisaya (th 1.301-1.400): banyak orang memfitnah.

III. Jaman Kali- Sangara:
1. Kala-jangga (th 1.401-1.500): banyak orang olah kehebatan.
2. Kala-sakti (th 1.501- 1.600): banyak orang olah kesaktian
3. Kala-jaya (th 1.601-1.700): banyak orang olah kekuatan untuk tulang punggung kehidupannya.
4. Kala-bendu (th 1.701-1.800): banyak orang senang berbantahan akhirnya berbentrokan.
5. Kala-suba (th 1.801-1.900): pulau Jawa mulai sejahtera, tanpa kesulitan, orang bersenang hati.
6. Kala-sumbaga (th 1.901-2.000): banyak orang tersohor pandai dan hebat.
7. Kala-surasa (th 2.001-2.100): pulau Jawa ramai sejahtera, serba teratur, tak ada kesulitan, banyak orang olah asmara.

Ramalan yang ditulis Jayabaya itu diseujui oleh pendeta Ali Samsujen, kemudian sang pendeta kembali ke negrinya diantar oleh Jayabaya dengan putra mahkota Jaya Amijaya di pagedongan sampai di perbatasan. Jayabaya diiringi oleh puteranya pergi ke Gunung Padang, disambut oleh Ajar Subrata dan diterima di sanggar semadinya.
Sang Ajar hendak menguji sang Prabu yang terkenal sebagai penjelmaan Wisnu, maka ia memberi isyarat kepada pelayan-nya agar menghidangkan suguhan yang berupa:1. kunir (kunyit) satu akar, 2. juadah satu takir (mangkuk dari daun pisang), 3. geti (biji wijen bergula) satu takir, 4. kajar (sebangsa ubi rasanya pakit memabokkan) satu batang, 5. bawang putih satu takir, 7. kembang melati satu takir, 8. kembang seruni satu takir.
Ajar subrata menyerahkan hidangannya itu kepada sang Prabu. Seketika sang Prabu menjadi murka, menghunus kerisnya; sang ajar ditikamnya hingga mati, jenasahnya moksa/hilang. Pelayan-nyapun ditikam dan mati seketika.
Sang putra mahkota sangat heran melihat murkanyasang Prabu membunuh mertuanya (Ajar Subrata) tanpa dosa. Melihat puteranya sedih, sang Prabu berkata lemah lembut:
Ya anakku putera mahkota, janganlah engkau sedih karena matinya ,mertuamu, sebab sebenarnya ia berdosa terhadap Kraton. Ia bermaksud mempercepat berakhirnya para raja di tanah Jawa yang belum terjadi.
Hidangan sang Ajar menjadi perlambang akan hal2 yang belum terjadi. Kalau kusambut hidangan itu niscaya tidak akan ada kerajaan melainkan hanya para pendeta yang menjadi orang2 yang dihormati banyak orang. Sabda Prabu Jayabaya:
“Ketahuilah anakku, bahwa aku ini penjelmaan Wisnu Murti, berkewajiban mendatangkan kesejahteraan pada dunia, sedang penjelmaanku itu tinggal dua kali lagi. Sesudah penjelmaan di Kediri, aku akan menjelma di Malawapati dan yang terakhir di Jenggala, sesudah itu aku tidak akan lagi menjelma di pulau Jawa, sebab hal itu tidak menjadi kewajibanku lagi. Tata atau rusaknya jagad aku tidak ikut2 lagi, serta keadaanku sudah gaib.
Waktu itulah terjadinya hal2 yang diperlambangkan dengan hidangan sang Ajar tadi. Terdapat pada 7 tingkat kerajaan, alamnya berganti-ganti, berlainan peraturan. Wasiatkanlah hal itu kepada anak cucumu di kemudian hari.

1. Jaman Anderpati dalam jaman Kalawisesa, ibu kotanya pajajaran, tanpa adil dan peraturan. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa emas. Itulah yang diperlambangkan dalam suguhan Ajar Subrata berupa kunyit,. Lenyapnya kerajaan kerena pertengkaran diantara saudara. Yang kuat menjadi-jadi kesukaannya berberang dalam tahun rusaknya Negara.
2. Jaman Srikala Rajapati Dewaraja, ibu kotanya Majapahit, ada sementara peraturan Negara. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa perak. Itulah yang diperlambangkan juadah. Dalam 100 th kraton itu sirna, karena bertengkar dengan putra sendiri.
3. Jaman Hadiyati dalam jaman Kalawisesa. Disanalh mulai ada hokum keadilan dan peraturan2 negara, ibu kota kerajaan di Bintara. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa tenaga kerja. Itulah perlambang suguhan yang berupa geti. Kraton sirna karena bertentangan dengan dengan yang memegang kekuasaan peradilan.
4. Jaman Kalajangga, bertakhtalah seorang raja bagaikan Batara, ibu kotanya di Pajang. Disanalah mulai ada peraturan kerukunan dalam perkara. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa segala macam hasil bumi di desa. Itulah perlambang suguhan kajar sebatang. Sirnanya kerajaan karena bertengkar dengan putera angkat.
5. Jaman Kala-sakti. Yang bertahta raja binatara, ibukotanya mataram. Disanalah mulai ada peraturan agama dan peraturan perkara. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa uang perak. Itulah perlambang suguhan bawang putih.
6. Jaman Kalajaya dalam pemerintahan raja yang angkara murka. Semua orang kecil bertabiat sebagai kera karena sulitnya penghidupan, ibu kotanya di Wanakarta. Pengorbanan-pengabdian orang kecil berupa uang real. Itulah perlambang suguhan berupa kembang melati. Kedudukan raja diganti sesama saudara karena terjadi kutuk. Hilanglah manfaat bumi, banyak manusia menderita, ada yang bertempat tinggal di jalanan, di pasar. Sirnanya kraton karena bertengkar dengan bangsa asing.
7. Jaman Kalabendu di jaman raja Hartati, artinya yang menjadi tujuan manusia adalah harta. Terjadilah kraton kembar di Pajang-Mataram. Pengorbanan orang kecil berupa macam2: emas, perak, padi, beras dsb. Itulah perlmbang suguhan serunai. Makin lama makin tinggi pajang orang kecil, berupa senjata dan hewan ternak dsb, sebab Negara bertambah rusak, kacau keadilan raja, sebb pembesar2nya bertabiat buruk, orang kecil tidak manghormat. Rajanya tanpa keadilan, karena tak ada lagi wahyunya: banyak wahyu setan, tabiat manusia berubah-ubah. Perempuan hilang malunya, tiada kangen pada anak saudara, tak ada berita benar, banyak orang melarat, sering ada peperangan, orang pandai bijaksana terbelakang, kejahatan manjadi-jadi, orang berbuat kejahatan tetap menonjol, tak bisa dilarang, banyak maling menghadang di jalanan, banyak gerhana matahari dan bulan, hujan abu, gempa perlambang tahun, angin puyuh, hujan salah musim, perang rusuh2an, tak ketentuan musuhnya. Sirnanya raja karena bertentangan dengan saingganya. Lalu datanglah jaman kemuliaan, disaat itulah pulau Jawa sejahtera, hilang segala penyakit dunia karena datangnya raja yang gaib, yaitu keturunan utama disebut Ratu Amisan karena sangat hina dan miskin. Berdirinya tanpa syarat sedikitpun, bijaksana sang raja. Kratonnya sunyaruri artinya sepi tanpa sesuatu sarana, tidak ada suatu halangan. Waktu masih dirahasiakan Tuhan, ia tidak berharga, banyak orang tak mengetahuinya. Kehendak Tuhan membikin balik keadaan, ia menjadi raja bagaikan pendeta, adil paramarta, menjauhi harta, disebut Sultan Herucakra.

Datangnya ratu itu tanpa asal, tidak mengadu bala manusia, prajuridnya hanya Sirullah, keagungannya berzikir namun musuhnya takut.. yang memusuhinya jatuh, tumpes ludes menyingkir, sebab raja menghendaki kesejahteraan Negara, keselamtan dunia seluruhnya.
Ratu Adil berkerajaan di bumi Pethik dekat dengan kali Ketangga, di dalam hutan hutan Pudhak, Kacepit di Karangbaya. Sampai kepada puteranya ia sirna, karena bertentangan dengan nafsunya sendiri.
Lalu ada ratu Asmarakingkin, sangat cantik jelita, menjadi buah tutur pujian wadya punggawa, beribu kota di Kediri. Tak lama kemudian ia sirna karena bertentangan dengan kekasihnya. Lalu ada 3 raja dalam satu jaman di bumi Kapanasan, Gegelang, Tembalang. Sesudah 30 tahun, mereka salingf bertengkar, akhirnya ketiganya sirna. Kemudian ada raja dari seberang (lain negri?) yaitu Nusa Srenggi kemudian dirubuhkan oleh keturunan Heru Cakra. Kemudian disebut Negara Ngamartalaya. Sampai keturunan yang ketiga sampailah umur pulau Jawa genap 2.100 tahun Matahari.
Ket: ramalan2 itu menunjuk kerajaan2: 1. Jenggala, 2. Pajajaran, 3. Majapahit, 4. Demak, 5. Pajang, 6. Mataram, Kartasura, Surakarta, 7. Surakarta, Yogyakarta.
Yang terakhir mengenai hal yang belum terjadi, ialah;
1. Negara Katangga Pethik, tanah Madiun
2. Katangga Kacepit Karangbaya
3. Kediri
4. Bumi Kapanasan
5. Gegelang (Jipang), Tembilang (dekat Tembayat)
6. Ngamartalaya
Demikian pokok inti ramalan Jayabaya tanpa disertai ulasan, ungkapan, perbandingan, kesimpulan dsb, hanya translit dari kitab aslinya yang tersimpan di perpustakaan nasional negri Belanda, Neder land dan sebagian di Museum Jakarta Radya Pustaka Jawa Krama.
Kutipan teks pendek terjemahan bebas: “hendaknya kau usahakan terlaksananya ramalan itu, yaitu dalam tahun Jawa 1877 = candrasengkala Wiku sapta ngesthi ratu = tuju orang pendeta menghendaki seorang raja.
Tahun ini cocok dengan tahun masehi 1945 yaitu hari kemerdekaan RI.

SABDA PAMASA
Pupuh Sinom

Bait 1-11:
Menceritakan rusaknya tanah Jawa yang dilambangkan “wewe putih” bersenjatakan “tebu wulung”. Kedua lambang tersebut tak lain tertuju kepada tentara2 Belanda/sekutu. Kemudian datanglah pertolongan dari “cahya brit mijil saking wetan”(cahaya merah dari timur) yang mengarah kepada lambing bendera Jepang. Jepang menduduki tanah Jawa selama 44 bulan. Setelah itu di ramalkan tanah Jawa akan “jumeneng ngadeg pribadi”= merdeka.
Tanah Jawa kembali rusak, begitu juga moral dan tabiat orangnya. Ditandai dengan sengkalan tahun bulan: (lawang sapta ngesthi aji = 1879 = 1957 M) penuh angkara murka, perang, bencana. Separuh orang Jawa binasa, yang ingin hidup harus dengan syarat: eling, suci batin, tobat dan menjalani ajaran2 para leluhur kuno. Mati di dalam hidup, hidup di dalam kematian.
Bait 12-19:
Menceritakan saat Brawijaya V masuk agama Islam dan ditentang oleh pamomong agung tanah Jawa. Brawijaya sangat menyesal (lihat sejarah runtuhnya Majapahit oleh Demak). Karena hal ini Sabdha Palon akan menuntut balas kepada orang Islam palsu setelah 500 tahun dihitung mulai hari itu. Runtuhnya Majapahit ditandai dengan sengkalan “sirna ilang kertaning bumi” (1400 caka = 1478 M). hal ini berarti 1478 + 500 th = 1978. pada tahun ini terjadi G 30 S/PKI pembantaian kejam.
Prabu Jayabaya meramalkan sampai 21 jaman, dalam tiap jaman berisi ramalan 100 tahun.

Ramalan2 pendek tentang JAMAN EDAN yang diambil dari metrum tembang:


1. akeh wong wani nglanggar sumpahe dewe
2. kali ilang kedunge
3. pasar ilang kumandhange.
4. wong ala kapujasing bener thenger2, sing laknat munggah pangkat
5. wong salah bungah, wong apik ditampik
6. wong duraka pinarcaya, wong lugu keblenggu
7. sing jirih ketindih, sing ngawur makmur
8. sing waras nggragas.
9. wong tani ditaleni
10. wong dora ura2, wong suci bilahi
11. tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati
12. ratu dadi kawula, kawula dadi ratu
13. akeh wong mati kaliren ing sisihe pangan.
14. wong adil uripe kepencil
15. sedumuk bathuk, senyari bumi.
16. sarjana, sujana kontit
17. wadon ilang wadine
18. akeh wong wadon kumpul pada wadon
19. wong pinter diingel-ingel, wong bodho dikono-kono
20. akeh wong mendem donya lan pangkat
21. kang ikhtiar bubar
22. wong alim pepulasan, njaba putih njero langking
23. akeh wong mbadal janji
24. nulung kepenthung
25. wong sugih jirih
26. wong bebojoan njaluk pisah
27. akeh wong tan pracaya ukuming kodrat
28. maling lungguh, wetenge mblenduk
29. ukum agama dilanggar
30. wong momong mitenah sing dimong.
31. ana kreta tanpa kuda
32. pulo Jawa kalungan wesi
33. ana prau mlaku ing gegana
34. ana swara tanpa rupa
35. bumi mengkeret
36. jaran doyan mangan sambel
37. wong Jawa ilang jawane
38. wong Jawa kari separo
39. Cina-Landa kari sajodho
40. ratu murang sarak
41. ratu seneng duwe wanita akeh.
42. akeh omah neng nduwur jaran
43. keh bencana tan kanyana.
44. akeh wong adol ilmu
45. agama kanggo kekudhung, anuruti hardening napsu
46. wong sregeb kerungkeb.




Ramalan Sri Aji Jayabaya atas penguasa Jawa setelah Jaman kerajaan di Jawa

(Cri Maharaja Sang Apanji Jayabhaya Cri Warmecwara Maddusudhanawatara Sultrtasinghapakrama / Digjajotunggadewa nama)

1. Satria Kinunjara Murwa Kuncara (ksatria yang dipenjara, tetapi membuka kebebasan = kemerdekaan)
2. Satria Mukti Wibawa Kesandhung Kesampar (ksatria berkuasa dan berwibawa tetapi pada akhirnya tersandung dan tersampar)
3. Satria Jinumput Sumela Atur (ksatria yang hanya diambil/dipungut untuk menyela bicara)
4. Satria Lelana Tapa Ngrame (ksatria pengembara yang sedang bertapa/ruhaniawan)
5. Satria Piningit Hamong Tuwuh (ksatria yang bersembunyi dari pertapaan, kemudian keluar sebagai pemimpin karena hamong tuwuh dari keturunannya
6. Satria Boyong Pambukaning Gapura (satria yang berpindah tempat dan membuka gerbang kemakmuran)
7. Satria Pinandhita Sinisihan Wahyu (ksatria yang berjiwa brahmana, adil, tidak mementingkan duniawi sehingga sering disebut Ratu Adil “satria piningit”. Keadaannya masih dirahasiakan Tuhan. Datang dari puncak spiritual Illahi, bersenjatakan “Trisula Weda” (tiga ketajaman/kepercayaan kitab = Hindhu/Budha – Kristen – Islam), diikuti jutaan Gathutkaca (prajuri Sirullah/prajurit langit), didukung oleh Dewi bermahkota air dan matahari)

Pengantar Mengenal ‘Alam’ Teater

Materi Pengantar Mengenal ‘Alam’ Teater

Paling tidak, teater merupakan mimikri realitas maupun non realitas kehidupan maupun ide itu sendiri. Dan seharusnya, atau paling tidak lagi, teater adalah simbol dari pada simbol itu sendiri (the man is animal simbolicum), karena ada pendapat bahwa kehidupan adalah simbol atau teks, dan teks adalah gejala simbolisme, sedangkan ’hidup’ adalah tafsir. Artinya peristiwa itu adalah teater.
Jangan kaget, memang ada yang mengatakan bahwa teater hanya seni pertunjukan, tontonan panggung. Paradikma kan lain-lain. Kalau kita bicara tentang drama, ia memiliki beberapa bentuk;
1. tragedi (ending’e ngenes)
2. komedi (ngakak thok kaya nguwaske raine ucup, ncus, kenthir; api ”...” kucing. Mambu cah...
3. tragikomedi (gabungan)
4. melodrama (mawek terus)
5. farce (lebai, tapi memang itu gaya yang dipilih)
6. parodi (putar balik fakta nggo ngakak, biasane tokoh yang diambil sudah terkenal)
7. satir (saka Yunani; untuk mencemooh, mengejek dengan pembawaan getir)
8. musikal (full musik, dialog jg pake nyanyian)
9. Opera (kabeh pemaine nyanyi komplit orkestrane, tur suarane...wuih, paling ora kaya cah-cah paduan suara kae lo).

Beberapa kebenaran:
• Kebenaran subyektif
• Kebenaran obyektif
• Kebenaran sains
• Kebenaran seni
• Kebenaran filsafat
• Kebenaran religi/kepercayaan/agama
• Kebenaran hakiki
Dalam perkembangannya, nilai kebenaran diukur dari tiga (3) hal; faktual, ide, dan seni. Artinya, bahwa nilai-nilai kebenaran dunia bisa diukur dengan paradikma. Di dalam seni (karya) tidak ada pernyataan ”salah”, yang ada hanya mungguh dan tidak mungguh (menurut hukum etik – estetik setempat dimana kesenian itu dicipta).

Lembaga kebenaran:
1. Filsafat
2. Agama
3. Seni
4. Sains



Formula Dramaturgi:
Teater merupakan salah satu wujud kesenian. Dalam dramaturgi, terdapat empat (4) formula pembangunnya;
• Ide
• Karya
• Sajian (teks perform)
• Penonton
Setelah melampaui 4 anazir diatas, baru muncul apa yang disebut reaksi.
Salah satu tolok ukur seni adalah kemiripan, dan seni itu sendiri adalah atau paling tidak merupakan ”trik”.

Jenis Teks Tontonan:
1. Teks Klasik
2. Teks Borjuis
3. Teks Radikal
Yang perlu dimengerti adalah bahwa estetika adalah ciptaan Tuhan, dan seni merupakan mimikri atau tiruan dari estetika itu (karya manusia). Di dalam seni, paling tidak memiliki empat prinsip; (1) seni untuk seni, (2) seni untuk masyarakat, (3) seni untuk agama, dan (4) seni untuk politik.

Macam Penyutradaraan:
• Absolut
• Relatif
• Bebas
Seorang tokoh Prancis, yaitu si Klee mengatakan bahwa teater merupakan kenyataan yang masih belum dipahami manusia masa kini, dan teater memiliki tugas memukul bahasa agar menyentuh hidup.
Teater tradisi di Jawa Tengah, Solo – Jogja khususnya (kethoprak nda!!!), memiliki ciri khusus pada awal perkembangannya, yaitu bersifat natural. Akhirnya, gelem ra gelem, mau tidak mau performennya menjadi sebuah kursus action utawa akting. Bener ta tulisanku bahasa Inggris kuwi? Kesel aku nulis bahasa indonesia, ra kulina nda...

Komponen Pementasan
Akeh banget komponen pembangun pementasan (utamane kethoprak), tak sebutke kaya ing ngisor iki;
• Pemain (tokoh dan pengiring)
• Penonton
• Teks critane
• Akting
• Lighting
• Sutradara
• Managemen


Pemain
 Btw tentang pemain, pemain kuwi kudu menguasai kosakata apawae lan nguasai frame critane. Biasane crita-crita thoprak lawas kuwi wis ana bakune walaupun varian-e ya oara sethithik (sing diowahi paling kelir-ane utawa alure). Yen 2 kuwi wis kecekel, mesthi gampang mengkondisikan swasana pementasan alias ’ora mati’, ora gampang dipateni. Kecuali crita carangan lo cah...
 Aja lali, make-up karakter kuwi menentukan banget. Kostum juga penting, mergane sok-sok isih dipakai kanggo icon.
 Nek jaman sakiki, garap iringan juga menentukan greget, nges, lan ngreng-senge adegan lo.
 Vocal nda. Penting kuwi. Artikulasi, intonasi kudu jelas. Menggo tak tuliske sedhikit teori tentang vocal ro ekting.
 gestur utawa bahasa tubuh kuwi kanggone thoprak mbiyen, menentukan banget cengkremane iringan. Pengiring biasane membaca gerak tubuh utawa nggatekne isyarat vocale pemain nggo nyirep utawa siak utawa nyuwuk-ake iringan. Kuwi yen sing nuthuk kenthongan ngantuk kaya aku mbiyen...tur kerep. He..he..he...

Empat faktor yang harus diperhatikan dalam olah focal, ati2..iki rada bahaya cah...;
 napas; dada, diafragma, perut, dan bawah perut (dudu manuk kutut lho...)
 pita suara
 bunyi
 kata
Artikulasi yo penting banget. Alat melatih artikulasi yaiku; rahang, mulut, otot sekitar mulut dan muka, lidah, bibir.
Wahai para aktor, jangan engkau menjadi pembohong, lihat apa yang akan kamu ucapkan !!! pahamkah???!

Sedikit Tentang Akting
Untuk memainkan peran dengan baik, anda harus bersikap pasrah , menerima, pencintai peran tersebut (yang diberikan kepada anda). Apabila anda menolak di dalam hati, atau membenci peran tersebut, maka anda tidak mengenal peran itu. Akibatnya, anda akan bermain buruk, tidak hidup atau tidak semu. Ingat, itu hanya ekting di panggung atau di media elektronik.
Hakikat daripada akting adalah menghidupkan sebuah peran yang asalnya mati dari sebuah naskah. Harus anda hidupkan secara struktur, seutuhnya sebagai manusia atau apapun yang memiliki gerak gerik, bentuk, ekspresi pikiran serta perasaan. Modal utama seorang aktor adalah;
 Pikiran; konsentrasi, imaginasi, ingatan emosi (intelektual), di + pengamatan, motivasi – tujuan/makna, dan penafsiran skenario.
 Perasaan; emosi (jiwa) dan penghayatan.
 Vocal; artikulasi dan intonasi (suara dengan ’emosi’ maksud)
 Tubuh; gerak = pemanasan, eksplorasi, penyesuaian dengan ”...”(suara-gerak)
Modal di atas tidak akan berarti apa-apa apabila anda tidak melatihnya dengan sungguh-sungguh dan ajeg.
Penafsiran Skenario
Setelah mendapatkan naskah dari sutradara, janganlah langsung dihafal. Baca berulang-ulang terlebih dahulu sampai anda mengerti betul isi ceritanya. Setelah itu baca lagi adegan demi adegansampai anda mengerti maksud dari adegan yang akan anda mainkan. Anda wajib bertanya kepada sutradara serta mendiskusikannya. Aktor profesionalpun akan menurut kepada pak sutradara, walaupun sutradara pendatang baru. Itulah salah satu ciri profesional.
Ingat!!! Jangan sekali kali melakukan sesuatu, baik dialog ataupun gerakan yang tidak anda mengerti maksudnya.

Penafsiran Peran
Setelah anda mengetahui, mengerti isi cerita dari skenario, langkah berikutnya adalah penafsiran peran sing kudu utawa arep tok main’ke, peran'ke. Rumuse;
 Nama tokoh
 Umur
 Profesi
 Latar belakang (sos, pend, eko, dsb)
 Gerakan
 Gerak-gerik
 Suara
 Kebiasaan
Apabila ada yang belum dimengerti, lebih baik konsultasikan dengan sutradara. Jangan gengsi atau malu bertanya kepada sutradara, karena memang sudah tugas sutradara mengatur mengarahkan pemain.
Sebagai paragraf penutup, saya ingin mengingatkan kepada kanca-kanca kabeh, bahwa inti daripada akting kuwi ”emosi”, tapi bukan dalam pengertiannya secara dangkal. Emosi dalam arti rasa, yaitu mengolah kepekaan rasa (rasa-pangrasa), rasa-ne dinggo, ora mung nalar-e thok. Semoga tulisan ini berguna. Nuwun

Dening: Ki Hartarta Sang Amurwa Bhumi
(Klaten, 22 Nov 2008 – tlas sinerat: 08. 25 WIB)

motto

o Becik ketitik, ala ketara; sing sapa mbibiti ala, wahyune sirna.
o Aja dumeh; ndhak keweleh
o Ngilmu iku kelakone kanthi laku

”Eksistensi Seniman Klasik dan Kontemporer pada Era Globalisasi”

”Eksistensi Seniman Klasik dan Kontemporer pada Era Globalisasi”
(Wilayah Eks-Karesidenan Surakarta)
Oleh: Arif Hartarta

A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan seniman kelas madya dan bawah di wilayah eks-karesidenan Surakarta sungguh sangat membingungkan pun memprihatinkan. Pasalnya, bagi para pelaku dan penghayat ’kesenian klasik’ menganggap bahwa bentuk-bentuk lain atau dekontruksi karya seni oleh seniman-seniman radikal untuk kemajuan, dianggap oleh seniman klasik sebagai wujud ’melacurkan seni’. Sementara di kepala para tokoh seni radikal, hal itu justru merupakan wujud pelestarian karya seni dengan jalan dekontruksi demi eksistensi kesenian atau karya itu sendiri. Dilema yang nampak adalah bahwa cita rasa jaman yang diperankan oleh beberapa kubu, seperti: kubu pelestari (klasik), penikmat, dan kubu pembaharu (radikal) selalu terjadi konflig hantam menghantam dan saling menjatuhkan antara satu kubu dengan kubu lainnya. Menyikapi fenomena semacam, munculah pertanyaan ”apakah ”yang klasik” mampu bertahan dalam kondisi hiper realis?”. Di sana-sini semua orang berkomentar, dan komentar-komentar itupun hanyalah tautologi yang selalu malah membawa persoalan-persoalan baru, bukanya sesuatu yang solutive.
Berbicara tentang produk budaya, maka kita (mau tidak mau) harus di/terpaksa melihat pasar. Pasar kultural akan berjalan berbeda jauh dengan pasar yang mementingkan pelayanan sosial. Sebagian pasar budaya merupakan cara untuk mendapatkan hal-hal yang sebelumnya bersifat aurastis, yang hanya tersedia bagi kaum elite kepada kelompok masyarakat yang lebih luas.
Kondisi hiper realis memang sudah membunuh keberadaan eksistensialisme, dimana si pelaku tidak lagi menjadi dirinya sendiri melainkan mencoba mengkloning diri menjadi orang atau sesuatu, produk yang lain. Pergeseran nilai-nilai sosial lokal selalu menimbulkan konflig, namun konflig sendiri merupakan ciri kemajuan, ciri pertahanan, dan ciri pelepasan. Dikatakan sebagai sebuah proses menuju kemajuan dengan alasan bahwa menurut teori konflig di dalam kehidupan sosial masyarakat pasti terjadi persaingan, dan yang dipersaingkan adalah sebuah ide, praktik, kenyataan yang dianggap sebagi kemajuan (jaman). Dikatakan sebagai pertahanan dengan alasan bahwa di suatu masyarakat pasti masih menyisakan ruang bagi kelompok penghayat tata nilai lama. Dalam kondisi pergeseran cita rasa jaman, orang-orang ini juga berjuang untuk mempertahankan nilai-nilai yang diwarisinya secara kompetitif juga. Bagi seniman radikal, mereka menganggap semua yang ada merupakan belenggu, sehingga mereka mulai berfikir untuk mencari jalan keluar atau pembebasan walaupun akhirnya toh mereka akan terjebak dalam sistem struktur juga sebagaimana Derrida-pun tidak mampu menyatakan karyanya yang memang mustahil untuk dilaksanakan.
Berperilaku local berfikir global, nah itulah motto yang sering kita baca di liflet-liflet seminar, dan di baliho-baliho pinggiran jalan. Namun apa maksud sebenarnya dari moto berperilaku local dan berfikir global ini? Sebelum lebih jauh menelusuri paradikma sosial dunia seniman, akan lebih baik penyusun sampaikan beberapa masalah yang akan penyusun ulas dalam paper singkat ini.

B. Sejarah Pemahaman Seni
Sebagai pengantar dalam paragraf ini, penyusun mengutip pernyataan lisan tradisional yang berkembang di kalangan seniman Jawa yang berbunyi ”Seni kuwi larang dituku duit, murah yen ditembung”, artinya bahwa karya seni itu pada hakikatnya sangat mahal hingga tidak bisa diukur dengan penghargaan berupa uang atau materi, tetapi sangatlah murah apabila hanya diminta. Edward Shills, seorang ahli ilmu sosiologi Amerika dewasa ini berpendapat bahwa awal mula tiga fungsi ilmuwan, seniman, agamawan masih dirangkap oleh satu orang yang dianggap paling bijak di dalam sukunya. Kita tidak berhenti pada gejala-gejala yang kelihatan itu, tetapi kita mencoba menerobos dan melihat apa yang tersembunyi di balik gejala-gejala tersebut. Pengalaman estetik itu tidak hanya ingin tahu, tetapi mengikutsertakan daya-daya lain dari dalam diri kita, seperti misalnya kemauan, daya penilaian, emosi, bahkan seluruh diri kita. Dokumentasi sejarah perkembangan seni bisa di runut dari sejarah pengetahuan Yunani. Cita-cita pendidikan yunani adalah mencapai keindahan.
Pada awal perkembangannya, alamlah yang merupakan sumber utama dari pengalaman estetik. Menurut pandangan Klasik itu pula, maka terjadinya suatu karya seni berpangkal pada pengalaman estetik yang timbul dari perjumpaan dengan alam. Pada saat pengalaman estetik manusia merasa bahagia, merasakan suatu ”ekstatis”. Tetapi saat itu mungkin hanya berlangsung selama beberapa detik, pasti tidak lama. Saat matahari yang sedang terbenam mewarnai awan-awan dengan warna-warni yang indah, mungkin hanya berlangsung selama sepuluh menit. Lalu habis. Lalu seniman ingin mengabadikan saat yang membahagiakan itu, dan terjadilah karya seni. Dan setiap kali ia memandang karyanya itu ia teringat kembali akan saat yang indah itu, karena karya itu bersifat simbolik; lewat lambang-lambang membangkitkan kembali, mengingatkannya kembali pada saat itu. Dan setiap orang yang mengamati karya itu lalu juga menangkap isyarat-isyarat, lambang-lambang itu, dan dapat turut merasakan apa yang dirasakan oleh sang seniman.
Demikianlah secara sangat singkat dan sangat implistis, salah satu teori mengenai terjadinya sebuah karya seni. Nanti kita masih akan meninjau beberapa teori lain mengenai genesis atau riwayat terjadinya sebuah karya seni. Cukuplah di sini kita menyimpulkan, bahwa menurut teori manapun sang seniman ingin mengungkapkan isi hati dan pengalaman spiritualnya lewat lambang-lambang, entah lambang visual (lukisan, patung), entah lambang auditif (lewat pendengaran : bahasa dan musik), entah langsung lambang jasmani (seni tari, sikap badan).
Persoalan lain yang juga masih harus kita bicarakan, ialah sejauh mana sebuah karya seni hanya menampilkan pengalaman tentang keindahan. Sejauh mana seni modern misalnya menimbulkan getaran keindahan dalam hati kita. Masalah ini pun harus kita tunda sampai nanti.
Tetapi, sebelum kita meneruskan pembicaraan kita, ada sebuah pertanyaan praktis yang mungkin telah timbul dalam hati pembaca budiman. Sudah beberapa kali saya memakai istilah ”estetik” : pengalaman tentang keindahan saya samakan dengan pengalaman estetik. Apa artinya kata ”estetik” itu? Estetik bererti mengacu pada yang indah, artinya karya seni seharusnya bersifat indah. Namun makna indahpun sekarang telah kehilangan makna konvensionalnya. Para penganut poststruktur telah memberikan makna indah dengan wujud representasi lain, yaitu total dan tidak terikat dengan apapun.
Berbeda dengan Jean Paul Sartre, seorang penganut eksistensialisme yang menyatakan bahwa ’manusia adalah subjek yang otonom, tanpa terkait pada apapun, manusia bebas total, karena eksistensi manusia mendahului esensi’, Strauss mewartakan sebuah ide perlawanan yaitu bahwa manusia sebagai subjek itu tidak seotonom yang Sartre bayangkan. Manusia tidak selalu bertindak sadar dan membuat pilihan-pilihan dalam kebebasan total, tetapi ada ’struktur’ yang diam-diam, tanpa disadari, serta menentukan tindakan dan pilihan-pilihan partikular dalam individu-individu.
Levi-Strauss tertarik meneliti tentang human mind atau nalar manusia dan mencoba memahami strukturnya, ia tertarik pada sifat ’nirsadar dari fenomenal sosial (Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2006). Menurut Strauss, struktur mental memaksakan kekuatanya dengan mengabaikan peranan subjek yang tidak sadar terhadap apa yang tengah terjadi. Lebih lanjut ia katakan bahwa ”apa yang disebut ’kesadaran kolektif’ pada analisis akhirnya akan menjadi tak lebih dari sekedar ekspresi pada tingkat pemikiran dan perilaku individu, pada keadaan ruang dan waktu dari hukum-hukum universal yang mendorong terjadinya aktivitas pikiran bawah sadar” (lihat Dominic Strinati, 2004).

C. Seni Kemasan dan Pe-Label-an Model Kapitalis
Jawaban untuk masalah yang pertama memang masih bersifat indeks. Apabila kita runut dari sejarah perkembangan karya seni, karya sastra, maka makalah ini akan begitu panjang lebar. Penyusun mengkonsentrasikan diri dan mencoba membuat prediksi-prediksi tentang apa yang akan terjadi pada diri seniman kelas madya ke bawah untuk beberapa tahun mendatang. Penyusun tidak berbicara tentang filsafat dan hakikat sebuah karya, namun akan lebih menyoroti ke dalam keadaan ’budaya konsumtive’. Di sini, perhatian utama terletak pada komunikasi dan objek-objek kultural. Selain itu, perlu disadari bahwa komoditas dan pasar tidak harus selalu merupakan hal yang sama. Dalam kapitalisme, cara-cara dan dan sasaran produksi harus memiliki kekuatan tukar.
Dalam seni primitif, pertengahan, dan kebangsawanan, penerimaan besifat kolektif. Sebaliknya, dalam seni otonom dan auratik penerimaan terindividuasi dan penikmat terserap dalam karya tersebut. Praktik-praktik karya sastra, karya seni kontemporer menurut penyusun adalah lebih merupakan penolakan dari karya-karya seni kebudayaan tinggi sebelumnya. Yang jelas bahwa penerimaan, konsumsi, dan kelahiran sebuah produk budaya (karya) berlangsung dalam kondisi ”kacau”.
Para pencipta karya seni auratik merupakan individu yang mempunyai sifat unik, berbakat, dan kreatif. Mereka masih menuangkan nilai-nilai ke-Agung-an, dan yang jelas mereka masih memiliki pengikut. Mungkin mereka memunafikkan diri dengan selera jaman. Seorang pujangga besar keraton Kasunanan Surakarta yaitu Raden Ngabehi Ronggowarsito pernah menulis konsep ’Jaman Edan’ dalam serat ”Kalatida”-nya yang prinsipnya bahwa apabila jaman itu datang (jaman edan) dan kita tidak mengikuti polanya alias tidak ikut ngedan, niscaya kita akan kelaparan. Namun selalu ada harapan sebagai pelipur lara yang menyertainya, bahwa janganlah kuatir karena keberuntungan orang yang sedang lupa (gila, edan) masih lebih besar keberuntungan manusia yang selalu waspada dan sadar.
Melihat indeks dan fakta yang ada, pembicaraan akan penyusun arahkan ke pembahasan tentang seni kemasan dan label. Sebagai contoh kecil penulis suguhkan fenomena celana jeans produk Tanah Abang; industri tekstil di Tanah Abang terkenal dalam memproduksi pakaian. Pakaian-pakaian itu di beli oleh pengusaha dagang produk kenamaan kemudian di bubuhi merk ’Lea’ buatan Amerika, lalu di kemas sangat menarik, dipasarkan di mall-mall besar dengan membandrol harga yang luar biasa mahal, toh laku juga. Keuntungan yang raub si pengusaha pemilik merk dua kali lipat dari modal awal. Artinya, bahwa produk Tanah Abang merupakan simulakrum produk dan gaya Amerika. Kelemahan sistem kapitalisme seperti ini adalah produk dan local genius tidak memiliki kebanggaan fundamen. Tetap saja ada pihak yang di tindas, tidak jauh beda dari jaman revolusi industri. Menurut pengetahuan kosmologi Cina, fenomena tersebut disimpulkan bahwa belum terjadi keseimbangan antara ’Yin’ dan ’Yang’.
Namun, untuk sementara waktu ini, metode yang bisa ditempuh oleh para seniman klasik untuk bertahan adalah mengikuti cara tersebut dengan prinsip Jawa ”ngeli nanging ora keli’ yang artinya menghanyut boleh, tapi jangan benar-benar hanyut, dengan masih memegang prinsip-prinsip pokok. Mereka hanya perlu merubah kostum luarnya saja dengan menumpang pada hal-hal, sesuatu yang sedang banyak dicitrakan. Inilah yang penyusun maksudkan dengan berperilaku lokal berfikir global. Setelah melakukan observasi, penyusun memiliki keyakinan bahwa nilai-nilai lokal tidak sepenuhnya hilang, karena memori itu tersimpan dalam superego yang digambarkan oleh Freud seperti fenomena gunung es terapung di tengah lautan. Jadi, jawaban untuk masalah no satu (1) adalah mampu apabila si pelaku seni (seniman klasik) mau berfikir kreatif dan cerdas. Memang sudah sangat masyur di masyarakat bahwa seniman memang tidak ahli beriklan dan tidak ahli managemen, dan sekaranglah waktu yang tepat bagi seniman untuk merubah pandangan atau image seperti itu.
Dilihat dari paradikma teori konflik, fenomena persaingan seniman klasik dan radikal justru akan menjadi motivasi usaha yang kuat dari kedua belah pihak. Secara otomatis mereka akan mengembangkan tingkat kreatifitas dalam berkarya. Walaupun begitu, sudah dapat dipastikan bahwa kelompok yang satu akan menjadi ’yang asing’ bagi kelompok lainnya.

D. Hilangnya Perbedaan
Setiap wujud produk, baik yang bersifat ide, benda, dan ’yang sosial’ sebenarnya telah memiliki pasar masing-masing, hanya secara kuantitas yang menjadi pembedanya secara eksplisit. Memang seharusnya pemerintah mengelola sebuah lembaga khusus yang menangani marketing produk seni, dan mampu menjadi wadah kreatifitas seniman, baik yang beraliran klasik maupun kontemporer. Cara lain yang seharusnya ditempuh adalah membuka wilayah otonom pemasaran produk, maksudnya memberi ruang gerak bagi masing-masing aliran seni, dan pada akhirnya akan menarik selera masing-masing pasar, peminat, dan pengamat. Untuk hal-hal seperti ini memang perlu menerapkan faham sekuler. Apabila di lihat dari pengertiannya, pengertian, pemahaman seni, seniman di jaman ini terasa kabur dan abstrak, hal ini sebenarnya akibat dari pergeseran nilai dari ’yang sakral’ ke profan. Pergeseran nilai inipun adalah karena imbas dari konsep pemikiran poststruktur.
Dalam hubungan sebagaimana diungkapkan di atas, partikular dan universal secara unik berada dalam hubungan yang tak berperantara satu sama lain. Lebih spesifik, tidak terdapat istilah ketiga di mana pemisahan antar keduanya itu diperantarai.ketika unsur transendental itu lenyap, problem yang timbul dari persamaan tingkat bahkan menjadi lebih kentara. Dengan demikian apa yang menjadi universal dalam etika adalah individu itu sendiri. Bahwa partikular menjadi universal berarti meruak individualisme masyarakat itu sendiri.
Masalah representasi masyarakat pertama dan terutama merupakan persoalan simbolisasi masyarakat, sebagai universal atau sebagaimana dijelaskan di atas sebagai perpaduan pertikular-partikular. Pentingnya pembedaan antara bentuk itu, lebih lanjut merupakan pokok dalam memahami dan mengkontraskan fenomena klasik dan kontemporer. Akhirnya, kita pasti ingat bahwa persoalan yang dihadapi oleh representasi publik dan pribadi tertentu yang digambarkan sebagai penyatuan adalah setiap sistem referensi diri yang pada akhirnya adalah bagian yang mendukung keseluruhan.

E. Simpulan
Pada hakikatnya, berkarya adalah bukan untuk menafsirkan yang kelihatan, tetapi menerjemahkan agar menjadi kelihatan. Produk klasik masih mampu mempertahankan ruang geraknya apabila dikelola dengan baik dengan jalan selalu berfikir kreatif, karena kreatifitas adalah salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang seniman.
Menghilangkan adanya perbedaan yang tidak jelas sumber masalahnya, karena hal tersebut hanyalah tautologi semata merupakan cara yang harus ditempuh untuk mengkondisikan seniman klasik dan kontemporer.

Siti Hinggil Kasunanan

BENTUK, MAKNA, FUNGSI BANGUNAN DALAM LINGKUP SITI HINGGIL KARATON SURAKARTA HADININGRAT
Oleh: Arif Hartarta
Pengantar
Berbicara tentang suatu bentuk, makna, dan fungsi akan menggiring pembicaraan ke pelbagai dimensi yang bersifat discourse. Bentuk, makna, dan fungsi sebenarnya memiliki ruang dan waktunya sendiri, dan itu akan selalu bersifat historis. Bentuk, makna, dan fungsi akan berubah dan terdekontruksi menurut waktu atau alam mental masyarakat penghayat.

Deskripsi Kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat
Wilayah Kompleks bangunan Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat menghadap kesebelah utara. Kompleks Siti Hinggil diawali dengan memasuki wilayahnya dengan melewati pintu sebelah utara yang disebut dengan kori wijil pisan dengan anak tangga yang menyertainya yang juga terdapat sela pamecat yang terdapat di tengah-tengah tangga. Setelah melewati pintu tersebut kita dihadapkan pada bangunna terbesar dan terluas yaitu bangsal Sewayana. Setelah itu didepan atau tepatnya masih di bangsal Sewayana tersebut terdapat bangsal Manguntur Tangkil. Setelah melewati bangunan tersebut dibelakangnya terdapat bangunan yang dinamakan bangsal Witana yang juga terdapat bangsal manguneng.
Bangsal witana sebagai pusat bangunan yang ada di Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat dan merupakan salah satu bangunan yang dikeramatkan oleh masyarakat sekitar Karaton. Bangsal manguneng ditengahnya terdapat ruangan tertutup yang digunakan untuk menyimpan dan melestarikan meriam Nyai Setomi. Disebelah selatan bangunan ini terdapat aling-aling/rana dan dibelakangnya terdapat tangga ke barat dan timur setelah itu terdapat pintu keluar sebelah selana yaitu kori renteng.
Selain bangunan-bangunan pokok tersebut masih terdapat bangunan-bangunan penunjang lainnya diantaranya bangunan yang berada disebelah barat a diantaranya termasuk bale bang dan disebelahnya juga berdiri bangunan yang disebut gandek kiwa, dan disebelah utara bangunan tersebut terdapat meriam-meriam yang masing-masing mempunyai nama yaitu meriam Kyai Kumbarawa, Kyai Nangkula, Kyai Bagus serta Kyai Bringsing. Didepan bangunan gandek kiwa terdapat pohon sala, dan didepannya terdapat dua buah pohon jambu air serta tiga buah pohon kepel. Dan diantara meriam-meriam tersebut terdapat pohon-pohon mangga. Dibagian sebelah timur kompleks Siti Hinggil terdapat meriam yang berjumlah empat buah yaitu meriam Kyai Kumbarawi, Kyai Sedewa, Kyai Alus, serta meriam Kyai Kadal Buntung. Disebelah selatan terdapat bangunan Gandek Tengen serta Bangsal Hangun-angun di depanya terdapat pohon duwet serta pohon-pohon kecil lainnya.

Analisis Bentuk Istilah-istilah Bangunan Siti Hinggil
Berdasarkan hasil penelitian data yang telah dikumpulkan, penulis menemukan bentuk monomorfemis dan polimorfemis. Bentuk monomorfemis dan polimorfemis yang dimaksud antara lain yaitu :
Bentuk monomorfemis :
1. Rana [.....] ’penyekat atau aling-aling’
Rana (nomina) ’penyekat’ yaitu bagian bangunan Siti Hinggil yang berada di antara kori renteng dan bangsal witana. Penyekat yang ada di sebelah selatan bangsal Witana tersebut dibangun bersamaan dengan bangunan Siti Hinggil Karaton Surakarta hadiningat. Tembok yang hanya membujur dari barat ke timur tersebut dibuat menggunakan bahan yang berupa semen dan batu bata. Bangunan ini dicat juga dengan warna putih. Penyekat ini digunakan agar kompleks Siti Hinggil tidak terlalu kelihatan sekali dari luar.
Bentuk Polimorfemis :
Bentuk polimorfemis meliputi pengimbuhan afiksasi, pengulangan atau reduplikasi dan pemajemukan. Adapun bentuk polimorfemis yang dimaksud antara lain :
(1) kori wijil [k..ri wijil] ‘pintu masuk sebelah utara’
kori ‘pintu’ + wijil ‘ucapan’
kori (N) + wijil (N) → kori wijil (FN)
N + N → FN
(2) siti hinggil [sÉ™tiÅ‹gεl] ‘tanah yang dibuat lebih tinggi dari bangunan lainnya
siti ‘tanah’ + hinggil ‘tinggi’
siti (N) + hinggil (N) → siti hingil (FN)
N + N → FN
(3) bangsal sewayana [baÅ‹sal sÉ™w..y..n..] ‘bangsal terbuka yang ada di tengah siti hinggil’
bangsal ‘tempat’ + sewayana ‘tempat luas untuk memandang jauh’
N + Adj → FN
(4) bangsal manguntur tangkil [baÅ‹sal maÅ‹untUr taÅ‹kil] ‘bangsal kecil diatas bangsal sewayana’
bangsal ‘tempat’ + manguntur tangkil ‘
bangsal (N) + manguntur tangkil (Adj) → Frase Nomina
(5) bangsal witana [baÅ‹sal wit..n..] ‘bangsal dibelakang bangsal manguntur tangkil’
bangsal ‘tempat’ + witana ‘asal mula’ → bale bang
bangsal + witana
Nomina + Adjektif → Frase Nomina
(6) bangsal manguneng [baÅ‹sal maÅ‹unəŋ] ‘bangsal sebagai tempat untuk menyimpan meriam Nyai Setomi’
bangsal ‘tempat’ + manguneng → bangsal manguneng
N + Adj → FN
(7) bale bang [balÉ™ baÅ‹] ‘bangunan untuk menyimpan alat musik gamelan’
bale ‘tempat’ + bang ‘menyimpan’
Nomina + Nomina → Frase Nomina
(8) gandek kiwa [gandÉ™k kiw..] ‘bangunan untuk penjagaan sebelah barat’
gandek + kiwa → gandek kiwa
gandek (N) + kiwa (Adj) → FN
(9) gandek tengen [gandÉ™k teÅ‹en] ‘bangunan untuk penjaga sebelah timur’
gandek (N) + tengen (N) → gandek tengen (FN)
(10) Bangsal Hangun-angun [baÅ‹sal aÅ‹Un-aÅ‹Un] ‘bangunan sebelah timur bangsal witana’
bangsal ‘tempat’ + hangun-angun → bangsal hangun-angun
N + Adj → FN
Hangun-angun (redulikasi)
(11) kori renteng [kori rεntεŋ] ‘pintu masuk dari arah selatan’
kori ‘pintu’ + renteng’berjajar’→ kori renteng
N + Adj → FN
(12) Meriyem Nyai Setomi
Meriyem ‘meriam’ + nyai setomi
N + Adj → Meriyem nyai setomi (FN)
(13) Meriyem kyai kumbarawa ‘meriam sebelah barat kor wijil’
Meriyem ‘meriam’ + kyai kumbarawa
N + Adj → FN
(14) Meriyem kyai kumbarawi ‘meriam sebelah timur kori wijil’
Meriyem + kyai kumbarawi
N + Adj → FN
(15) Meriyem kyai nangkula
Meriyem + kyai nangkula
N + Adj → FN
(16) Meriyem kyai sadewa’meriam sebelah timur’
Meriyem ‘meriam’ + kyai sadewa
N + Adj → FN
(17) Meriyem kyai bagus
Meriyem ‘meriam’ + kyai bagus ‘kyai bagus’
N + Adj → FN
(18) Meriyem kyai alus
Meriyem ‘meriam’ + kyai alus ‘kyai halus’
N + Adj → FN
(19) Meriyem kyai bringsing
Meriyem ‘meriam’ + kyai bringsing ‘bising’
N + Adj → FN
(20) Meriyem kyai kadal buntung
Meriyem ‘meriam’ + kyai kadal buntung ‘kyai kadal buntung’
N + Adj → FN

Makna Leksikal Istilah-istilah Bangunan Siti Hinggil dalam Lingkup Karaton Surakarta Hadiningrat
(1). Kori Renteng [---?---] atau Pintu berjajar ‘lawang sebelah selatan’
Kori renteng adalah sebuah pintu yang dibangun di sebelah selatan Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Kori tersebut dibuat dari besi yang di tata berurutan sehingga menyerupai seperti prajurit berbaris oleh karena itu diberi nama renteng. Kori atau pintu ini dibuat untuk akses masuk raja dari arah selatan yaitu dari Karaton Surakarta Hadiningrat menuju ke Siti Hinggil guna menjamu para tamu dari negara-negara manca dan juga untuk memerintahkan acara-acara garebeg, sehingga kori atau pintu tadi juga dibuat untuk membatasi antara jalan dengan kompleks Siti Hinggil.


Gb. 1. kori renteng (pintu berjajar)

(2). Aling-aling [aliÅ‹-aliÅ‹] ‘tembok pembatas’
Aling-aling atau tembok pembatas ini dibuat untuk membatasi dan untuk menutupi apa saja yang ada di Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Dan tembok ini dibuat pada saat pembangunan kompleks tersebut dan hanya dibuat menggunakan batu bata dan semen serta pasir. Aling-aling atau yang lazim disebut rana ini memang sengaja dibangun diantara jalan menuju kompleks Siti Hinggil dengan kori Renteng yang ada di sebelah selatan dan merupakan jalan masuk Siti Hinggil. Bangunan ini selain untuk menutupi juga agar tidak terlalu panas dengan suhu udara yang ada di jalan raya.


Gb 2. Aling-aling/rana (pembatas)

(3). Bangsal witana [baÅ‹sal wit..n..] ‘
Bangsal atau bangunan ini dibangun berbentuk tajuk yang di bangsal ini memiliki dua belas tiang dan memiliki ukiran-ukiran yang berwujud bunga dan macam-macam tanaman atau hasil bumi lainnya. Bangunan witana ini menggunakan seluruhnya kayu yang diambil dari hutan krendawahana yang khusus disediakan mana kala Karaton Surakarta Hadiningrat membangun atau merenofasi sebuah bangunan. Bangunan ini digunakan untuk sowan para abdidalem perempuan yang membawakan pusaka-pusaka yang digunakan untuk upacara kerajaan. Pusaka-pusaka yang dibawa antara lain berupa tumbak, pedang, tameng, panah dan sebagainya, yang semuanya itu melambangkan kewibawaan seorang raja. Bangsal Witana dibangun pada jaman Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana III dan merupakan bangunan sentral dari kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Bangunan Bangsal Witana memiliki dasar warna yaitu warna biru laut,tetapi juga ada warna-warna lain yang menghiasi setiap kayu dan atap bangunan tersebut diantaranya ada warna emas, merah, kuning serta didominasi dengan warna coklat tua.

Gb. 3. Bangsal Witana
(4). Bangsal manguneng [baÅ‹sal maÅ‹unəŋ] ‘
Bangsal Manguneng adalah bangunan yang berada di tengah-tengah bangunan Bangsal Witana. Bangsal manguneng ini merupakan tempat meriam Nyai Setomi. Bangunan ini memiliki tiang bangunan berjumlah empat buah, dan memiliki atap yang sam dengan bangunan luarnya yaitu bangunan Bangsal Witana. Bangunan ini juga memiliki ukiran-ukiran yang mirip dengan motif batik di setiap tiang penyangga bangunan tersebut. Tiang-tiang penyanga yang berjumlah empat tersebut masing-masing terdapat gambar atau ukiran menyeruai seperti gambar bunga. Pada blandar terdapat tulisan jawa yang berbunyi ‘nginggiling siti kahesthi rupa’ yang berarti menunjukkan sengkalan yaitu tahun 1801 Jw. Bangunan tersebut terdapat juga krobongan yang menjadi tempat untuk meriam Nyai Setomi, dengan berbentuk persegi dengan ukiran atau hiasan ular naga dengan memakai mahkota, serta di beri lapisan kaca supaya tampak lebih bagus dan indah buat di pandang dari kejauhan.

Gb. 4. Bangsal Manguneng
(5). Bangsal manguntur tangkil [baŋsal maŋuntUr taŋkil]
Bangsal Manguntur Tangkil merupakan bangunan yang berada diantara bangsal sewayana dan bangsal witana. Bangunan ini berbentuk dapur limasan ceblokan saka sekawan, yaitu tempat yang khusus digunakan untuk duduk raja pada setiap hari senin dan kamis, juga digunakan untuk memutuskan suatu permasalahan yang ada. Dalam menggambil keputusan seorang raja juga ditemani oleh orang-orang yang menjadi pejabat tinggi kerajaan pada saat itu. Diantara para pejabat tinggi tersebut adalah raja bertindak sebagai pengambil keputusan, pepatih dalem bertindak sebagai jaksa, pujangga yang bertindak sebagai panitra atau juru tulis, senapati yang bertindak sebagai warga dan abdidalem yang mewakili dari warga. Bangsal manguntur tangkil tersebut juga terdapat sela atau batu yang berbentuk persegi dan ditanam di bangsal tersebut dengan mengunakan semen. Batu atau sela tersebut merupakan peninggalan yang pernah ada dari kerajaan Jenggala yang merupakan tempat duduk Prabu Suryawisesa. Bangsal Manguntur Tangkil merupakan satu-satunya bangunan yang alasnya menggunakan marmer putih. Bangsal Manguntur Tangkil merupakan bangunan yang digunakan untuk raja pada saat penobatan dirinya dengan cara mengikrarkan diri kepada masyarakat luas. Bangsal Manguntur Tangkil juga banyak terdapat ukiran-ukiran yang melekat pada keempat tiang panyangganya, serta menggunakan warna terang yaitu dengan warna emas, merah dan coklat. Bagian atap bangunan manggunakan warna kuning gading.


Gb. 5. Bangsal Manguntur Tangkil

(6). Bangsal sewayana [baÅ‹sal sew..y..n..] ‘bangunan besar dan terluas’
Bangsal Sewayana adalah bangunan yang terbesar dan terluas di bangdingkan dengan bangunan-bangunan yang ada di sekitar kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Bangsal Sewayana ini digunakan raja pada saat mengawasi warga masyarakat yang ingin mendapatkan keadilan kepada raja, sebab di Bangsal tersebut raja dapat melihat dengan jelas orang yang ada di alun-alun utara. Masyarakat yang mencari keadilan tersebut dinamakan pepe atau sekarang yang lebih dikenal dengan sebutan demo. Bangsal Sewayana ini adalah bangunan yang konstruksi bangunannya bangyak sekali unsur-unsur dari besi dan beratapkan seng. Bangsal Sewayana memiliki delapan buah tiang penyangga yang sama, empat disebelah barat dan empat disebelah timur. Bangunan tersebut mimiliki atap yang cembung, agar supaya pada saat berbicara bisa terdengar sampai ke alun-alun utara. Bangsal Sewayana dibangun pada tahun 1701 Jw oleh Pakubuwana III dan di renofasi oleh Sampeyan Dalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwana X dengan konsep lebih modern yang menggabungkan antara Jawa dengan Belanda. Warna yang mendominasi Bangsal Sewayana adalah mayoritas warna biru tua dan muda. Atap bangunan tersebut terdapat lambang Karaton Surakarta Hadiningrat yaitu lambang Radyolaksana. Bangunan tersebut digunakan untuk bupati anom pada saat menghadap raja pada saat raja miyos siniwaka di Siti Hinggil, yang duduk disebelah barat ada KGPAA Mangkunegoro, pejabat dari Belanda, pejabat Tionghoa, pejabat Arab, opsir Mangkunegaran dan para tentara Belanda (Onderneming) , sementara disebelah timur Putra mahkota, Pangeran Putra, Sentana, Abdidalem Bupati dan Bupati Anom.


Gb. 6. Bangsal Sewayana

(7). Bale bang [bale baŋ]
Bangunan yang memiliki nama bale bang ini merupakan bangunan yang digunakan untuk menyimpan dan merawat gamelan-gamelan yang masih dianggap sakral dan mempunyai nilai budaya yang tinggi. Bangunan bale bang ini meriupakan bangunan yang tampak berbeda dari bangunan-bangunan yang lainnya sehingga memiliki daya tarik tersendiri di dalamnya. Daya tarik yang ada ialah bangunan ini merupakan bangunan yang mengadopsi bangunna-bangunan model Belanda sehingga tampak seperti bangunan baru. Akan tetapi bangunan ini juga bagian-bagian yang merupakan ciri dari bangunna adat Jawa yaitu bagian dalam bagian bangunna masih menggunakan tiang penyangga yang terbuat dari kayu dan juga menggunakan warna yang sangat kontras dengan warna luar bangunan yaitu warna hijau muda, sedangkan warna luar menggunakan warna putih.


Gb. 7. Bale bang

(8). Gandek kiwa [gandε? kiw..]
Bangunan Gandek kiwa, memiliki bangunan yang agak terbuka da bangunan-bangunan lain di Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat, sebab pada jaman dahulu bangunan ini memang di khususkan untuk para penjaga yang bertugas menjaga Siti Hinggil tersebut pada waktu pagi hingga malam hari. Bangunan ini memiliki delapan buah tiang penyangga dengan satu buah pintu di tengah bangunan dan juga dua pintu kecil di samping bangunan tersebut. Gandek kiwa ini menggunakan warna yag tidak berbeda dengan bangunan-bangunan lainnya yaitu menggunakan warna biru tua dengan warna putih yang terdapat pada tembok-temboknya. Bangunan ini dahulu untuk penjagaan, tetapi dengan era sekarang ini, bangunan tersebut beralih fungsi dengan menjadi bangunan yag digunakan untuk stasiun radio lokal Karti Budaya yang dipimpin oleh KGPH. Puger, BA. Walupun demikian bangunan ini tidak berubah fungsi yaitu tetap digunakan untuk menjaga kredibilitas dan eksistensi Siti Hinggil Karaton Surakarat Hadiningrat. Bangunan ini pada jaman dahulu digunakan untuk membuatkan minuman para tamu-tamu yang datang menghadiri acara-acara penting di Siti Hinggil.

Gb. 8. Gandek Kiwa


(9). Gandek tengen [gandε? təŋən]
Bangunan ini digunakan untuk penjagaan abdidalem gandhek atau juga digunakan untuk membunyikan gamelan kodok ngorek dengan gong yang bernama kyai sekar delima, untuk menghormati datangnya Sempeyan Dalem Hingkang Sinuhun. Bangunan ini digunakan untuk penjagaan abdidalem gandhek atau juga digunakan untuk membunyikan gamelan kodok ngorek dengan gong yang bernama kyai sekar delima, untuk menghormati datangnya Sempeyan Dalem Hingkang Sinuhun. Bangunan ini memiliki konstruksi bangunan yang sama persis dengan bangunan gandek kiwa. Gandek tengen ini juga memiliki tiang penyangga berjumlah delapan buah dengan warna biru dan satu buah pintu utama di tengahnya juga dua buah pintu kecil di samping kanan dan kiri bangunan. Banunan gandek tengen ini merupakan bangunan yang digunakan untuk pecaosan para abdidalem gendek. Sekarang bangunan tersebut masih digunakan sebagai tempat untuk menjaga kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat.

Gb. 9. Gandek Tengen

(10). Bangsal Hangun-angun [baŋsal aŋUn-aŋUn]
Bangunan ini digunakan unuk membunyikan gamelan yang bernama kanjeng kyai Surak dengan irama munggang pada saat upacara-upacara penting Karaton.. Bangsal Hangun-angun ini memiliki tiang penyangga yang berjumlah dua belas tiang dengan bentuk bangunan berupa persegi panjang serta memiliki juga pintu yang berjumlah tiga buah dengan warna biru tua dan tembok yang berwarna putih. Bangunan ini alasnya menggunakan tegel warna beton dengan atap menggunakan genteng warna coklat muda. Bangsal Hangun-angun ini didalamnya terdapat tiga buah kamar berukuran kecil dengan satu toilet dibelakang serta sebuah pintu kecil yang terletak disebelah selatan.


Gb. 10. Bangsal Hangun-angun


(11) Meriyem Nyai Setomi [m…….] ‘meriam yang berada di dalam bangsal manguneng’
Meriam Nyai setomi ini merupakan meriam yang dianggap sakral oleh beberapa kalangan. Meriam Nyai Setomi ini adalah pasangan dari meriam Kanjeng Kyai Satama yang sekarang berada di jakarta tepatnya di museum Fatahillah. Meriam Nyai Setomi ini merupakan hadiah yang diberikan oleh pemerintah Portugis, pada waktu itu tahun 1515 M atau bertepatan dengan tahun Jawa 1443 pada jaman kerajaan Demak. Meriam tersebut pada jaman Sultan Agung Hanyokrokusuma dipindah ke Mataram. Pada saat itu Kyai Satama dikembalikan ke Jakarta sebab sering menggangu orang-orang disejitarnya pada saat malam jum’at anggara kasih. Pada saat itu meriam Nyai Setomi masih di letakkan di dalam mbeteng dekat pintu gapit tahun 1627 M atau tahun Jawa 1565. Setelah jaman Pakubuwana I di Kartasura diletakkan di Siti Hinggil. Setelah pada jaman Pakubuwana IV di Surakarta meriam tersebut di buatkan tempat yaitu berupa krobongan dengan kayu serta langse. Pada jaman Pakubuwana IX diganti lagi dengan menggunakan kaca sampai sekarang, dan menggunakan hiasan naga diatasnya. Dengan warna emas berjumlah empat naga disamping dan dua diatas saling membelakangi.


Gb. 11. Meriam Nyai Setomi didalam krobong

(12). Meriam Kyai Kumbarawa […….] ‘meriam yang berada disebelah barat kori wijil’
Meriam kyai Kumbarawa ini merupakan meriam yang paling besar diantara lainnya dan terletak di sebelah barat kori wijil. Meriam Kyai Kumbarawa adalah pemberian dari negara Siam yang di tujukan untuk Sultan Agung di Mataram pada saat itu sebagai kenang-kenangan. Meriam ini diberikan pada tahun 1649 M atau pada tahun Jawa 1573. Meriam tersebut terbuat dari perunggu yang sangat tebal dan panjang, dan masih kokoh dengan ditopang bangunan permanen dibawahnya. Meriam tersebut memiliki bentuk ekor yang agak lancip tanpa pegangan di tengah-tengah meriam.

Gb. 12. Meriam Kyai Kumbarawa

(13). Meriam Kyai Nangkula […..] ‘meriam sebelah barat Kyai Kumbarawa’
Meriam Kyai Nangkula merupakan salah satu meriam yang terdapat di kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Meriam ini adalah pemberian dari negara Siam pada tahun 1649 M atau 1577 Jawa, yang di hadiahkan untuk Sultan Agung Mataram. Meriam tersebut ukurannya agak lebih kecil dibandingkan dengan Kyai Kumbarawa. Meriam Kyai Nangkula ini memiliki tekstur yang lebih menarik, yaitu memiliki dua pegangan di tengah serta memiliki ukiran di ekornya yang menyerupai bunga. Meriam ini diletakkan diatas replika grobak tetapi terbuat dari semen. Meriam tersebut terbuat dari bahan perunggu murni.


Gb. 13. Meriam Kyai Nangkula

(14). Meriam Kyai Bagus […..] ‘meriam sebelah barat Kyai Nangkula’
Meriam Kyai Bagus merupakan meriam yang dipesan oleh Sultan Agung Hanyokrokusuma di Mataram. Meriam pesanan ini adalah meriam yang dibuatkan oleh bangsa Belanda di Jakarta pada saat itu, sekitar tahun 1629 M atau 1567 Jawa. Meriam ini memiliki ukuran yang sedang dengan dua buah pegangan di tengahnya. Serta terdapat lambang dari negara Belanda yang bertuliskan VOC diatasnya. Meriam Kyai Bagus terbuat dari bahan perunggu, serta lubang untuk memasukkan bubuk mesiu ke dalam meriam juga dilengkapi lubang kecil untuk sumbu.

Gb. 14. Meriam Kyai Bagus

(15). Meriam Kyai Bringsing [……] ‘meriam paling barat’
Maiam Kyai Bringsing merupakan hadiah dari pejabat Belanda yang bernama Jendral Van der Lim yang berada di Batawi untuk Sultan Agung Hanyokrokusuma di Mataram. Meriam tersebut dihadiahkan pada tahun 1745 M atau 1573 Jawa. Meriam Kyai Bagus memiliki tekstur yang hampir mirip dengan Kyai Kumbarawa yaitu tanpa pegangan di tengahnya tetapi memiliki cincin yang melingkar berjumlah empat dan ekornya agak pipih. Meriam tersebt dibuat dari bahan perunggu. Meriam ini juga dikaitkan dengan bangunan permanen dibawahnya dengan warna merah.

Gb. 15. Meriam Kyai Bringsing

(16). Meriam Kyai Kumbarawi […..] ‘meriam sebelah timur kori wijil’
Meriam Kyai Kumbarawi merupakan pasangan dari meriam Kyai Kumbarawa. Meriam ini juga pemberian dari negara Siam untuk Sultan Agung Hanyokrokusuma pada tahun 1649 M atau 1577 Jawa. Meriam Kyai Kumbarawi memiliki tekstur yang hampir sama dengan Kyai kumbarawa, yaitu tanpa memiliki pegangan di tengahnya dan juga tanpa hiasan apa-apa. Meriam tersebut dibuat dari bahan perunggu. Serta bagian gelakang agak lancip,dan diatas terdapat lubang kecil untuk sumbu meriam pada waktu itu. Saat ini meriam di letakkan diatas banguna beton yang menyerupi grobak, dan terdapat kancing yang berada di tengah meriam.


Gb. 16. Meriam Kyai Kumbarawi

(17). Meriam Kyai Sadewa […..] ‘meriam sebelah timur Kyai Kumbarawi’
Meriam Kyai Sadewa adalah pasangan dari meriam Kyai Nangkula, yang dibuat oleh bangsa Siam diberikan sebagai hadiah untuk Sultan Agung Hanyakrakusuma di Mataram pada saat itu. Meriam tersebut datang ke Mataram pada tahun 1649 M atau 1577 Jawa. Meriam Kyai Sadewa juga memiliki tekstur yang hampir mirip dengan meriam Kyai Nangkula. Meriam tersebut memiliki dua pegangan di tengahnya serta di di bagian belakang terdapat ukiran-ukiran menyerupai gambar bunga. Meriam ini juga terbuat dari bahan perunggu yang bagus.

Gb. 17. Meriam Kyai sadewa

(18). Meriam Kyai Alus […..] ‘meriam sebelah timur Kyai Sadewa’
Meriam Kyai Alus merupakan pasangan dari meriam Kyai Bagus yang dibuat oleh Belanda atas dasar meriam tersebut pesanan dari Sultan Agung Hanyakrakusuma di Mataram. Meriam ini dibuat pada tahun 1629 M atau 1567 Jawa. Meriam Kyai Alus ini mirip dengan meriam Kyai Bagus yang juga memiliki dua buah pegangan tang sejajar di tengah. Serta bagian belakang meriam ,ini agak sedikit pipih di bulatan penutupnya. Meriam Kyai Alus dibuat dari bahan perunggu. Dan sekarang dikaitkan dengan bnagunan permanen dibawahnya dengan warna merah menyerupai grobak.

Gb. 18. Meriam Kyai Alus

(19). Meraim Kyai Kadal Buntung […..] ‘meriam paling pojok timur’
Meriam Kyai Kadal Buntung merupakan meriam yang dibuat oleh Belanda atas nama Jenderal Van der Lim dari Batawi. Yang di hadiahkan kepada Sultan Agung Kanyakrakusuma di Mataram pada tahun 1745 M atau 1573 Jawa. Meriam Kyai Kadal Buntung ini merupakan meriam yang memiliki tekstur yang berbeda dengan meriam-meriam yang ada di kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Meriam ini tidak memiliki ekor yang menyerupai seperti bentuk kadal. dan juga tanpa pegangan ditengahnya. Meriam tersebut terbuat dari perunggu, tetapi meriam ini memiliki bundaran kecil yang menyerupai lubang untuk membidik musuh. Dan juga terdapat bangunan kicil yang mengkait denga meriam tersebut yang menyerupai grobak.

Gb. 19. Meriam Kyai Kadal Buntung

(20). Kori Wijil Pisan [….] ‘pintu masuk sebelah utara’
Kori wijil pisan ini dibangun disebelah utara yang membujur dari barat ke timur. Pintu memiliki tangga yang menghubungkan Siti Hinggil dengan Pagelaran Karaton Surakarta Hadiningrat. Pintu atau kori ini memiliki warna putih disetap detilnya dan warna biru di bagian pintu tengah yang terbuat dari besi. Bagian anak tangga bawah berjumlah yiga buah sedangkan atasya berjumlah enam baris. Di tengah-tengahnya terdapat sela pamecat yang konon dibuat memenggal kepala gembong pemberontak atau perampok. Sedangakan bagian bawah pintu terdapat dua buah lampu yang masih menggnakan minyak tanah, tetapidengan berkembangnya jaman sekarang sudah menggunakan lampu listrik
.
Gb. 20. Kori Wijil Pisan

Makna Kultural Istilah-istilah Bangunan Siti Hinggil dalam Lingkup Karaton Surakarta Hadiningrat
Clifford Geertz dalam bukunya ’Tafsir Kebudayaan’ menulis; manusia adalah binatang-binatang yang diselimuti jaringan-jaringan makna yang dirajutnya sendiri. Dalam antropologi atau bagaimanapun antropologi sosial, apa yang dikerjakan oleh para praktisi di lapangan adalah etnografi. Bagi Geertz, mitologi merupakan salah satu formula pembangun struktur kebudayaan. Geertz melihat budaya sebagai ’lengkung simbolis’ yang dengannya seseorang bisa menciptakan dunia mereka yang bermakna dalam dua level sekaligus: emosi dan kognitif. Kebudayaan bukanlah pengetahuan eksperimental untuk mencari hukum-hukum, tetapi pengetahuan interpretatif untuk menemukan makna. kebudayaan adalah mengitari manusia, yang menyerbu setiap aspek kehidupan. Budaya serentak konkret dan tersebar, dalam dan dangkal. Kraton saat ini benar-benar terbungkus oleh unsur-unsur mitologis yang akan penulis deskripsikan bada lembar berikutnya.
Budaya memiliki 3 (tiga) pangejawantahan atau wujud. Yang pertama adalah artefak, yaitu berujud alat-alat, bangunan (candi, rumah), kedua adalah mentifak, yaitu kebudayaan mental yang berpengaruh pada wilayah ide dan atau interpretasi, dan yang ketiga adalah sosiofak yang terlihat pada kehidupan sosial masyarakat yang secara otomatis berorientasi ke nilai, norma, aturan, hukum, dan etika. Dari budaya lama atau yang dianggap klasik, akan muncul nilai atau interpretasi baru, dan nilai ini menjadi sebuah pranata baru pula. Dari pranata ini muncul lagi sebuah budaya baru, dan begitulah seterusnya (metamorfosa budaya).
Makna yang tersirat dalam bangunan-banginan Siti hinggil Karaton Surakata Hadiningat banyak mengandung ajaran-ajaran yang terdapat didalam kehidupan manusia di dunia ini. Di dalam makna ini penulis akan memaparkan makna-makana yang tersimpan di dalam bangunan-bangunan Karaton Surakarta Hadiningrat khususnya bangunan Siti Hinggil. Bangunan ini merupakan bangunan yang dikeramatkan bagi warga masyarakat Kraton Surakarta, sebab bangunan ini banyak menyimpan barang-barang peninggalan jaman kerajaan mataram kuna.
Secara filosofis, bangunan Siti Hinggil memiliki makna religius apabila dilihat secara fisik. Struktur build pasti memiliki ciri semakin ke atas semakin meruncing. Tidak salah kiranya apabila penulis mengatakan bahwa arsitek bangunan ini adalah seorang yang cukup ahli di bidang sejaran lintas budaya. Apabila di cermati, satuan struktur bangsal mulai dari bangsal sewayana, bangsal manguntur tangkil, dan bangsal witana menyimpan misteri masa lalu. Konsep bangunan ini menyerupai konsep bangunan candi-candi, seperti candi Borobudur, candi Cetha, dan candi Sukuh. Semua candi tersebut memiliki ciri semakin ke atas semakin meruncing, artinya sama dengan struktur bangunan yang ada di kompleks Siti Hinggil. Makna di balik bangunan tersebut adalah lambang dari tingkatan religius yang dimulai dari zaman kamadatu, rupadatu, arupadatu.
Kamadatu merupakan simbol manusia ketika masih hidup menjadi budak-budak nafsu rendah duniawi. Hidup yang semrawut, mengindahkan segala aturan-aturan langit, hanya mengutamakan nafsu dunia semata. Singkatnya, manusia di zaman ini selalu nguja ma lima; maling, main, mendem, medok, madat. Tingkatan di atasnya adalah rupadatu. Di zaman ini, walaupun manusia telah mampu melepaskan segala nafsu dunia, namun manusia masih terikat pada kemelekatan rupa. Artinya manusia masih mencari rupa. Manusia masih diam dalam konsep-konsepnya untuk mencari sang Lain yang absurd. Ketika mencapai ‘nihilisme’, manusia sudah tidak lagi terikat pada rupa, di zaman ini manusia menemukan kelanggengan. Zaman ini disebut dengan nama arupadatu atau tanpa rupa atau bentuk.
Lambung bangunan yaitu tiang penyangga atap berjumlah empat. Keempat tiang ini sebagai simbol apa yang disebut dengan papat kiblat lima pancer yang artinya empat arah mata angin, yang kelima adalah pusatnya. Mitologi Keraton percaya adanya penguasa di empat penjuru mata angin. Sebelah selatan di kuasai oleh nyai Rara Kidul di laut selatan, sebelah utara di kuasai oleh batari Durga di hutan Krendawahana, di arah timur dikuasai oleh eyang Lawu di gunung Lawu, dan di arah barat dikuasai oleh penguasa gunung Merapi. Keraton sendiri merupakan pancer atau pusat segala kekuatan di empat arah penjuru angin. Ke empat peguasa mata angin merupakan penguasa salah satu dari masing-masing empat elemen the power of word dan keraton merupakan avatar pengendali keempat elemen tersebut sekaligus. Makna masing-masing bangunan di wilayah Siti Hinggil adalah sebagai berikut:
(1) Siti Hinggil [siti hiÅ‹gil] ‘salah satu komplek bangunan Karaton Surakarta Hadiningrat’
Salah satu bangunan untuk upacara yang dibangun oleh PB II yang dibangun setelah perpindahan dari kartasura. Siti hinggil merupakan perpaduan antara siti ‘lemah ‘ dan inggil ‘ tinggi’. Secara kultur ratu itu menjadi wakilnya Tuhan. Pada dasarnya seorang raja yang dinobatkan sebagai raja merupakan seorang yang ditasbihkan untuk memimpin masyarakatnya, sehingga dalam menjalani kehidupannya. Siti Hinggil merupakan bangunan yang berdiri sejak kapindahan karaton Surakata hadiningat dari kartasura menuju ke surakarta yang pada saat itu karaton surakarta mengalami suatu pemberontakan yang mengharuskan karton segera dipindahkan dari bumi kartasura, saat itu bangunan-bangunan yang ada pada komplek karaton kartasura sudah dalam keadaan hacur dajn rusak akibat pemberontakan tersebut. Siti hinggil merupakan salah satu bangunan yang ada pada saat itu dan juga sebagai tempat untuk menjamu tamu-tamu yang berkunjung ke Karaton Surakarta Hadiningrat khususnya bangsa-bangsa dari Eropa. Selain itu, bangunan Siti Hinggil juga merupakan suatu bagian dari bangunan-bangunan yang ada di Karaton Surakarta Hadiningrat yang digunankan untuk penobatan seorang raja. Siti Hinggil dibangun guna menjadi penyeimbang bangunan-bangunan yang ada dalam Karaton Surakarta Hadiningrat, dan juga mempunyai suatu makna yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Surakarta paada saat itu. Siti Hingil dilihat dari segi budaya merupakan suatu tempat yang sengaja dibuat lebih tinggi dari pada bangunan-bangunan lainnya di Karaton Surakata Hadiningrat yang dimaksudkan dalam kehidupan agar supaya manusia lebih dekat pada Sang Pencipta yaitu Tuhan dalam hal ini. Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu symbol dari kekuasaan raja pada saat beliau menjadi penguasa tertinggi di dalam sebuah pemerintahan di Surakata pada saat itu. Oleh kaena tu, Siti Hinggil dibuat lebih tingi dari pada bangunan-banunan lainnya. Disamping itu, Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat mempunyai makna yang ditujukan untuk masyarakat dahulu maupun sekarang bahwa bangunan Siti Hinggil itu dibuat lebih tinggi sebab masyarakat Jawa pada saat itu mempunyai keyakinan yang sangat kuat dalam hal kebatinan dan ilmu mistis. Oleh sebab itu, dalam kaitannya dengan masalah kebatinan tersebut seorang raja dan masyarakatnya harus mempunyai keyakinan bahwa pada saatnya nanti semua mahkluk hidup pasti kembali menghadap kepada Sanh Pencipta. Dan Siti Hinggil sendiri mempunyai makna bahwa dalam mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, manusia tidak terbatas pada kedudukan orang tersebut maka masyarakat Jawa pada saat itu dan mungkin sampai sekarang meyakini bahwa tempat atau bangunan tertinggi dari pada tempat-tempat atau bangunan lainnya merupakan suatu tempat yang paling tepat untuk mendekatkan diri dan memohon segala bentuk –permasalahan yang sedang dihadapi oleh orang tersebut agar supaya dapat erselasaikan dan dapat mendatangkan rejeki bagi orang tersebut. Sehingga Siti Hinggil sangat diyakini masyarakat Surakarta pada saat itu selain sebagai tempat penobatan seorang raja juga dipercayai oleh mereka sebagai tempat yang baik untuk mendekakan diri kepada Sang Pencipta untuk menyembah dan memohon kepayaNya agar supaya segala sesuatu yang menjadi permasalah dalam hidup manusia agar terpecahkan dan mendapat penerangan jalannya menuju kesuksesan dan kebahagiaan dalam lahir maupun batin. Pada saat pembangunan Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat pada saat itu diperlukan pertimbangan-pertimbangan yang sangat matang sebab dalam bangunan ini nantinya mempunyai makna dan pesan yang tersembunyi. Oleh karena itu, maka Siti Hinggil pada saat itu disamping mempunyai makna secara tersirat, juga di gunakan sebagai tempat untuk menyimpan beberapa benda pusaka diantaranya sebuah meriam yang terdapat di Siti Hinggil tersebut.
(2) Kori Renteng [k ri rÉ™ntəŋ] ‘pintu masuk sebelah selatan’
Kori renteng merupakan pintu masuk ke dalam kompleks area Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat yang berada di sebelah selatan. Kori atau lebih dikenal masyarakat dengan nama pintu ini dibuat sejaman dengan pembangunan kompleks Siti Hinggil ini. Adapun makna yang terkandung atau tersirat dari kori atau pintu ini adalah merupakan perwujudan manusia terhadap Sang Pencipta yang menunjukkan bahwa kita harus senantiasa menunggu, bukan menunggu ketidakpastian melainkan menunggu dengan kesabaran apapun yang akan terjadi di dunia ini maupun pada individu-individu yang berdoa kepada Tuhan YME supaya diberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Kori renteng ini mempunyai makna yang sangat dalam bagi masyarakat Surakarta pada jaman dahulu maupun sekarang sebab dalam perkembangan jaman sekarang ini bangunan-bangunan atau peninggalan yang ada sudah mulai terlupakan oleh kalayak ramai. Oleh sebab itu, masyarakat Surakarta seharusnya mengetahui dan memahami setiap bangunan-bangunan yang ada dan masih berdiri kokoh di tengah-tengah masyarakat Surakarta pada umumnya dan kerabat-kerabat Karaton Surakarta Hadiningrat pada khususnya. Kori renteng Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu pesan yang dibuat oleh raja-raja Karaton Surakarta yang ditujukan untuk masyarakat Surakarta dan manusia yang hidup di dunia ini agar selalu “eling lan waspada” terhadap apa yang akan terjadi terhadap diri kita masing-masing dan negara yang kita tempati sekarang. Sebab kori renteng ini selain wujudnya berupa pintu besi tetapi juga menyimpan banyak
(3) Rana [r n ] ‘tembok pembatas’
Bangunan ini didirikan tepat dibelakang Bangsal Witana, dan juga pemisah antara kori renteng dengan bangsal Witana. Sebab, aling-aling ini tepat berada di tengah antara keduanya. Aling-aling atau juga disebut ‘waweranan’ ini pada jaman pembangunan komplek Siti Hinggil Karaton Surakata Hadiningrat ini hanya sebatas pada tembok bata yang dibangun untuk menutupi pandangan orang tentang apa yang ada di dalam Siti Hinggil itu sendiri. Oleh seab itu, aling-aling ini hanya sebatas hangya penutup atau penghalang agar tidak terlihat secara jelas apa yang ada dan sedang berlangsung di Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Pada dasarnya semua bangunan yang ada pada kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat merupakan suatu bagian dari bangunan-bangunan yang ada di Karaton yang banyak mengandung pesan dan amanah. Begitu juga dengan aling-aling ini, walaupun bentuknya hanya sebidang tembok yang berwarna putih dan membujur ke barat-timur tetapi tembok atau yang disebut dengan aling-aling ini juga mempunyaii makna yang tersembunyi. Makna dari aling-aling sendiri hanya sebagai benda pembatas. Tetapi disini yang dmaksud dengan aling-aling atau ‘waweranan’ ini bukan hanya sekedar benda yang digunakan untuk menutupi tetapi lebih dari pada itu. Aling-aling yang terdapat di kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat ini mempunyai makna yang sangat dalam berkaitan langsung dengan alam semesta atau bahkan kepada kehidupan umat manusia di dunia ini. Semua bangunan yang dibangun oleh seorang raja pada saat itu pasti banyak mempengaruhi tingkat kehidupan asyarakat Surakarta pada jaman dibuatnya bangunan tersebut. Oleh sebab itu, seorang raja disini sangat berperan aktif dalam kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya pada saat itu pula. Sehingga dalam kaitanya dengan aling-aling di Siti Hinggil fungsinya juga sama dibuat untuk menutupi teapi ada makna ang lebih mendalam lagi kaitannya dengan aling-aling yang ada di kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Yaitu bahwa pada dasarnya manusia haruslah mengetahui dari mana kita diciptakan dan dengan apa kita diciptakan. Oleh sebab itu, aling-aling disini lebih menakankan pada menutupi atau merahasiakan dan rahasia dalam kehidupan ini apapun yang akan terjadi setelah hari ini itu hanyalah Tuhan YME yang mengetahuinya. Aling-aling ini juga ditujukan untuk umat manusia umumnya dan masyarakat Surakarta pada khususnya agar lebih bisa mendekatkan dirinya masing-masing kepada Tuhan YME. Dan jangan pernah melupakan tugas dari manusia itu sendiri yang harus selalu taat menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Didalam bangunan yang berupa aling-aling ini juga tersirat makna yang begitu dalam mengenai kehidupan manusia di dunia ini yaitu mengenai kebaikan dan keburukan seseorang. Yang dimaksud dengan kabaikan dan keburukan itu adalah bagaimana seorang manusia menjalani kehidupannya dengan berdampingan dengan kejujuran dan kebohongan. Kebaikan seseorang pastilah akan diutarakan dan diberikan pada lembaran paling depan dalam menjalani hidup sehari-hari, sedangkan keburukan manusia akan disembunyikan begitu rapi dan jangan sampai orang lain mengtahuinya. Dan mereka akan semaksimal mungkin untuk menyembunyikan keburukan itu. Oleh sebab itu, manusia memerlukan penutup atau penyekat yang baik agar kerahasiaan tersebut tidak selalu di perlihatkan kepada kalayak ramai. Dan juga menjadi pembatas agar manusia tidak menjadi sombong dengan adanya pemilah antara baik dan buruk seseorang tadi.
(4) Bangsal Witana
Bangsal witana merupakan salah satu bangunan yang terdapat dalam kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Bangunan ini merupakan bangunan utama yang berada tepat ditengah Siti Hinggil Karaton Surakrata Hadiningrat. Bangsal Witana merupakan tempat yang digunakan untuk duduk para abdi dalem perempuan yang ditugasi membawa peralatan-peralatan untuk upacara grebeg. Bangsal Witana merupakan bangunan yang berbentuk tajuk dan juga memiliki makna-makna yang tersembunyi dalam bangunan tersebut. Oleh sebab itu, maka masyarakat Karaton Surakarta Hadiningrat sangat mempercayai bahwa bangunan tersebut memiliki banyak sekali pesan-pesan yang tidak secara langsung disampaikan kepada masyarakat kota Surakarta. Dan bangunan yang berupa bangsal ini juga terkenal dengan benda atau pusaka yang berada di dalamnya yaitu meriam Kanjeng Nyai Setomi. Bangsal ini sebagaimana sudah saya jelaskan diawal bahwa bentuk bangunan ini adalah bebentuk tajuk. Bentuk tajuk ini merupakan salah satu bentuk bangunan yang menjadi ciri khas dari Bangsal Witana ini dan bahkan menjadi salah satu bentuk rumah adat yang ada di Jawa Tengah ini khususnya di kota Surakarta. Bangsal Witana ini memiliki banyak makna yang tersimpan di dalamnya. Dalam kaitannya dengan masyarakat Jawa, setiap manusia dan segala jenis mahkluk hidup di dunia ini pasti akan mengalami yang dinamakan kematian. Oleh karena itu, bangunan ini juga memberikan pesan untuk manusia dimana sebelum kita dipanggil atau menghadapi kematian kita dituntut untuk mempersiapkan diri kita masing-masing. Manusia hidup didunia diberi waktu untuk menjalin persaudaraan dan persahabatan kepada setiap umat beragama dimanapun dan kapanpun kita menemuinya. Disamping itu juga manusia jangan sekali-kali melewatkan atau malah melupakan Sang Pencipta yaitu Tuhan YME. Setiap manusia pasti mengharapkan kehidupan yang baik, rejeki lancar dan sebagainya. Dalam kaitanya dengan Bangsal Witana yang terdapat di kompleks Siti Hinggil karaton Surakarta Hadiningrat tersebut maka kita dapat mengetahui maksud dari pada bangunan bangsal ini yang berbentuk tajuk. Dari bangunan tajuk tersebut dapat bermakna bahwa setiap manusia di muka bumi ini jangan pernah melupakan apa yang sudah dititahkan oleh Tuhan YME. Dan manusia wajib menyembah hanya kepada Sang Pancipta dan bukan kepada sesama makhluk hidup. Bangsal Witana ini sangat diyakini oleh masyarakat Surakarta umumnya dan masyarakat di sekitar Karaton Surakarta Hadiningrat sebagai salah satu tempat yang dapat membuat diri mereka lebih dekat kepada Tuhan YME. Di bangsal ini juga kita dapat menyaksikan upacara jamasan Kanjeng Nyai Setomi. Pada dasarnya bangunan ini memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan-kalangan tertentu. Sebab mereka mengerti dapam dengan apa yang tersimpan dalam sebuah bangunan tersebut. Dan juga bagi masyarakat Surakarta pada jaman dahulu, mereka sangat menghormati dan mengakui bahwa seorang raja yang memerintah didalam Karaton Surakarta Hadiningrat merupakan seorang wakil Tuhan YME yang dtitahkan untuk mengayomi dan menjaga kesejahteraan masyarakatnya. Oleh sebab itu, bangsal Witana ini juga merupakan salah satu hasil karya agung Sang raja untuk memberikan pesan secara tersembunyi bagi rakyatnya supaya mereka selalu ingat kepada raja mereka juga akan selalu menyembah dan berdoa kepada Tuhan YME.
(5) Bangsal Manguneng
Bangsal manguneng merupakan bangunan yang terdapat di tengah bangsal Sewayana. Bangunan tersebut terdapat krobongan yang didalamnya terdapat meriam Nyai Setomi. Makna kultural yang tersimpan dari bangunan yang mempunyai nama bangsal manguneng tersebut yaitu perwujudan dari sifat manusia yaitu diam atau meneng. Bangsal manguneng tersebut bukan hanya bangunan yang dibangun asal jadi tetapi makna yang terkandung dalam bangunan tersebut juga diperhitungkan. Bangunan ini diibaratkan dalam kehidupan manusia di bumi ini, yaitu meneng atau diam tadi dapat diartikan sebagai diam yang dilakukan manusia untuk berdoa. Berdoa disini adalah menyembah atau mendekatkan diri mereka kepada Tuhan yang menciptakan bumi dengan segala isinya. Maka, bangunan tersebut bagi kalangan-kalangan tertentu digunakan untuk mendekatkan diri mereka atau berdoa kepada Tuhan dalam hal ini agar apa yang dipikirkan dan dijalankan di dunia ini bisa bermanfaat badi dirinya sendiri ataupun untuk kepentingan orang banyak. Bangsal manguneng mempunyai bentuk bangunan tajuk dengan tiang penyangganya bejumlah empat. Jika dilihat dari bentuk bangunan bangsal ini maka dapat dilihat dengan kasat mata bahwa orang-oang jaman dahulu sudah memokirkan bagaimana hubungan antara manusia dengan Penciptanya. Sebab, bangunan tajuk dengan bentuk segitiga maengarah keatas maka makna yang tersimpan adalah bahwa setiap manusia didunia ini dengan jalan berdoa dengan iklas dan tulus niscaya apapun yang diinginkan akan terpenuhi. Bangunan ini mewakili manusia di bumi dengan penguasa diatas tanpa pernah bisa diraba keberadaannya, maka kita setiap manusia berkewajiban dan mempunyai tugas masing-masing untuk tidak melupakan siapa dan dengan apa manusia diciptakan. Oleh karena itu, apapun dan bagaimanapun caranya manusia untuk meminta dan bersujud untuk Tuhan maka Dia tidak akan pernah tidur untuk kita.
(6) Bangsal Manguntur tangkil
Bangsal Manguntur Tangkil merupakan bangunan yang berada di tengah-tengah antara bangsal witana dan bangsal sewayana. Bangunan ini merupakan tempat untuk menjamu para tamu yang datang dari Eropa. Bangsal Manguntur Tangkil ini merupakan salah satu bangunan yang ada di kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Pada jaman Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono ke X bangunan ini digunakan juga sebagai tempat untuk raja memutuskan suatu permasalahan atau masalah yang berkenaan dengan hukum yang berlaku di Karaton Surakarta Hadiningrat pada saat itu. Dan juga pada upacara-upacara grebeg atau upacara hari-hari besar lainnya maka Sang raja juga akan duduk di bangsal Manguntur Tangkil ditemani juga dari para tamu undangan dan para abdi dalem. Selain itu bangunan ini juga mempunyai banyak perubahan yang terjadi pada bangsal tersebut. Oleh sebab itu bangsal ini merupakan simbol dari kekuasaan raja yang memerintah pada saat beliau menjadi seorang raja di Karaton Surakarta Hadiningrat. Semua bangunan yang berada di kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat secara keseluruhan dan tidak secara langsung diketahui oleh masyarakat Surakarta banyak mengandung dan memiliki suatu unsur ajaran-ajaran moral yang berguna untuk masyarakat Surakarta untuk menjalani kehidupan yang akan dating. Oleh sebab itu, bangunan-bangunan itu tidak dibangun secara sederhana dan asal-asalan akan tetapi seluruh bangunan yang ada di Karaton Surakata Hadiningrat merupakan cerminan untuk manusia bahwa langka-langkah manusia menuju ke kesempurnaan hidup haruslah melalui tahapan-tahapan yang sangat panjang dan berliku. Dan iu semua digam,barkan melalui bangunan-bangunan yang ada dalam Karaton Surakarta Hadiningrat. Salah satunya bangunan yang dinamakan Bangsal Manguntur Tangkil ini. Bangunan ini menjadi salah satu bangunan penting yang ada di kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Sehingga bangunan ini didirikan guna menjadi penyeimbang yang baik di Siti Hinggil tersebut. Sehingga dalam bangunan ini banyak sekali makna-makna yang tersimpan di dalamnya yang menurut saya perlu dan penting untuk dipelajari. Dari bangunan ini kita dapat mengetahui banyak makna yang tersirat didalamnya. Sehingga kita akan mengerti bagaimana menjalani sebuah kehidupan yang layak didunia ini. Bangsal manguntur tangkil ini mengisyaratkan sebuah kehidupan umat manusia yang ada di dunia ini agar selalu mengerti dan paham dalam menjalankan kaidah sebagai manusia yang diberi oleh Tuhan YME akal dan pikiran yang lebih sempurna jika dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya di dunia ini.oleh karena itu segala sesuatunya yang berkaitan dengan alam semesta ini tidak luput dari apa yang telah disediakan Tuhan untuk menilai bagaimana manusia yang hidup di dunia ini bisa memanfaatkan sarana dan prasarana yang ada saat itu. Bangsal Manguntur Tangkil merupakan salah satu contoh kecil yang dihasilkan oleh manusia. Akan tetapi pada dasarnya manusia membuat sesuatu atau hasil karya tersebut dengan maksud dan tujuan bukan tanpa tujuan yang pasti, yaitu mengingatkan kepada umat manusia akan Tuhan Sang Pencipta alam semesta.
(7) Bangsal Sewayana
Bangsal Sewayana merupakan bangunan yang terbesar dan terluas yang terdapat di kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningat. Bangunan tersebut dibanguna dengan menggunakan bahan lebih banyak dari besi. Oleh karena itu, bangunan ini masih berdiri kokoh hingga ratusan tahun lamanya. Bangsal sewayana ini memiliki makna kultural yang juga tersimpan dalam setiap detail bagian-bagian bangunannya. Bangunan ini memiliki simbol kekuasaan seorang raja dengan lambang radyalaksana diatas bangunan tersebut. Bangunan ini dalam kaitanya dengan kehidupan manusia di dunia ini sangatlah berkaitan dan juga berguna sebagai pengingat antara rakyat dengan rajanya ataupun manusia dengan Sang Pencipta. Bangsal Sewayana ini memiliki halaman yang luas disini dapat diartikan bahwa setiap individu akan dijadkan satu di tempat yang luas untuk selanjutnya dikelompok-kelompokkan menurut amal mereka di dunia ini, dalam hal ini mereka akan dipersiakan untuk menghadap Sang Pencipta alam semesta. Pembangunan bangsal sewayana tersebut menggunakan unsur dai logam tepatnya dari bahan besi, sebab besi itu tahan lama dan tidak termakan oleh jaman. Akan tetapi dalam bangunan ini unsur besi memiliki makna yang tersembunyi dalam bangunan tersebut. Makna kultural yang tersimpan adalah bahwa setia manusa atau individu supaya dapat memjaga dan mempertahankan atas apa yang telah dibangunnya dan dengan gagah beranai membela siapapun yang meminta pertolongan asalkan mereka jujur dalam segala tindakannya. Oleh karena itu, manusia diciptakan oleh Sang Maha Pencipta dengan kekuatan-kekuatan yan mungkin tidak tersadari secara lahiriah oleh masing-masing individu, maka manusia mampunyai hak untuk menggali potensi-potensi yang tersembunyi dari dalam diri mereka masing-masing.
(8) Bale Bang
Balebang merupakan tempat untuk penyimpanan benda-benda pusaka yang berupa gamelan. Bangunan yang dinamakan Balebang ini sebenarnya bila dilihat sekilas menyerupai bangunan bangsa Belanda. Bangunan ini terletak di sebelah barat kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Dan bangunan ini juga merupakan satu-satunya bangunan yang digunakan untuk menjaga benda-benda pusaka yang berupa gamelan tersebut. Sebab, peninggalan bersejarah itu tidak hanya memiliki nilai sejarah yang tinggi namun juga merupakan salah satu aset penting bagi Karaton Surakarta Hadiningrat. Oleh sebab itu, bangunan ini dibangun guna melengkapi dan sekaligus menjadi bagian dari kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Bangunan ini merupakan bangunan yang memadukan antara bangunan gaya Jawa khususnya Surakarta dan bangunan bergaya Belanda. Bangunan ini memiliki dua warna yang berbeda antara warna luar dan warna dalam bangunan tersebut. Warna yang digunakan di bagian luar yaitu warna putih dan bagian dalam bangunan mengunakan warna hijau daun. Dengan perpaduan warna yang berbeda memberikan kesan sakral pada bangunan Balebang ini. Tetapi jika dilihat dan diamati dengan cermat maka antara warna yang digunakan dengan nama yang diberikan untuk bangunan ini maka tidaklah ada hubungannya. Setiap bangunan yang ada di kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat ini semuanya mempunyai makna sendiri-sendiri dan fungsi masing-masing bangunan itu sendiri. Begitu juga dengan balebang ini, bangunan ini jika dilihat secara fisik hanya bangunan yang berdiri kokoh dan tempat untuk menyimpan benda pusaka Karaton Surakarta Hadiningrat. Tetapi bangunan ini juga banyak menyimpan makna-makna yang dalam tentang kehidupan manusia di dunia ini. Dan juga sebagai pesan moral dalam kehidupan manusia di dunia ini agar tidak hanya melihat secara sekilas ataupun secara fisik saja. Akan tetapi juga jangan menghilangkan makna budaya yang terkandung dalam bangunan-bangunan tersebut. Oleh sebab itu makna-makna yang tersimpan dalam bangunan-bangunan itu harus kita ketahui dengan baik dan benar agar tidak menjadi kesalah pahaman tentang sebuah makna bangunan tersebut. Balebang menyimpan banyak koleksi benda-benda pusaka yang tak ternilai harganya. Sebab, benda-benda tersebut juga digunakan untuk upacara-upacara hari besar. Dan sebab itu pula maka bangunan ini juga difungsikan sebagai tempat untuk memperbaiki atau menyelaraskan suara gamelan yang sudah tidak selaras dengan nadanya. Dari bangunan ini kita dapat memperoleh ajaran yang berguna bagi kehidupan diri sendiri dan orang lain. Balebang mempunyai makna dalam kehidupan masyarakat di Karaton Surakata Hadiningrat dan sekitarnya. Masyarakat Surakarta pada jaman dahulu dan sekarang tidak jauh berbeda sebab mereka hidup diantara bangunan-bangunan bersejarah. Dan diantara bangun-bangunan ini kita juga dapat menemukan ajaran tentang kehidupan yang berlaku dalam kehidupan ini. Begitu pula dengan Balebang ini kita dapat memetik satu makna yang dalam tentang kehidupan ini yaitu bahwa dalam hhidup ini kta harus punya spirit dan semangat yang kuat demi mencapai keberhasilan. ‘bang’ disini mengacu pada warna merah dan merah merupakan semangat yang harus di kobarkan demi meraih cita-cita hidup. Sehingga menjalani hidup ini haruslah jangan pantang menyerah dan terus berusaha dengan tidak lupa memanjatkan doa kepada Tuhan YME. Oleh sebab itu, jika kita tidak mempunyai semangat untuk bekerja keras maka kita akan tidak secara sadar menjauhi keberuntungan yang akan datang kepada diri kita tentunya dari Sang Maha Pencipta.
(9) Gandek Tengen dan Gandek Kiwa
Bangunan yang mempunyai nama Gandek tengen ini merupakan bangunan yang digunakan untuk para abdidalem yang mempunyai tugas menjaga keamanan serta ketertiban daerah Siti Hinggil. Bangunan tersebut disamping digunakan untuk penjagaan, bangunan itu juga digunakan untuk tempat istirahat penjagaan.
(11) Kori Wijil
Kori wijil merupakan salah satu pintu yang ada di sebelah utara. Wijil keluar sebagai makna kultural yang terkandung dalam kori wijil tersebut yaitu bahwa manusia sejak dalam kandungan sampai pada lahirnya bayi tersebut diwajibkan untuk menyembah pada Tuhan YME. Dalam kaitanya juga dalam kehidupan manusia kori wijil dapat juga bermakna sebagai ajaran bahwa wijil tersebut merupakan ajaran atau wewarah dalam hidup supaya dalam mengucap atau berbicara agar supaya tidak menyakiti hati orang lain dan tidak membuat perasaan orang lain menjadi tidak enak.
(12) Meriam Nyai Setomi
Meriam Nyai Setomi merupakan salah satu meriam yang diangap paling keramat di kompleks Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Meriam tersebut digunakan untuk simbol kekuatan raja. Meriam Nyai Setomi memiliki daya sugestif mental sosial menghipnotis masyarakat untu percaya dan yakin akan kekuatan dibalik meriam Nyai Setomi tersebut. Dibalik itu semua, meriam ini yang diyakini sebagai meriam perempuan oleh beberapa kalangan, oleh karena itu akan menjadi suatu makna yang tersembunyi. Meriam Nyai Setomi melambangkan wanita yang terpisah dari pasangannya. Meriam Nyai setomi ini simbol atau lambang kesuburan. (Nyai Setomi tidak boleh diambil gambarnya).
(13) Meriam Kyai Kumbarawa

keterangan: tiada keterangan dari narasumber.
”dene liya punika nama titiron” (dan yang lain hanyalah nama tiruan).
Sumber: Naskah ”Waduaji, Etangan Siti, Etangan Cacah, Namaning Siti, Namaning mariyem lan sapiturutipun”.
(14) Meriam Kyai Kumbarawi

keterangan: tiada keterangan dari narasumber.
”dene liya punika nama titiron” (dan yang lain hanyalah nama tiruan).
Sumber: Naskah ”Waduaji, Etangan Siti, Etangan Cacah, Namaning Siti, Namaning mariyem lan sapiturutipun”.
(15) Meriam Kyai Nakula

”dene liya punika nama titiron” (dan yang lain hanyalah nama tiruan).
Sumber: Naskah ”Waduaji, Etangan Siti, Etangan Cacah, Namaning Siti, Namaning mariyem lan sapiturutipun”.




(16) Meriam Kyai Sadewa

”dene liya punika nama titiron” (dan yang lain hanyalah nama tiruan).
Sumber: Naskah ”Waduaji, Etangan Siti, Etangan Cacah, Namaning Siti, Namaning mariyem lan sapiturutipun”.
Nama Nangkula dan Sadewa adalah nama yang diadopsi dari nama tokoh wayang Mahabarata, yaitu anggota Pandawa.
(17) Meriam Kyai Bagus

”dene liya punika nama titiron” (dan yang lain hanyalah nama tiruan).
Sumber: Naskah ”Waduaji, Etangan Siti, Etangan Cacah, Namaning Siti, Namaning mariyem lan sapiturutipun”.
(18) Meriam Kyai Alus

”dene liya punika nama titiron” (dan yang lain hanyalah nama tiruan).
Sumber: Naskah ”Waduaji, Etangan Siti, Etangan Cacah, Namaning Siti, Namaning mariyem lan sapiturutipun”.
(19) Meriam Kyai Bringsing

”dene liya punika nama titiron” (dan yang lain hanyalah nama tiruan).
Sumber: Naskah ”Waduaji, Etangan Siti, Etangan Cacah, Namaning Siti, Namaning mariyem lan sapiturutipun”.
Meriam ini juga dijuluki kyai Berisik karena suaranya yang memekakkan telinga (wawancara K. G. P. H. Puger, 27 Januari 2009).
(20) Meriam Kyai Kadal Buntung
”dene liya punika nama titiron” (dan yang lain hanyalah nama tiruan).
Sumber: Naskah ”Waduaji, Etangan Siti, Etangan Cacah, Namaning Siti, Namaning mariyem lan sapiturutipun”.
Penamaan Kyai Kadal Buntung adalah penyesuaian bentuk meriam yang tidak berekor seperti meriam yang lain (wawancara K. G. P. H. Puger, 27 Januari 2009).
Meriam Kyai Setomi, Kyai Kumbarawa, Kyai Kumbarawi, Kyai Nakula, Kyai Sadewa, Kyai Bagus, Kyai Alus, Kyai Bringsing, Kyai Kadal Buntung adalah senjata perang. Namun pada perkembangan budaya mental, kesembilan meriam tersebut dikaitkan dengan konsep anasir manusia yang disebut dengan istilah babahan hawa sanga yang berarti sembilan lobang angin yang terdiri dari dua lobang telinga, dua lobang hidung, dua lobang mata, satu lobang mulut, satu lobang kelamin, dan satu lobang anus. Nyai Setomi merupakan simbol lobang yang dirahasiakan (wadi), yaitu lambang vagina atau kemaluan wanita. Lobang rahasia tersebut bukanlah anus, walaupun vagina dan anus selalu dalam kondisi tertutup. Hal ini dapat dilihat secara morfologi dari kata wadi – wadon yang memiliki makna ’tempat rahasia’. Jadi jelas apabila Nyai Setomi merupakan lambang kesuburan/wanita, ditopang pula dengan sebutan perempuan yaitu ’Nyai’.

Pengaruh Politik Budaya Fundamentalis
Bahasa sangat terikat pada bagaimana pendukungnya menempatkan bahasa pada posisi tertentu sehingga karakter pendukung menentukan bagaimana perkembangan bahasa itu sendiri. Konteks sosial budaya dan ekonomi politik merupakan faktor yang menentukan bagaimana pendukungnya melihat bahasa lokal dan cara memperlakukannya dalam beberbagai proses komunikasi. Perubahan konteks globalisasi karena selain menjadi faktor penting dalam artikulasi dan perubahan lokalitas juga menjadi momentum penting untuk mengevaluasi sesuatu yang bersifat lokal. Budaya fundamental ternyata selalu bisa mengisi dan menghiasi ruang pikiran masyarakat. Ruang profane selalu bersanding dengan ruang kudus. Ruang kudus di masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Solo raya adalah ruang yang dikuasai oleh kelompok fundamentalis yang terdiri dari keluarga bangsawan, priyayi yang selalu disangkut pautkan dengan dunia-dunia mitis.
Kelompok fundamentalis selalu menganggap dirinya sebagai kasta tertinggi diantara kasta-kasta atau golongan kelompok masyarakat di sekitarnya. Kelompok ini selalu mencoba mamanipulasi ide dengan cara melembagakan mitos. Sebagai contoh adalah mitos yang menegaskan bahwa raja Mataram adalah koloni sekaligus suami penguasa dunia gaib yang terkenal dengan sebutan Nyai Rara Kidul. Legitimasi politik semacam sebenarnya tidak lebih dari pada politik budaya demi teguhnya eksistensi para priyayi (wong njero).
Mitos yang dilembagakan oleh kalangan kerabat Keraton yang lain adalah ”siapapun yang bisa menjadi raja, maka ia mendapat jaminan masuk surga”. Mitos semacam merupakan pengaruh lama, yaitu pengaruh Hindu-Jawa dengan konsep Dewa-Raja-nya. Raja merupakan pancer atau pusat segala sesuatu, karena seorang raja dipercaya sebagai jelmaan Dewa. Sampai jaman sekarang pengaruh politik budaya fundamentalis masih sangat terasa di masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan masih menganggap bahwa Keraton adalah pusat segala peradaban. Itulah kehebatan politik budaya kaum bangsawan membius pemahaman masyarakat pedesaan yang bermobilitas pendidikan rendah. Isu-isu keluhuran kaum bangsawan yang disebarkan di masyarakat luar istana dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh kaum priyayi untuk semakin luasnya ruang gerak manipulasi politik. Ketika wong cilik menganggap bahwa wong njero merupakan manusia pilihan dewa, darah biru/ningrat, utusan Tuhan, sumber pengetahuan yang perlu dicontoh, wong njero yang berdarah borjuis memanfaatkan situai semacam untuk mengukuhkan kepentingan yang bersifat pribadi maupun kelompok. Dari jaman dahulu hingga sekaran, wong cilik selalu menjadi korban politik. Pengaruh budaya fundamentalis semakin kuat ketika budaya tulis yang lahir di istana dan produknya mulai di konsumsi oleh masyarakat di luar istana. Kebanyakan karya-karya tersebut yang beredar di masyarakat merupakan pujian, ajaran luhur dari istana sehingga legitimasi istana semakin tertanam kuat di mental masyarakat. Cerita-cerita tentang keluhuran Keraton semakin hebat ketika budaya lisan yang tersebar dari mulut ke mulut dimulai. Ketakutan masyarakat terhadap wong njero juga dikarenakan mitos bahwa parta priyayi adalah ksatria yang sakti mandraguna sekaligus malati.
Konsep pulung diciptakan oleh wong njero dengan tujuan agar masyarakat di luar istana berfikir bahwa keberhasilan jalan politik dianggap sebagai anugrah Tuhan yang hanya mampu diterima oleh kalangan bangsawan. Disini terjadi diskursus yaitu bahwa ketika wong cilik masih mengelu-elukan keluarga kerajaan, masih percaya akan kekuatan darah biru, para priyayi, bangsawan menghianati kepercayaan tersebut. Yang lebih tidak manusiawi adalah bahwa sesungguhnya para priyayi keraton merupakan penjahat etika kemanusiaan. Dengan gelar yang disandang, mereka biasa bertingkah dan bertutur di luar tata krama, susila (dalam ucapan), dan unggah-ungguh. Mungkin priyayi jaman sekarang tidak menyadari bahwa unggah-ungguh, dan etika tata krama merupakan produk dinasti Mataram demi kukuhnya dinasti tersebut. Lama kelamaan ketika mitos misteri darah biru telah terkuak, tidak mustahil bahwa bukan hanya bangunan Keraton saja yang akan ditonton oleh wisatawan, melainkan juga semua penghuni istana adalah objek tontonan yang dipelihara kelestariannya oleh pemerintah.

Alam Ide Masyarakat Kraton
Masyarakat, baik secara kelompok maupun individu yang memiliki gelar dari keraton seperti; sekabat, kerabat, keluarga keraton dan apalagi yang hidup di dalam kraton ternyata memiliki pola berfikir yang unik atau nyleneh apabila dikomparasikan dengan kehidupan sosial masyarakat di luar kraton, khususnya di zaman sekarang. Kehidupan didalam tembok karaton memang memiliki banyak sekali simbol-simbol yang tersembunyi dan disembunyikan dari masyarakat luar karaton. Sehingga masyarakat karaton lebih cenderung menutup diri dari orang-orang yang ada disekitar tembok. Dalam kehidupan yang lebih maju dan modern sekarang ini, masyarakat Karaton umumnya dan khususnya keluarga raja mengalami banyak sekali perkembangan-perkembangan yang lebih mengarah pada setiap perubahan. Dalam setiap perubahan yang terjadi dalam setiap pergantian penguasa atau tahta seorang raja akan membawa dampak ang mungkin hanya bisa dirasakan oleh para abdi dalem yang masih mengabdi di karaton Surakarta Hadiningrat. Oleh sebab itu, maka dalam setiap pergantian seorang raja maka semua akan mengalami juga yang dinamakan dengan perubahan. Perubahan tersebut dilakukan setiap raja yang bertahta berikutnya. Dalam kaitanya dengan bangunan Siti Hinggil, maka penulis akan mendalami juga tentang sejarah berdirinya dan apa saja yang ada dalam kompleks Siti Hinggil tersebut.
Secara sosial, beberapa petinggi keraton masih sangat suka dengan gelar kebangsawanannya, walaupun tidak setenar dengan berita yang berlebihan di luar tembok. Di luar tembok istana, orang masih menganggap bahwa keraton merupakan pusat peradaban atau budaya. Orang keraton digambarkan seperti dalam pewayangan yang halus budi, halus tutur kata, baik hati dan tidak sombong. Ternyata informasi tersebut delapanpuluh persen adalah omong kosong. Bangsawan keraton tidak banyak yang pandai atau berkualitas dalam pendidikan, bahkan sering pula mereka menampakkan jiwa feodalnya dengan prinsip sapa sira sapa ingsun. Ketika sebutan Gusti harus diartikan bagusing ati atau hati yang baik, para bangsawan menyepelekan amanat itu. Mereka tidak rendah hati, melainkan banyak yang congkak. Masalahnya adalah ”apa yang mereka banggakan atas kecongkakkanya itu?” Di dunia kapitalis sekalipun, bangsawan keraton tidak memiliki posisi yang nyaman dalam kapitalisme. Penulis melihat bahwa sebenarnya bangunan keraton dan segala isinya baik yang bernafas maupun benda mati adalah tidak lebih dari tontonan mata wisatawan semata. Artinya, untuk jaman sekarang kebanggaan ningrat atau darah biru harus segera dilenyapkan, dan sudah saatnya menuju ke Nasionalisme, karena ketika istana dan segala isinya menjadi objek tontonan, tak ubahnya seperti ’kebun manusia’ yang dilindungi oleh pemerintah agar tidak punah (bandingkan dengan ’kebun binatang’).



Kehidupan Sosial Masyarakat Kraton
Kehidupan masyarakat Karaton Surakarta Hadiningrat memiliki berbagai macam tingkat kehidupan yang plural, sehingga mereka hidup dalam kemewahan yang pada kehidupan sekarang ini banyak membutuhkan kekuasaan yang mutlak. Kehidupan di dalam tembok istana memang memiliki banyak fasilitas yang lebih dari kehidupan di luar tembok, sehingga dalam kenyataannya masayarakat ataupun kerabat-kerabat Kraton pada masa jaman keemasan yaitu pada pemerintahan Raja Pakubuwana X banyak sekali fasilitas, yang mungkin pada jaman Pakubuwana X masih hanya Kraton saja yang memilikinya. Oleh sebab itu, maka tidak jarang keturunan bangsawan yang memiki harta benda yang berlimpah, tetapi tidak jarang yang masih mengalami kekurangan dalam segi ekonomi.
Kerabat Keraton ternyata menganut prinsip ’kadang konang’. Secara etimologis kadang berarti saudara, konang berarti binatang kunang-kunang.
Dalam kehidupan sosial masyarakat Karaton sekarang telah mengalami gejolak yang sangat besar dalam menghadapi era pembangunan dan perubahan dari segala aspek budaya. pasalnya bahwa dalam kehidupan di dalam tembok istana pada era sekarang ini dapat ’lebih cenderung kepada kekuasaan belaka’ yang notabene hanya kekuasaan di dalam Karaton itu sendiri. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat kalangan bawah ataupun abdi dalem yang masih setia kepada Karaton hanya akan meloyalkan diri mekeka kepada bangunan-bangunan yang tersisa sekarang ini, tidak terkecuali bangunan Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat. Kekuasaan-kekuasaan yang terjadi di dalam Karaton Surakarta Hadiningrat merupakan perwujudan dari apa yang mereka lakukan dalam kehidupan ini. Karaton Surakarta Hadiningrat merupakan ’bangunan tua’ yang menjadi salah satu ikon budaya dahulu sampai sekarang. Akan tetapi perebutan kekuasaan yang terjadi dalam keluarga kerajaan seakan meruntuhkan dan memudarkan wibawa Karaton itu sendiri. Dengan demikian kekuasaan Karaton tidak hanya semata-mata sosok seorang raja saja yang mempunyai wewenang dan kekuasaan mutlak dalam pengambilan keputusan, akan tetapi orang-orang yang dianggap mampu membantu perekonomian Karaton juga akan diperhitungkan keberadaan mereka.
Kekuatan penguasa selalu akan menjatuhkan apa saja yang ada di depannya yang berusaha menghalangi perjalanan menuju kekuasaan yang mutlak. Bangunan Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat merupakan salah satu saksi bisu yang terdapat di istana tersebut. Bangunan ini juga menyimpan rahasia-rahasia yang sudah terungkap maupun yang belum terungkap di masyarakat umum.
Kejadian-kejadian yang ada di Siti Hinggil Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan suatu masalah yang hanya di ketahui oleh bangsawan-bangsawan Karaton Surakarta pada saat itu. Banyak orang yang mengatahui dan memahami hal tersebut akan tetapi tidak sedikit orang yang hanya menjadi penonton yang seakan hanya melihat bangunan kuna yang masih berdiri kokoh. Bangunan Siti Hinggil Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat merupakan bangunan yang pada masa Pakubuwana IX digunakan untuk mengambil dan memutuskan permasalah hukum dengan seadil-adilnya dan juga pernah digunakan untuk menghukum penjahat sampai memenggal kepala penjahat tersebut yang bernama sandiman. Akan tetapi pada saat ini bangunan ini hanya digunakan sebagai bangunan bersejarah yang lebih banyak digunakan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Sedangkan di kehidupan sekarang, masyarakat karaton Surakarta Hadiningrat masih ada yang belum memahami bangunan Siti Hinggil. Banyak peristiwa-peristiwa bersejarah masih disembunyikan terkubur dalam era perubahan jaman. Pemberian gelar misalnya, pada jaman Pakubuwana I sampai Pakubuwana XII almarhum hanya diberikan kepada orang-orang yang berkemampuan dan pintar di bidangnya. Oleh karena itu, ganjaran atau pemberian gelar diberikan untuk pengabdian dan loyalitas mereka di dalam Karaton Surakarta Hadiningrat. Akan tetapi pada perubahan masa sekarang ini terjadi suatu konflik yang berkepanjangan dan ini akan sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat Karaton itu sendiri. Dan banyak sekali gelar-gelar bangsawan yang didapat oleh orang-orang di luar tembok beteng dengan sangat mudah, yaitu dengan tawar menawar rupiah.

Fungsi Bangunan Siti Hinggil
Siti Hinggil ternyata mimiliki beberapa macam fungsi selain fungsi secara fisik. Siti Hinggil menjadi penanda etik dan estetik pada masa feodalisme. Tata ruang dan komponen-komponen ruang/pendapa dibangun sedemikian rupa dengan tujuan memilah golongan-golongan, mulai dari raja, kerabat raja, kolega, pejabat biasa, dan rakyat. Fungsi-fungsi lain daripada bangunan Siti Hinggil adalah sebagai berikut:
Fungsi Mitis
Mistik kejawen merupakan salah satu upaya pendekatan yang dilakukan manusia kepada Tuhan yang dilakukan sebagian masyarakat di Jawa. Mistik kejawen dalam hal ini berbeda dengan mistik lainnya sebab mistik kejawen ini memiliki kekhasan dan aktivitasnya sendiri. Pada dasarnya, mistik kejawen dilakukan dengan sebab yang mendasar. Dasar itu tentunya berkaitan dengan hakikat hidup manusia yang dituntut harus sejalan dengan aturan dan kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, maka manusia melakukan dan menjalankan berbagai laku yang dilakukan dan dikenal dengan mistik tersebut.
Dalam kehidupan di dunia maka kita alan dihadapkan pada dua pilihan misal, ”baik” dan ”buruk”. Dalam kenyataannya maka pilihan itu akan terus- menerus berada diantara kehidupan manusia. Maka tujuan yang ingin dicapai manusia dengan melakukan laku tersebut adalah meminimalkan sedapat mungkin semua hawa nafsu yang terletak pada perasaan manusia itu sendiri. Dengan tujuan untuk menenteramkan perasaan di dalam hati yang menjadi kedudukan emosi-emosi tersebut. Di balik perasaan manusia yang kasar masih ada perasaan yang murni yang merupakan manifestasi atas pengakuan Tuhan dalam individu itu.
Prestasi demikian ini membawa kekuatan spiritual yang bisa digunakan untuk urusan-urusan yang bersifat duniawi. Untuk mencapai rasa tertinggi tersebut manusia harus memiliki kemurnian kehendak yang sepenuhnya memusatkan kebatinan tersebut untuk mencapai tujuan tertinggi itu. Penarikan sementara dari minat kepada dunia lahir disebut semedi. Oleh sebab itu maka manusia juga mengalami tingkatan-tingkatan yang digolongkan terhadap kemampuan dan kesanggupan melaksanakan disiplin spiritual. Melalui olah rasa dan penghayatan batin yang mendalam maka akan mendapatkan pencapaian tertinggi yang akan membuat kehidupan lebih tentram dan damai. Oleh sebab itu mistik kejawen memiliki tujuan yang mulia. Melalui olah rasa dan penghayatan batin yang dalam akan mencapai rasa tertinggi dalam kehidupan yang akan membawa suatu perubahan yang lebih baik dalam menjalani hidup.
Dalam ritual mistik kejawen akan melibatkan rasa yang lebih dikenal dengan rasa sejati. Ngelmu ini dapat dicapai melalui diam (eneng), menjernihkan pikiran (ening), merenung (enung), kosong (lir ing budi). Cara-cara ini sereng dilakukan orang untuk menemukan Tuhan dalam hatinya. Jalan spiritual yang dilakukan guna mencapai laku tarekat dan hakikat untuk mecapai makrifat. Pada suatu saat manusia yang melakukan ritual ini akan mencapai tingkat kesatuan mistik yang membuat tidak sadar diri, tetapi hal itu disadari dan diniati. Manusia yang berhasil mencapai tingkatan tersebut berarti sudah mencapai tataran makrifat atau tingkat religius tertinggi.
Fungsi religius mengikat masyarakat untuk patuh terhadap aturan-aturan ceremonial yang dibuat dan dilaksanakan oleh kelompok fondamentalis. Pada saat Siti Hinggil didirikan dan menjadi salah satu bagian dari Karaton Surakarta Hadiningrat bangunan ini digunakan sebagai tempat penobatan seorang raja yang kemudian bertahta di Karaton. Bangunan ini merupakan tempat yang pada jaman dahulu juga digunakan untuk menyambut tamu-tamu dari belanda yang datang ke Karaton untuk menyaksikan upacara-upacara adat Karaton Surakarta Hadiningrat. Namun fungsi utama bangunan Siti Hinggil adalah untuk menggelar parepatan atau pertemuan raja dan para pejabat guna membahas kebijakan, perkembangan atau keadaan penting lainnya. Bangunan Siti Hinggil saat ini telah mengalami renovasi fisik di era pemerintahan Pakubuwono ke X. Saat ini, Siti Hinggil memiliki fungsi lain disamping berfungsi sebagai hal-hal diatas dan fungsi itu adalah mengandung fungsi religius. Siti Hinggil menjadi tempat ziarah untuk masyarakat umum, lebih-lebih didukung dengan ditempatkanya sebuah meriam Nyai Setomi di belakang bangsal manguntur tangkil yang pada saat ini diyakini masyarakat sekitar sebagai benda yang dikeramatkan dan bisa membawa keberuntungan, hal semacam diistilahkan ”ngalap berkah”.
Bangsal Witana yang menjadi tempat penyimpanan meriam tersebut oleh masyarakat ataupun kerabat Karaton Surakarta Hadiningrat diyakini sebagai tempat untuk memuja benda keramat. Bangsal tersebut oleh masyarakat umum dipandang akan membawa sebuah pencerahan bagi individu yang datang untuk ziarah. Dengan membawa bunga mawar dan dupa pada hari-hari tertentu orang-orang yang masih menganut kepercayaan lama melakukan upacara ngalap berkah. Sampai hari inipun aktifitas semacam masih bisa dilihat, terutama pada malam jum’at dan malam tertentu yang dianggap keramat (malam selasa kliwon dan jum’at kliwon). Di sisi sebelah selatan joglo bangsal witono terdapat sengkalan lamba berbunyi ’nginggiling siti kahesthi rupa”. Sengkalan ini menunjukkan angka tahun 1810 Jawa. Hal ini menunjukan bahwa bangsal witana dibangun pada tahun 1810 masa pemerintahan PB X.

Ceritera mistis yang berkembang di masyarakat sampai sekarang adalah apabila sudah waktunya jamasan, nyai setomi mengeluarkan suara bergemuruh layaknya meriam itu masih aktif. Yang lebih menarik adalah tata letak bangsal witono yang berada di belakang bangsal manguntur tangkil. Pasalnya bahwa bangsal manguntur tangkil merupakan tempat raja dinobatkan dan tempat raja miyos sinewaka/tinangkil. Peletakan meriam di belakang raja tentu saja akan membawa masalah tafsir fungsional. Apabila terjadi kecalakaan ledakan, secara rasional, tentu akan meledakkan kepala raja dari belakan. Namun jelas bahwa sebelum meriam bernama nyai setomi di letakkan di bangsal witono, tentu meriam tersebut sudah tidak aktif. Untuk kemudian, meriam tersebut mengalami pergeseran nilai, dari nilai fungsional menjadi nilai simbolis. Simbolis yang penulis maksud adalah bahwa meriam nyai setomi menjadi lambang kesuburan yang ditafsirkan dengan pemberian nama meriam tersebut dengan sebutan nyai (sebutan untuk wanita jawa).
Tempat-tempat seperti ini dianggap sebagai tempat yang tepat untuk meminta sesuatu dari Tuhan dengan lantaran-lantaran penguasa kekuatan gaib yang ada. Orang Jawa menyebutnya dengan sebutan “ ngalap berkah”. Jadi, menurut pandangan Jawa hal seperti itu bukanlah sebuah asumsi musrik, hal ini hanyalah semata-mata penghormatan terhadap leluhur dan bawaan naluri jawa.
Orang Jawa percaya terhadap hal-hal demikian, karena dengan melakukan ziarah mereka dapat menemukan jawaban dari masalah-masalah yang sedang dihadapi. Mereka akan mendapat ilham dari Dhanyang Penunggu. Walaupun hanya sekedar ziarah, ada syarat mutlak yang harus dijalani secara lahir dan batin. Yang pertama adalah kesucian hati dan ketulusan. Orang jawa mengatakan “ ora percaya kena ning aja maido, adakane wong maido iku njarag”. Artinya, bahwa kita harus menghindari watak menyangkal untuk jauh dari sifat sombong dan menantang. Menyikapi hal semacam dapat dikatakan susah-susah mudah, tergantung kedewasaan jiwa. Namun di dalam kenyataan yang ada di lapangan, nilai-nilai kebijaksanaan lokal telah mengalami pergeseran dan bahkan penghilangan nilai. Menurut para pakar struktural, masyarakat primitif menyimpan nilai intelektual di dalam setiap pemetaan pemikiran abstraknya.

Fungsi Sosial
Era dinastik, Siti Hinggil merupakan tempat bertemunya seluruh komponen pemerintahan kerajaan. Sebelum raja keluar tinangkil, semua pejabat berkumpul di bangsal Witana berdialog satu dengan yang lain. Mereka bertukar pendapat, bertukar informasi, juga berbisnis. Saat ini, bagian bangunan Siti Hinggil yang bernama gandhek kiwa digunakan sebagai tempat berkumpulnya abdi dalem yang ternyata beberapa diantaranya merupakan pengabdi warisan budaya. Di sana mereka melakukan kegiatan sosial untuk kesejahteraan sesama anggota.
Kegiatan berbisnis ternyata telah dilakukan oleh para pembesar atau penguasa keraton sejak tempo pemilihan tanah atau lahan untuk membangun keraton Surakarta Hadiningrat yang terkenal dengan peristiwa Kartasura boyong. Menurut desas-desus yang beredar di lingkungan Keraton, diceriterakan bahwa tanah yang sekarang berdiri bangunan raksasa Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dulunya adalah milik seorang juragan tanah yang tidak diketahui nama kecilnya. Tetapi setelah tanah Sala di beli oleh pemerintahan Kasunanan, orang tersebut dianugerahi nama Ki Ageng Sala atau Ki Gede Sala. Sampai sekarang masih bisa kita lihat patilasan/bekas makam Ki Gede Sala di sebelah pojok barat kompleks Siti Hinggil. Tempat tersebut hanyalah bekas makam Ki Gede Sala, karena tanah jasadnya telah dipindahkan ke tanah kosong di daerah kampung Mloyosuman, Baluwarti, dan saat ini di atas tanah kuburan Ki Gede Sala tersebut didirikan bangunan rumah oleh salah seorang penduduk yang masih termasuk kerabat dekat Keraton bernama Ninong dan Jago.

Fungsi Historis
Pertengahan pertama abad XVII, mataram sampai tiga kali mengalami peperangan perebutan tahta. Hal itu mengakibatkan terpecahnya kerajaan yang sudah sangat sempit. Misalnya, sejak 1743 mataram hanya memiliki wilayah-wilayah Bagelen, Kedu, Yogyakarta, dan Surakarta. Tragisnya lagi, Mataram terpecah menjadi dua kerajaan sesuai dengan perjanjian Giyanti pada tahun 1755. kedua kerajaan tersebut adalah kerajaan Surakarta dengan rajanya Susuhunan Pakubuwana III dan Yogyakarta dengan rajanya Pangeran Mangkubumi/Hamengku Buwana I. Selanjutnya, pada tahun 1757 kerajaan Surakarta dipecah lagi menjadi dua yaitu wilayah yang dirajai Pakubuwana III dan wilayah yang dirajai oleh Mangkunegara I.

Pergantian rezim pemerintahan kerajaan Surakarta mulai dari PB III – PB XIII selalu meninggalkan citra masa pemerintahannya. Peninggalan itu bisa berupa artefac (bangunan), kesenian, dan karya sastra. Bentuk bangunan Karaton Surakarta Hadiningrat akan mengalami perubahan setiap pergantian raja yang berkuasa. Bangunan-bangunan Siti Hinggil Karaton Surakarta Hadiningrat banyak mengalami perubaha yang spesifik pada masa pemerintahan Pakubuwana X. Yang memasukkan kebudayaan barat, dalam hal ini bangsa Belanda yang datang ke Karaton pada saat itu dan Pakubuwana X membangun bangsal Sewayana dengan memakai baja yang menyangga atap bangsal tersebut yang juga menggunaka bahan dari besi.
Siti Hinggil secara harfiah berarti tanah yang tinggi. Menurut sinonimnya Siti Hinggil adalah sitiluhur ataupun sitibentar. Jalan menuju kompleks Siti Hinggil terdapat tangga atau level yang ditengahnya diletakkan sebuah lempengan batu dengan cara disemen atau diplester. Konon kabarnya batu ini bernama sela pamecat dan batu ini berasal dari Karaton Kartasura. Secara harfiah sela pamecat berarti batu yang digunakan untuk menghabisi nyawa seorang abdi dalem. Menurut mitos batu ini adalah tempat duduk Prabu Suryawisesa di Karaton Jenggala.
Sela pamecat pernah digunakan untuk menghancurkan kepala sandiman, salah satu abdi pangeran balitar di Kartasura. Batu ini juga pernah digunakan menghancurkan kepala Trunajaya pada tahun 1680 M. Diakhir tangga terdapat pintu yang disebut kori wijil. Nama wijil digunakan untuk mengingat pujangga besar pendamping Yosodipuro I yang bernama Pangeran Wijil. Selain untuk mengingat Pangeran Wijil, pintu ini digunakan untuk simbol pengajaran agar orang hidup selalu berhati-hati dalam berucap (wijiling lesan). Tanah yang digunakan untuk membangun Siti Hinggil diambil dari desa Kadipala Sanasewu Sala tahun 1766 pada waktu jumenengan SISKS PB III.
Nama bangsal Sewayana secara harfiah berarti tempat untuk duduk dan memandang. Tempat ini merupakan tempat duduk yang luas sehingga dapat untuk memandang sampai batas pandang mata. Tempat ini merupakan tempat untuk menghadap raja. KGPAA Mangkunegara, pembesar Belanda, Tionghoa, Arab, Opsir Mangkunegaran dan Belanda Onderneming duduk di sebelah barat, dan di sebelah timur ditempati oleh semua komponen kerajaan seperti pangeran putra, sentana, abdi dalem, bupati, bupati anom.
Pasowanan dilakukan apabila ada upacara-upacara grebeg atau upacara besar lainnya. Diantara bangsal manguntur tangkil dan bangsal sewayana merupakan tempat duduk raja pada saat mengadakan pertemuan pada hari senin, kamis atau ketika pada saat raja memutuskan suatu masalah. Bangsal tersebut juga disebut bangsal pancaniti. Penamaan bangsal pancaniti adalah sebagai lambang ketika memutuskan suatu masalah dihadiri oleh lima pembesar ; (1) raja sebagai pembesar, (2) patih sebagai jaksa, (3) penasehat/sekretaris, (4) abdi dalem pengulu sebagai warga, dan (5) senopati sebagai warga.
Di belakang bangsal Manguntur Tangkil terdapat bangunan terbuka yang bernama bangsal Witana, tempat menghadap para abdi dalem wanita, penari, jaka palara-lara, emban, inya, cethi, yang semuanya mempunyai tanggung jawab menjalankan tugasnya masing-masing. Adapun yang dibawa para abdi dalem tersebut berupa banyakdhalang, sawunggaling, khutuk emas, hardhawalika, yang semuanya berupa emas. Selain itu juga ada pusaka-pusaka yang melambangkan kewibawaan seorang raja antara lain ; tumbak, pedang, tameng, panah dan sebagainya. Semua wujud ubarampe tersebut mempunyai lambang yang ditujukan untuk umat manusia yang mengingatkan mereka kepada Sang Pencipta alam semesta ini.
Fungsi historis yang melekat pada setiap peninggalan bangunan di karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat secara eksplisit sebenarnya hanyalah sebagai munumen peringatan sebuah rezim, artinya bahwa bangunan tersebut untuk mengenang raja pendiri candi budaya tersebut. Argumen yang lain adalah untuk mengenang peristiwa yang terjadi pada waktu itu. Namun perlu diingat bahwa keaslian keterangan yang terekam di bangunan itu belum tentu bisa dipercaya kebenaranya seratus persen. Hal ini mengingat bahwa kekuasaan raja begitu absolut sehingga semua data dan keterangan di lingkup kekuasaan raja harus tunduk kepada kepentingan dan perintah raja.

Legitimasi dan Eksistensi Raja
Kekuasaan raja yang absolut pada masa feodalisme, digunakan untuk menindas kebebasan berfikir masyarakat. Semua sistem harus tunduk di bawah kaki raja. Jika ditinjau dari perjalanan sejarah, kepercayaan yang didoktrinkan penguasa kepada rakyat adalah bahwa raja menjadi pancer dunia, raja adalah wakil Tuhan yang berkuasa mutlak, sehingga apapun daulat raja harus dilaksanakan. Ketika Sutan Takdir Alihsyahbana mendobrak budaya fondamentalis, citra kratonpun menjadi buram. Apalagi setelah masa Indonesia merdeka, kraton dan raja sudah tidak memiliki kekuatan dan sistem pengendali massa.
Hakikat kekuasaan dalam dalam kesadaran koknitif merupakan gejala yang khas antar manusia. Kekuasaan merupakan kemampuan untuk memaksakan kehendak kepada orang lain untuk membuat mereka melakukan tindakan-tindakan yang kita kehendaki. Kekuasaan pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang abstak yang hanya menjadi konkret dalam sebab-sebab dan akibatnya. Kekuasaan terdiri dalam hubungan tertentu antara orang-orang ataupun kelompok orang dimana salah satu pihak dapat memenangkan kehendaknya terhadap yang satunya. Kekuasaan muncul dalam bentuk yang plural, misalnya sebagai kekuasaan orang tua, karismatik, politik, fisik, finansial, intelektual, tergantung dari dasar empiriknya.
Paham Jawa memiliki konsep yang sama sekali berbeda dengan kata kekuasaan itu sendiri sebagai terjemahan dari kata bahasa Inggris power yang sesungguhnya tidak cocok untuk mengungkapkan apa yang dimaksud dengan kekuasaan menurut konsep Jawa. Seperti segala kekuatan yang menyatakan diri dalam alam, kekuasaan adalah ungkapan energi Illahi yang tanpa bentuk, yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos. Kekuasaan bukanlah suatu gejala sosial yang berbeda dari kekuatan-kekuatan alam, melainkan ungkapan kekuatan kosmik yang dapat kita bayangkan sebagai semacam energi atau warna yang memenuhi kosmos.
Prinsipnya, kekuatan adiduniawi itu ada di mana-mana, tetapi ada tempat, benda dan manusia dengan pemusatan energi yang lebih tinggi. Orang yang dipenuhi oleh kekuatan semacam tidak bisa dikalahkan, tidak bisa dilukai karena mereka sakti. Kekuasaan politik adalah ungkapan kasekten atau kesaktian, maka bukan merupakan sesuatu yang abstrak, suatu nama belaka bagi hubungan antara antara dua unsur konkret, yaitu manusia atau kelompok manusia. Kekuasan memiliki substansi dalam dirinya sendiri, bereksistensi pada dirinya sendiri, tidak tergantung dari dan mendahului terhadap segala pembawa empiris. Dalam kenyataan kekuasaan adalah hakikat realitas sendiri, dasar illahinya, dilihat dari segi kekuatan-kekuatan yang mengalir dari padanya.
Bagi orang Jawa, kekuasaan menurut hakikatnya bersifat homogen, bersifat satu dan samasaja dimanapun ia menampilkan diri. Bentuk-bentuk kekuasaan menurut paham Jawa merupakan partisipasi pada kekuatan yang satu yang meresapi seluruh kosmos. Dari paham itu dapat disimpulkan bahwa kekuasaan itu merupakan representasi alam semesta.
Kekuasaan seorang raja dilatar belakangi oleh kekuatan kosmis yang besar dari dalam dirinya sendiri, sebagai seorng yang saktikesaktiaan seorang raja diukur dari besar kecilnya monopoli kekuasaan yang dipegangnya. Sehingga apabila seorang raja memiliki kekuasaan yang besar maka dengan sendirinya memiliki kekuasaan yang besar atas wilayah kerajaannya. Dari seorang raja yang berkuasa, maka juga akan mendatangkan kedamaian bagi masyarakat di sekitar kerajaan. Sehingga, tidak ada yang akan menggangu kdamaian kaum bawah yang bekerja di sekitarnya. Karena kekuasaan yang begitu besar dan berpusat pada kekuatan yang besar pula sehingga semua faktor yang mengganggu kehilangan kekuatannya dan seakan-akan di keringkan.
Kekuasaan raja juga akan tampak dalam kesuburan tanahnya. Karena setiap kekuatan kosmis seorang raja difokuskan dalam diri raja itu sendiri. Oleh karena itu, kekuatan raja dapat dilitat dari kesuburan dan keteraturan masyarakat dan alamnya. Dalam masyarakat Jawa dikatakan sebagai adil makmur.

Pergeseran Nilai
Kebudayaan selalu mengalami suatu perubahan yang dipelopori oleh gejolak jaman. Nilai penghayatanpun ikut mengalami perubahan interpretasi karena harus mengalami pula proses definisi ulang tentang makna yang melekat terhadap wujudnya. Sebagai contoh pergeseran nilai pada tiap bangunan di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat adalah beralihnya fungsi bangunan yang bernama gandhek kiwa, gandhek tengan yang dahulu berfungsi sebagai tempat abdi dalem melakukan tugas caos atau tempat berjaga malam. Namun tempat tersebut pernah juga dipakai seabagai tempat perkuliahan dan perpustakaan oleh STSI. Tahun 2005 sampai sekarang, bangunan yang bernama gandhek kiwa digunakan sebagai stasiun radio lokal ’Karti Budaya’ yang dipimpin oleh KGPH Puger. BA.
Pergeseran nilai fungsi selalu berhubungan dengan eksistensi Keraton. Pada kenyataannya saat ini Keraton hanya menjadi panggung yang dipertontonkan kepada masyarakat di luar Keraton tentang konflik interen yang tiada pernah berhenti sampai saat ini. Fenomena surya kembar atau dua raja dalam satu rumah, yaitu Hangabehi dan Tejowulan belum juga sampai pada titik temu perdamaian. Keduanya mengaku pewaris tahta yang sah. Apalagi menjelang pemilu, tidak sedikit kerabat Keraton mengusung diri sebagai CALEG dari beragam partai politik. Indikasinya adalah bahwa hal ini merupakan stimulan meredupnya wibawa Keraton surakarta Hadiningrat. Ketika Keraton Surakarta Hadiniingrat menjadi fenomena wisata, Keraton telah kehabisan produk jual. Pasalnya tidak seorangpun petinggi Keraton peduli terhadap eksistensi Keraton. Produk wisata budaya hanya merupakan sajian AD/ART semata, misal; sekatenan, kirab satu Sura. Kraton sendiri bukan lagi merupakan cagar budaya, melainkan hanya sebagai ”CANDI BUDAYA” yang tidak kurang dan tidak lebih adalah bangunan lama yang segera runtuh. Keraton tidak akan bisa menjuadi produk andalan wisata budaya apabila managemen di dalamnya tetap seperti ini.
Bangunan-bangunan kompleks Siti Hinggil yang dahulunya digunakan sebagai acara-acara kenegaraan telah mengalami pergeseran fungsi. Misal adalah bangsal witana berubah menjadi tempat orang-orang ngalap berkah. Perubahan fungsi selalu berimbas pada perubahan nilai. Keraton kini tidak lebih dari pada simbol saja, bahkan hanya merupakan tanda semata. Beberapa orang bahkan membuat bangunan keraton yang diam menjadi jimat kekuatan yang mampu membantu mereka. Interpretasi semacam secara rasional merupakan kegoblogan imperium suatu bangsa yang sebenarnya telah masuk ke alam modernisasi.
Alur kehidupan manusia dipenuhi perpaduan-perpaduan serupa antara keniscayaan dengan kebetulan. Keunggulan besar pandangan-pandangan dunia religius tradisional adalah rentang kepeduliannya terhadap manusia-dalam-jagad (kosmos), manusia sebagai makhluk spesies tertentu, dan kontingensi kehidupan. Pada saat yang sama, dengan cara-cara yang berlainan, pemikiran agamis juga menanggapi intimasi-intimasi samar tentang kekekalan, umumnya lewat usaha mentransformasi fatalitas menjadi kontinuitas. Dengan begitu, pemikiran religius memusatkan perhatiaanya kepada kaitan-kaitan antara yang telah mati dengan yang belum lahir, misteri regenerasi. Untuk tujuan kita sekarang adalah dua sistem budaya yang relevan adalah komunitas religius serta ranah dinastik.
Komunitas ’yang sakral’ untuk periode sekarang (jaman modern) merupakan sesuatu yang abstrak, bersifat imaginasi, dan terbayang. Mengapa dikatakan demikian karena komunitas ini telah mengalami kelembagaan mitos dan realitas ide yang mewujud atau ngejawantah dalam bentuk baru mengandung metafora-metafora. Komunitas-komunitas terbayang sebagai sesuatu yang dengan sendirinya tumbuh lalu berkembang dari, dan menggantikan tempat, komunitas-komunitas ranah-ranah dinastik terdahulu. Dibalik keruntuhan komunitas-komunitas religius, surutnya bahasa-bahasa dan garis-garis keturunan sakral, berlangsung suatu perubahan fundamental dalam modus pemahaman dunia, yang, di atas segalanya memungkinkan orang menggagas ”bangsa”. Periode semacam merupakan transformasi pemahaman atas waktu. Dalam sejarah kebudayaan manusia kita melihat bahwa banyak penemuan baru telah tercipta ketika ada suatu krisis dalam masyarakat yang bersangkutan, yang berarti bahwa dalam masyarakat itu ada sejumlah orang yang menentang keadaan karena mereka sadar akan kekurangan-kekurangan yang ada dalam masyarakat sekelilingnya, dan merasa tidak puas dengan keadaan itu. Upaya untuk mencari dan menciptakan penemuan baru itu seringkali terdorong oleh sistem perangsang yang ada dalam masyarakat itu, yang antara lain berupa kehormatan dari khalayak ramai, kedudukan yang tinggi, harta dan sebagainya.

Simpulan

• Bentuk kata dalam istilah-istilah yang digunakan sebagai nama bangunan kompleks Siti Hinggil, penulis menemukan satu bentuk kata monomorfemis (rana), dan yang lain berbentuk polimorfemis (frase nomina).
• Komponen-komponen artefak di kompleks Siti Hinggil ternyata menyimpan makna leksikal, kultural. Selain hal tersebut penulis menemukan pula pengaruh politik budaya feodalisme terhadap masyarakat di luar istana, alam ide masyarakat keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan kehidupan sosialnya. Sedangkan Komponen artefak di kompleks Siti Hinggil memiliki beberapa fungsi, seperti; fungsi mitis, fungsi sosial, fungsi historis, legitimasi dan eksistensi raja. Dalam perkembangan jaman, ternyata telah terjadi pula pergeseran nilai-nilai fungsi yang telah tersebut di atas. Penulis, melalui penelitian ini berkeyakinan bahwa untuk sepuluh tahun ke depan apabila kondisi kebijakan kraton kasunanan Surakarta masih seperti ini dan tidak diadakan revolusi kebijakan, maka sudah dapat dipastikan bahwa kraton akan kehilangan semua citranya baik eksistensi maupun esistensinya, dan kraton bukan lagi merupakan ‘cagar budaya’, melainkan hanya sekedar menjadi ‘candi budaya’.




Saran

• Bagi pihak Kraton, sudah saatnya melakukan reformasi kepengurusan atau managerial. Segala aktifitas di dalam Kraton dan artefak Kraton merupakan aset budaya, oleh karena itu sudah menjadi tugas kraton untuk menjaga, melestarikan budaya Kraton sendiri agar generasi berikutnya, khususnya sejarawan muda mengetahui pola kebudayaan (art, mental, sosial) era Kratonis.
• Ditinjau dari sudut pandang wisata, khususnya wisata budaya, kraton akan lebih memiliki arti, baik dari segi cultur dan bisnis kepariwisataan apabila mau merubah sistem, dan hidup rukun antar keluarga besar keraton yang sampai saat ini selalu seperti kucing dengan anjing. Dengan begitu, dapat dipastikan bahwa keraton ke depannya akan menjadi income besar bagi kraton dan kota Solo.
• Penelitian ini masih jauh dari sempurna. Penulis menghimbau peneliti berikutnya agar lebih mendalam, rinci, dan sistematis dalam melakukan penelitian yang serupa.