Kamis, 23 Juli 2009

Studi Tafsir Kayon

STUDI TAFSIR TERHADAP ARTEFAK
”KAYON”



OLEH :
ARIF HARTARTA

M A G I S T E R K A J I A N B U D A Y A

U N S

2009
(KORI SUWUNG NIR SEMBAH)
BAB I
PENDAHULUAN

Astrak
Gunungan atau lebih pupuler disebut dengan istilah ’kayon’, merupakan satu-satunya elemen terpenting di dalam setiap pertunjukan wayang. Elemen ini selalu mengisi ruang dan waktu alur pertunjukan mulai dari sebelum pertunjukan dimulai sampai selesai. Hal ini karena gunungan mampu me-representasikan diri menjadi hampir semua formula cosmik (konvensional). Tidak hanya sekadar itu, ternyata kayon adalah artefak yang menyimpan data rekam pemikiran-pemikiran genius nenek moyang kita dengan cara akulturasi selektif. Konsep-konsep yang membangunnya merupakan pemahaman dari filsafat kosmologi, di kenal dengan istilah ngilmu sangkan paran oleh penganut kosmologi Jawa. Kayon dan semua anazirnya merupakan simulacrum dari makrocosmos (Jw: jagad gedhe) dan mikrokosmos (Jw: jagad cilik). Makalah ini akan mengupas; (1) fungsi gunungan dalam pertunjukan wayang, (2) mengupas makna bentuk dan komponen pembangun gunungan, dan (3) menjelaskan hubungan antara bentuk, makna, dan fungsi dari gunungan atau ’kayon’.

1. Pengantar
Gunungan merupakan unsur yang masih baku di dalam pertunjukan wayang. Di dalam terapan dunia pewayangan/pakeliran, gunungan merupakan satu-satunya komponen multi fungsi yang mampu merepresentasikan beragam simbol, lambang, makna, maksud, dan tujuan. Selama ini belum pernah ada seorang dalang atau sebuah pertunjukan wayang yang tanpa mengikutsertakan wayang gunungan. Secara etimologi, ‘gunungan’ berasal dari kata gunung + an, yang berarti ‘seperti gunung’. Secara visualisasi bentuk, memang gunungan wayang memiliki struktur menyerupai segitiga sama sisi atau boleh dibilang menyerupai piramida. Namun apabila diamati lebih detail lagi, ternyata gunungan terbagi atas tiga struktur pokok. Pertama adalah kaki gunungan, kedua adalah badan gunungan, dan ketiga adalah kepala atau puncak gunungan. Ketiga komponen tersebut memiliki makna berlainan yang berkait erat dengan dunia mitologi dan mitis atau ilmu ’sangkan paran’. Yang pasti, secara konvensional pewayangan menyatakan bahwa gunungan merupakan konkretisasi filsafat kosmologi maupun kosmogoni.
Orang Jawa adalah suku bangsa yang kaya akan simbol. Orang Jawa termasuk salah satu suku yang memiliki upacara adat terbanyak. Apapun atau sekecil apapun moment yang terjadi, selalu dibarengi dengan sebuah upacara tertentu. Jadi jelas bahwa suku Jawa adalah manusia simbol. Simbol bukan sekadar benda mati yang tercipta dari kekosongan. Simbol-simbol orang Jawa selalu memiliki falsafah atau ideologi masing-masing. Banyaknya ideologi ini dikarenakan banyaknya pula kebudayaan asing yang masuk melalui jalur akulturasi budaya. Brian Turner mengatakan bahwa pada masa yang akan datang, bahasa dan praktik dipahami dalam berbagai konteks. Suatu ceritera yang semata-mata bersifat gubahan menuntut perhatian hanya kepada proses lokal yang langsung. Masa depan ini adalah masyarakat semiotik, karena organisasi sosial maupun perwakilannya muncul secara bersamaan (2008: 277).

2. Rumusan Masalah
Kupasan atau analisis tuntas terhadap suatu objek, diperlukan rumusan permasalahan yang akan dibahas, agar pendekatan beserta pembahasannya lebih fokus dan jelas arah pembicaraannya. Adapun permasalahan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah fungsi gunungan wayang atau ’kayon’ di dalam pertunjukan wayang?
2. Bagaimanakah makna dari bentuk dan komponen di dalam gunungan wayang atau ’kayon’?
3. Bagaimana hubungan antara bentuk, makna (isi), dan fungsi gunungan atau ’kayon’ dalam dunia pewayangan?

3. Landasan Teori
Gunungan atau kayon merupakan produk budaya dalam arti seni (lihat Williams; Mudji Sutrisna & Hendar Putranto (ed), 2005:8). Seni adalah salah satu lembaga kebenaran yang merupakan medium antara materialisme dan yang rohani (bdk Jakob Sumardjo, 2000:3-10). Dunia seni sangat berkait erat dengan dunia sastra, maka tidak heran apabila banyak kita jumpai kajian-kajian ilmu ’seni sastra’. Karya sastra tidak lahir dalam kekosongan budaya (Teeuw, 1980:11). Artinya bahwa produk budaya ini menyimpan suatu makna, maksud, dan tujuan tertentu. Artefak ini menyimpan record kegeniusan ide seniman maupun filsuf tempo dulu. Karya sastra adalah artefak yang sesungguhnya mati, baru memiliki makna dan menjadi objek estetik apabila telah diberi arti oleh pembaca (lihat Teeuw, 1984:191). Jadi, untuk mengetahui dan membongkar makna apa yang terkandung pada gunungan wayang diperlukan analisa dengan pendekatan strukturalisme dinamik, yaitu analisis struktural yang digabungkan dengan semiotik. Menganalisis tanda pada sebuah artefak, tidak dapat dipisahkan dari analisis struktural (Pradopo, 2008:143).
Teori struktural menurut A. Teeuw adalah menggunakan prinsip bahwa kritik sastra harus berpusat pada karya sastra itu sendiri, lepas dari unsur-unsur pembentuk diluar karya sastra itu sendiri, latar belakang sosial, sejarah, biografi, dam lain-lain. Dikatakan lagi bahwasanya struktur hanyalah pendekatan pendahuluan. Ternyata struktur tetap menjadi prioritas yang penting untuk melihat bagian-bagian dari objek sehingga tampak sebagai sesuatu yang utuh.
Pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur karya sastra yang secara bersama menghasilkan sebuah kemenyeluruhan. Pendekatan struktural sering juga dinamakan pendekatan obyektif, pendekatan formal, atau pendekatan analitik, bertolak dari asumsi dasar bahwa karya sastra merupakan karya kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dilihat sebagai suatu sosok yang berdiri sendiri terlepas dari hal-hal lain yang berada di luar dirinya.
Semiotik adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Menurut ilmu ini, bukan saja sistem komunikasi yang secara eksplisit menggunakan tanda seperti bahasa, morse, dan lain-lain, melainkan juga sejumlah besar tindakan dan hasil kerja manusia seperti gerakan tubuh, pakaian, makanan, bangunan; kesemuanya mengandung "arti" tertentu sehingga dapat dianalisis sebagai tanda.
Tanda akan hidup atau memiliki nilai/makna apabila sudah terjadi dialog antara penanda (signifier); citraan atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal atau visual, seperti; suara, tulisan, atau benda dengan petanda (signified); konsep abstrak atau makna yang dihasilkan oleh tanda. Sedangkan hubungan antara penanda dan petanda, yaitu cara tertentu sebuah citraan mental berhubugan dengan sebuah makna disebut pertandaan (signification).
Tanda selalu digunakan dalam fenomena natural atau semiotik klasik secara luas. Definisi dari tanda bermula dari terminologi dan masalah tentang hakikat dari tanda itu sendiri, atau hal-hal di luar ilmu semiotik. Tanda selalu bermakna ganda. Tanda memiliki makna di luar tanda itu sendiri. Masalah yang dihadapi oleh peneliti ilmu semiotic adalah hubungan antara tanda itu sendiri dan kenyataannya. Tanda memiliki bentuk abstrak dan konkrit. Semiotik hanya mengkaji tanda konvensional. Trans semiotik merupakan perlintasan daripada dari yang bukan termasuk semiotik ke semiotik.
Tanda memiliki model yang berlainan menurut beberapa pandangan atau dimensi semiotik. Tipologi ini hanya berdasar pada teori-teori hermeuneutik. Tanda hampir mirip dengan quantum teori, namun perlu dicatat bahwa tidak semuanya seperti itu. Setiap disiplin partikular selalu memiliki sisitem interpretasi terhadap tanda-tanda tertentu. Semua adalah tanda, tinggal siapa yang memaknainya.

Eco: ”bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat mengungkapkan kebenaran: ia pada kenyataanya tidak dapat digunakan untuk ’mengungkapkan’ apa-apa. Saya pikir definisi sebagai sebuah teori kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai sebuah program komprehensif untuk semiotika umum” (dalam Yasraf, 2003:45).

Artinya bahwa jika kita berbicara sesuatu, kita hanya membicarakan konsep dari sesuatu itu, dan sesuatu itu sendiri tidak pernah menyatakan dirinya ’yang sesungguhnya’. Tafsir baru bisa menjadikan sesuatu itu bermakna. Sesuatu itu tetap diam dalam dirinya
Tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified) yang merupakan acuan atau arti tanda tersebut. Menurut C. S. Pierce, hubungan antara tanda dan acuannya ada 3 jenis, yaitu:
1. ikon (icon): hubungan antara tanda dan acuannya sebagai hubungan kemiripan. Kata icon (ikon) berasal dari bahasa Latin, yang berarti ’arca, patung’, atau gambar atau patung yang menyerupai contohnya.
2. indeks: hubungan yang berupa kedekatan eksistensi, mengacu pada hukum sebab-akibat. Misalnya asap menandakan ada api.
3. simbol: hubungan yang terbentuk secara konvensional (pemaknaan secara manasuka/arbitrer).
Suatu hal yang sangat penting dalam semiotik ialah sistem signifikasi. Sistem signifikasi ialah proses penerimaan isyarat kepada manusia hingga menimbulkan respons interpretatif. Proses ini dimungkinkan karena adanya kode. Kode ialah sistem signifikasi sejauh ia merangkaian kenyataan yang ada dengan unit-unit yang tidak ada. Jika sesuatu yang benar-benar tersaji pada persepsi orang yang dituju mewakili sesuatu yang lain, ini berarti ada signifikasi (dalam Pradopo, 2008:119-120). Hal ini berarti menafsirkan suatu artefak baik secara heuristik (lapis arti) maupun secara hermeneutik (lapis makna) harus berjalan serentak (Bdk Sangidu, 2004:19-20).
Dengan menggunakan teori ini, sesungguhnya penulis menyadari bahwa telah terjebak di alam pemikiran Barthes yang mengumandangkan ”kematian pengarang” (Bdk Gui do Carmo da Silva; Mudji. S & Hendar P, 2005:113-124). Namun mengingat bahwa artefak kayon atau gunungan sudah sangat sulit dirunut asal muasalnya, maka pendekatan di atas kiranya sudah tepat penulis gunakan.




BAB II
PEMBAHASAN

A. Fungsi Gunungan Wayang (kayon)
Fungsi gunungan di dalam pertunjukan wayang sangat banyak. Setelah dicermati, ternyata ’kayon’ mampu menjadi simulacrum sekaligus representasi dari hampir semua anazir jagad raya (makrocosmos, Jw: jagad gedhe) sekaligus jagad kecil (mikrokosmos, Jw: jagad cilik). Adapun fungsi gunungan wayang dalam pertunjukan wayang kulit secara rinci adalah sebagai berikut:
1. sebagai penanda waktu: pathet nem, pathet sanga, pathet manyura.
2. sebagai penanda suasana alam; hujan, badai, gelap, banjir, kebakaran, cuaca, guncangan alam/gempa, dsb.
3. sebagai penanda pergantian adegan.
4. sebagai pengganti properti dan instrumen; sekat pembatas/benteng, gerbang, pohon, asap, awan, air, angin, api, cahaya, wahyu, goa, rumah, batu, gunung, kawah, sungai, lautan, dan tabir.
5. sebagai medium komposisi suasana pakeliran.

Berbicara tentang pathet atau bagian alur yang ditandai dengan gunungan, terdapat dua versi pokok yang berasal dari pihak kasepuhan dan kanoman. Dalam pembahasan ini, penulis memaparkan pemakaian gunungan dalam penandaan pathet dengan gaya Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang mewakili kasepuhan dan gaya Mangkunegaran yang mewakili kanoman. Penjelasan mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut;
Di dalam panggung pertunjukan wayang klasik, alur di dalamnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu apa yang disebut dengan pathet Nem, pathet Sanga, dan Menyura. Nem berarti muda, Sanga berarti dewasa, dan Manyura berarti telah dekat (merak, perak, manyura), tua. Siklus ini mengingatkan kita akan siklus kehidupan mulai dari lahir – hidup – mati. Sesungguhnya masalah pathet ini menarik untuk dibahas lebih lanjut, namun karena ruang yang tidak mengijinkan, penulis cuplik secara singkat saja.
Menurut gaya keraton Kasunana Surakarta, pathet Nem ditandai dengan menancapkan gunungan condong ke kanan, sedangkan pathet Sanga ditandai dengan gunungan yang menancap tegak lurus, dan pathet Manyura ditandai dengan gunungan yang ditancapkan condong ke kiri. Konsep ini mengadopsi tata letak bayangan (Jw: ayang-ayang) yang dihasilkan sinar matahari. Matahari terbit dari timur, bayangan yang dihasilkan berada di barat, apabila matahari di atas kepala, bayangan yang dihasilkan berada di tengah-tengah, dan jika matahari telah condong ke barat, maka bayangan yang dihasilkan akan berada atau condong ke timur.
Lain halnya menurut gaya atau konsep/sanggit Mangkunegaran. Perjalanan arah condongnya gunungan menurut arah jarum jam. Pathet Nem ditandai dengan gunungan yang ditancapkan condong ke kiri, pathet Sanga ditandai dengan gunungan yang menancap tegak lurus, dan pathet Manyura ditandai dengan gunungan yang menancap condong ke kanan. Konsep ini mengadopsi konsep kehidupan yang diupayakan mencapai kesempurnaan dharma. Menurut etika Jawa, ’kiri’ merupakan bagian yang kurang atau bahkan tidak baik. Artinya konsep ini merujuk kepada perjalanan hidup manusia mulai dari hidup yang masih tersesat dari kebenaran menuju jalan kebenaran atau dharma. Konsep ini sama persis dengan falsafah dalam golden rule Hindu Dharma dan Bhudhisme yang beranggapan bahwa ”manusia berasal dari tempat yang gelap menuju tempat yang terang atau pencerahan”.
Jika diamati dari bentuknya, konsep gunungan ini mampu menepis pendapat beberapa sarjana yang menyatakan bahwa ada hal yang membedakan antara suku bangsa penganut agama langit (menjadikan benda-benda langit sebagai simbol religius) dan suku bangsa penganut agama-agama bumi (menjadikan benda-benda bumi sebagai simbol magis). Pernyataan itu berbunyi bahwa suku bangsa penganut agama bumi membuat monumen (bangunan) selalu berhenti di tengah, artinya tidak mencapai puncak. Sebagai contoh konkritnya adalah seperti bangun segitiga yang dipotong pada bagian tengah. Sebaliknya bahwa suku bangsa penganut agama-agama langit selalu membuat monomen menjulang tinggi mencapai puncak.
Dari kacamata perkembangan kebudayaan, pada awal perkembangannya – bangsa Jawa termasuk kedalam genre agama bumi. Tetapi kita melihat fakta bahwa bentuk gunungan benar-benar menjulang menggapai langit (plangitan kelir). Contoh lain adalah candi Borobudur dan candi Prambanan. Tetapi memang tidak bisa disangkal bahwa gunungan hanya memuat anazir-anazir bumi. Akan tetapi perlu dicatat bahwa dengan memanfaatkan anazir air, menurut filosof Sindhunata dalam ”Bocah Bajang Nggiring Angin” (2004), air mampu menjadi wadah langit agung. Artinya, di dalam kejernihan air, segala benda langit sudah ada di dalamnya, dengan demikian apa yang membedakan atas dan bawah? Namun begitu, sudah selayaknya apabila perlu dilakukan penelitian ulang terhadap konsep tentang agama bumi dan agama langit ini dengan pendekatan antropologi kebudayaan melalui pengumpulan data di seluruh dunia.

B. Mitologi Seputar Gunungan (Kayon)
Bahasa pedalangan lebih suka menyebut gunungan dengan istilah ’kayon’. Ditinjau dari periodesasi sastra Jawa, kata ’kayon’ termasuk jenis kata yang berasal dari bahasa Jawa tengahan. Istilah ’kayon’ diambil dari kata ’kayun’ yang berarti ’karep’ atau kemauan. Setelah mengalami proses morfologi, kata ’kayun’ berubah menjadi ’kayon’. Boleh jadi bahwa istilah ’kayon’ ini merupakan morfologi dari kata bahasa Jawa kuna ’hoyan’ yang berarti ’hidup’. Namun sampai sekarang belum dapat diketahui siapakan pencetus awal ide gunungan ini. Mitologi yang berkembang di kalangan masyarakat mengatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah pencetus konsep gunungan ini. Sebenarnya pendapat ini tidak lebih dari sekadar ’perabaan kasar’, artinya belum terbukti secara ilmiah. Terdapat petunjuk kecil tentang gunungan dalam sengkalan yang berbunyi “geni dadi sucining jagad” = 1443 C. Sejarah tentang kayon masih begitu kabur, maka perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam lagi. Menimbang hal-hal di atas, penulis memasukkan objek kajian ini dalam bidang semantik semiotik.

Menurut penuturan beberapa sumber, konsep awal gunungan ini berasal dari ajaran Hindu, yaitu dengan adanya pohon ’kalpataru – dewandaru’. Pohon ’kalpataru’ adalah pohon ajaib yang tumbuh di puncak Himalaya (Ana Purna/Gaury Sangkar). Wacana dalam paragraf ini juga termasuk dalam bidang semantik semiotik yang mengarah kepada mitologis. Dalam ilmu sastra dan bahasa dikenal istilah apostrop (mencoba menghadirkan sosok/sesuatu yang absrak). Untuk menambah pemahaman terhadap gunungan, penulis memaparkan beberapa konsep tentang gunungan pada sub bab berikutnya.

C. Konsep Gunungan Wayang (Kayon)
Setidaknya ada empat konsep yang mendasari terjadinya kayon atau yang menafsikan terjadinya artefac kayon. Pertama adalah konsep banyu tumetes (air menetes), kedua adalah konsep triwikrama (tiga langkah), ketiga konsep simulacrum alam (tiruan dari tiruan), dan keempat adalah konsep spiritual. Penjelasan dari masing-masing konsep tersebut adalah sebagai berikut;
Konsep banyu tumetes yang pada akhirnya disebut dengan pengetahuan asal mula (Jw: kawruh sangkan paraning dumadi), gunungan adalah reification dari konsep ’tirta kamandanu’ yang menetes (Jw: banyu tumetes). Secara etimologi, kata ’kamandanu’ adalah bentuk kata gerba (mix) yang berasal dari kata dasar ’kama’ yang berarti ’cinta, mani, benih’, dan kata ’ndanu’ yang berarti ’hidup atau lebih dari’.
Menurunkan atau lorot kayon sebanyak tiga kali dari atas (bagian atas kelir/plangitan/tiruan langit) ke bawah (bagian bawah kelir/plemahan/tiruan tanah/bumi) dalam setiap pembukaan pertunjukan wayang purwa menggambarkan proses terjadinya kehidupan baru yang berasal dari bapa angkasa (Jw) proses senggama, kemudian masuk ke dalam wadahnya atau wadi atau wadon atau ibu bumi (Jw). Singkatnya adalah bersatunya unsur langit dan unsur bumi, yaitu air langit menetes ke bumi kemudian muncul kehidupan.


Di dalam kayon terdapat empat anasir pembentuk satuan kosmik, yaitu:
1. api; kemamang/mangkara bermata satu (kepala raksasa di pohon gunungan) – dimaknai sebagai lambang mata hati. Ditengah kepala kemamang terdapat gumpalan inti api (urna). Api menjadi darah (nafsu amarah).
2. bumi; pohon, tumbuhan, hewan. Unsur tanah membentuk daging, kulit, tulang, kuku (nafsu lauamah),
3. air: blumbangan (waudadi = sendhang). Unsur air menjadi sungsum dalam tulang (nafsu supiah)
4. angin: lar-laran atau sayap burung sepasang. Angin menjadi nafas kehidupan (mutmainah/roh suci)

Di dunia mitologi Jawa, dikenal istilah sedulur papat kiblat, lima pancer. Manusia dianggap memiliki saudara sekandung berjumlah empat (bertempat di empat penjuru angin) yang terlahir di hari yang sama dari satu ibu. Saudara-saudara manusia ini menurut mitologi terbentuk dari empat anazir yang telah disebutkan di atas. Dalam dunia pewayangan, empat anazir ini diwakili oleh Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Gunawan Wibisana. Lambang keempat nafsu ini merupakan hasil dari wejanga ilmu tingkat tinggi yang disebut dengan ilmu “Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” . Namun ilmu ini gagal diturunkan oleh Rsi Wisrawa kepada istrinya Dewi Sukesi, karena dianggap melanggar ketentuan para Dewa. Muncullah Rama, Lasmana, Sugriwa, dan Hanoman sebagi penghancur bafsu angkara murka. Rama Wijaya dianggap sebagai pengendali atau pancer dalam ceritera simbolisme tersebut.
Mitologi sedulur papat (kiblat) kalima pancer adalah konsep spiritual mikrokosmik orang jawa. Penjelasan tentang hal ini, penulis lebih cenderung mengambil dari syair serat Kidungan yang disusun oleh R. Tanoyo. Menggunakan metrum macapat dhandhanggula dengan judul “Kidung Marmarti”, seperti berikut kutipan Kidung Marmarti;

Ana kidung akadang marmarti
Among tuwuh ing kawasanira
Nganakaken sakciptane
Kakang kawah puniku
Kang rumeksa sarira mami
Anekakaken sedya
Pan kuwasanipun
Adhi ari-ari ika
Amayungi laku ing kawasaneki
Nekakaken pangarah

Punang getih ing rahina wengi
Angrewangi ulah kang kuwasa
Andadekaken kersane
Puser kawasanipun
Nguyu-uyu sabawa mami
Anuruti panedha
Kawasanereku
Jangkep kadang ingsun papat
Kalimane pancer wus dadi sawiji
Nunggal sawujudingwang

Yeku kadang ingsun kang umijil
Saking marga ina sareng samya
Sadina awor enggone
Kalawan kadangingsun
Ingkang nora umijil saking
Marga ina punika
Kumpule lan ingsun
Dadi makdum sarpin sira
Wewayangan Zat reke dadya kanthi
Saparan datan pisah (1975: 7-8).
Terjemahan bebas:
* Sebuah lagu berceritera tentang sudara yang sangat dekat
Bertugas menjaga pertumbuhan
Mewujudkan cita-cita
Kakak kawah bertugas menjaga ragaku dan mendatangkan hajat
Sedangkan adik tali pusar bertugas melindungiku serta memberiku petunjuk


* Darah membantu bergerak untuk melakukan kegiatan
Pusar selalu mendukung angan-anganku, menuruti selera makan
Genap sudah keempat saudaraku
Yang kelima adalah diriku sendiri,
Semua bersatu.
* Itulah saudara-saudaraku yang keluar bersama-sama denganku dari vagina
Adapula saudaraku yang tidak keluar dari vagina
Dia berkumpul denganku menjadi makdum sarpin (Jw: ayang-ayang)
Bayangan Zat yang ada padamu sebagai teman
Kemanapun tak akan berpisah
Keterangan di atas merujuk kepada konsep sedulur papat ke[I]blat lima pancer (kakang kawah, adi ari-ari, getih, puser, dan pusatnya adalah ingsun). Orang Jawa masih sangat percaya kepada konsep ini, sehingga akan kita temui sesaji atau bancakan pada hari kelahiran (weton) seseorang. Dalam primbon Betaljemur Adammakna dikatakan pula bahwa nama dari keempat saudara manusia itu masing-masing adalah; Aruman, Jaruman, Run, Wanakirun. Nama-nama lain yang diberikan untuk masing-masing anasir ini di dunia pewayangan Jawa, yaitu sebagai teman-teman raksasa Cakil adalah; Wahmuka (kakang kawah), Nirmuka (puser), Arimuka (adhi ari-ari), dan Rahmuka (darah) dan urip untuk pancer-nya. Keberadaan saudara-saudara manusia ini diungkapkan dengan rangkaian kata-kata “adoh tanpa wangenan, cerak tanpa senggolan”, yang artinya sangat jauh hingga tanpa batasan, tetapi juga dekat dan saking dekatnya sampai-sampai tidak bersentuhan. Inilah yang disebut dengan istilah ‘gaib’.
Konsep triwikrama yaitu tiga langkah melampaui tiga dunia yang mencakup dunia purwa (awal), madya (tengah), wasana (akhir). Secara rinci, gunungan dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu; tingkat dunia bawah, dunia tengah, dan dunia atas – seperti pada gambar berikut;




1. Dunia Atas (Rupaloka)



2. Dunia Tengah (Arupaloka)





3. Dunia Bawah (Janaloka)


Dunia atas atau kawasan rupaloka merupakan alam Illahi, atau alam para Dewa, Makhluk-makhluk polarian. Alam tengah atau arupaloka adalah alam roh atau alam jin, dan alam bawah atau janaloka adalah alam manusia. Menurut konsep ini, manusia harus berusaha semaksimal mungkin untuk bisa mencapai alam kedewaan, yaitu bersatu dengan Sang Khalik. Petuah lama menerangkan agar perjalanan menuju ke ”Yang Maha” jangan sampai tersesat di alam roh atau alam jin, manusia harus mengetahui sejatining panembah atau kesejatian sembahyang (menyembah kepada Hyang). Alam rupaloka bisa ditempuh dengan disiplin moksa (konsep sinkretisasi Hindu – Jawa).
Dalam hitungan Jawa, satuan tiga dianggap genap. Sebagai contoh ”wong Jawa iku genepe telu, murwani, negahi, lan mungkasi”. Secara bebas dapat diterjemahkan bahwa bagi orang Jawa hitungan genap adalah angka tiga. Angka satuan tiga merupakan bilangan yang paling sakral bagi orang Jawa, baru kemudian disusul angka satuan sembilan yang dihubungkan dengan konsep sembilan lubang hidup (Jw: babahan hawa sanga) atau ceritera keberadaan dewan wali sanga. Memang sesungguhnya kehidupan ini hanya mencakup tiga hal besar, yaitu lahir – hidup – mati. Kiranya konsep tiga dunia telah cukup jelas penulis paparkan, maka penulis akan melihat konsep tiga tataran kehidupan dalam kayon dari kacamata Budisme. Seperti kita ketahui pada candi Borobudur yang memiliki tiga tingkatan kehidupan dunia seprti berikut;
1. kamadatu: menggambarkan kehidupan manusia yang masih senang hura-hura, mengejawantahkan id, libido, ketamakan, keserakahan, hampir jauh dari peradaban tinggi. Nyaris tidak berkesenian dalam arti kehalusan rasa. Manusia cenderung nguja napsu, kehidupan hanya diabdikan untuk dunia yang dianggap fana ini.
2. rupadatu: menggambarkan kehidupan manusia mulai berubah dan terjadi peningkatan kesadaran. Manusia mulai meninggalkan kerajaan nafsu, meninggalkan kenikmatan-kenikmatan semu dunia, namun dalam tataran ini, manusia masih terikat rupa atau bentuk/wujud.
3. arupadatu: manusia pada tataran ini telah mengalami kesadaran tingkat tinggi, hidup di alam trans. Rasa’nya telah bersatu dengan karsa Hyang Agung. Manusia pada tataran ini sudah tidak terikat pada ruang dan waktu, tidak terikat pada dunia, tidak terikat pada bentuk atau wujud. Manusia telah menemukan esistensinya.

Konsep tiga dunia dalam gunungan wayang bisa dibedah pula dengan acuan tafsir seperti di atas. Dalam pandangan hidup Jawa, istilah-istilah atau pemahaman seperti di atas sering disebut dengan pemahaman lekas – sangkan – paran. Pemahaman ini secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah pertanyaan ”manusia berasal dari mana, di sini (datang ke dunia) mau apa, dan setelah dari sini (hidup) mau ke mana?” pemahaman dan pengertian inilah yang masih diburu oleh para pencari hingga jaman post modern seperti sekarang ini.
Konsep simulacrum merupakan konsep yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada sesuatu yang asli, dan yang ada adalah tiruan dari tiruan yang pernah ada. Kayon sendiri merupakan simulakrum dari sebuah gunung. Setelah disepakati secara konvensional, kayon dianggap sebagai representasi gunung. Secara rasional, tidak ada gunung yang berbentuk seperti kayon, hanya bangun strukturnya saja yang dianggap sama seperti acuannya. Dalam setiap pertunjukan wayang, kayon jarang sekali berperan benar-benar sebagai gunung, kecuali dalam ceritera bertajuk Ramayana, dimana Anoman menjabut gunung untuk menghantam dan menindih tubuh Dasamuka yang memiliki aji Pancasona.
Simulasi lainnya yang ada dalam gunungan wayang adalah hutan yang direpresentasikan dengan pohon beringin atau randu alas. Satu pohon beringin telah mampu berkata bahwa ’aku adalah hutan’. Hewan-hewan yang ada secara berpasang-pasangan, tanah, air, api, dan angin merupakan produk kerajaan citra/image dimana telah dianggap mampu menjadi representasi alam semesta yang sesungguhnya tidak bisa dipresentaikan. Yang terpenting adalah konsep gunungan sendiri adalah simulacrum dari tatanan cosmik, baik makrokosmos maupun mikrokosmos.
Konsep spiritual dalam kayon mengambil ajaran Hindu yang disebut dengan catur asrama. Catur asrama merupakan proses laku atau disiplin untuk mencapai tataran manusia sempurna. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai catur asrama dalam gunungan wayang;

1. Brahmana/Bhiksuka



2. Wanaprastha






3. Grehastha




4. Brahmacarya
Brahmacarya/brahmacari berarti manusia masih dalam tataran paling bawah, manusia mulai menjalani kehidupan seperti layaknya brahmana, namun masih terikat oleh keramaian dunia. Setelah fase ini selesai dijalani, manusia mulai masuk dalam gerbang kesadaran mental, dan mulai menjalani laku grehastha, yaitu suatu disiplin berpantang dari segala hal yang membangkitkan nafsu dunia. Manusia mencoba melepaskan diri dari keterikatan atau kemelekatan terhadap dunia. Setelah fase ini, manusia memasuki kesadaran yang lebih tinggi lagi. Kesadarannya telah melampaui kesadaran fisik. Kesadaran yang diperoleh adalah kesadaran meta. Manusia benar-benar meninggalkan kefanaan dunia, mulai hidup menyendiri di dalam hutan (wanaprastha). Manusia dalam fase ini nyaris tidak memiliki emosi, panca inderanya benar-benar sudah terkendali. Dalam fase ini digambarkan bahwa manusia memasuki alam yang dihuni oleh roh, dan makhluk-makhluk polarian/cahaya; Kinara – Kinari. Inilah yang sering disebut sebagai sorga palsu. Setelah lulus dalam fase ini, manusia memasuki alam kesadaran Illahi, dimana semua kehendak manusiawinya telah melebur, hilang, manuunggal dengan Sang Hyang Taya. Manusia telah menjadi brahmana sejati (bhiksuka), yang lepas dari segala kemelekatan. Kehidupannya bukan lagi kehidupan daging, namun kehidupan spiritual. Di dalam pandangan Islam, hal semacam terkait dengan tingkatan pemahaman seseorang, yaitu mulai dari tingkat syareat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
Sampai saat ini, bentuk gunungan telah mengalami perubahan stuktur. Hal ini karena ada perkembangan pandangan estetik dalam wujud karya seni juga sebagai penanda sebuah peristiwa atau memperingati sebuah rezim. Pada akhirnya tedapat bermacam-macam jenis atau bentuk gunungan wayang, namun yang menyusul tetap tidak bisa bertahan karena dinilai miskin representasi. Yang jelas terdapat dua jenis kayon baku ditambah gapuran (kayon berbentuk gerbang). Kedua kayon baku tersebut dinamakan dengan sebutan gapura wadon dan gapura lanang. Gapura wadon jelas lebih tua, apabila ditinjau dari sejarah kebudayaan dan konsepnya. Gapura wadon adalah jenis gunungan yang memuat empat anazir dunia secara utuh, dan yang jelas terdapat blumbang atau kolam air, namun tidak terdapat bangsal/gerbang di dalamnya, sebaliknya – gapura lanang tidak ada unsur air (sendhang/blumbangan). Unsur ini diganti dengan gambar gapura/pendapa yang dijaga oleh dua raksasa kembar. Di dalam dunia polar atau kedewaan, tempat ini di sebut pintu sorga atau sela matangkeb yang dijaga oleh gandarwa bernama Hyang Cingkarabala dan Hyang Balaupata. Berikut adalah gambar kayon wadon dan kayon lanang:

















Gb. Gapura Wadon (wanita) Gb. Gapura Lanang (laki-laki)

Gapura lanang dibuat pada zaman Kartasura. Hal ini seperti diterangkan pada sengkalan memet (angka tahun yang diungkapkan dengan gambar/patung/bangunan) yang berbunyi: ” gapura lima retuning bumi = 1659. Angka ini kurang jelas merujuk tahun Masehi atau Caka, dan lagi, ketika masa pemerintahan Amangkurat Amral, Kartasura baru saja berdiri, dan terjadi kerusuhan, pemberontakan dimana-mana. Angka tahun ini akan lebih masuk akal ababila masuk dalam hitungan tahun Caka, yaitu 1659 Caka atau 1737 Masehi. Jika ditinjau dari tahun ini (1737 Masehi), maka akan sedikit masuk akal, yaitu masa pemerintahan Sunan Paku Buwana II, raja ke V kerajaan Kartasura (1727-1743). Gunungan yang dibuat pada masa ini berciri gapura berpintu yang dijaga dwarakala.
Sengkalan lain yang merujuk pada gapuran adalah;
1. loro iku korining (wiwara pria – wanita) ratu = 1912 Jawa
2. gapura gung korining ratu = 1979 M
3. dadi siji gapuraning praja = 1914 M

D. Makna dari Bentuk dan Komponen di dalam Gunungan Wayang (Kayon)
Mengungkap makna bentuk artefak kayon, secara mendasar hampir sama dengan makna yang tersirat dalam keris. Gunung merupakan acuan dengan apa yang oleh orang Jawa dikatakan sebagai konsep panembah (beribadah menuju yang transenden). Gunungan merupakan simbol yang menghubungkan dunia atas dengan dunia bawah, simbol meditasi untuk mencapai samadhi (axis mundi). Struktur gunungan berbentuk lebar dari bawah terus mengecil dan meruncing ke atas. Lihat gambar berikut:



1 Tirta tumetes





2. Bokor (wadah)


Bagian yang ditunjukkan oleh garis no. 1 sampai pada garis pembatas merupakan representasi dari bentuk air yang menetes. Sedangkan bagian yang ditunjukkan pada garis no. 2 merupakan wadah (bdk lambang kesuburan) untuk menampung bagian 1. Dalam dunia Jawa, hal ini merupakan lambang atau representasi dari sebuah ajaran ketemuning sejatining lanang lan sejatining wadon (bertemunya laki-laki dan perempuan). Adapun tata letak tiap-tiap komponen telah melalui pertimbangan estetik dan struktur wujud, namun pada dasarnya tetap berdasar konsep air kehidupan dan lambang unsur jagad.
Struktur gunungan atau kayon secara keseluruhan dibagi menjadi dua; (1) secara vertikal, dan (2) horisontal. Struktur vertikal merupakan representasi dunia sorga (sorgawi), rohani, transenden yang terdiri dari unsur plemahan (bagian paling dasar pada gunungan) yang melambangkan dunia kewadagan atau bumi manusia, unsur ceruk atau lengkeh (bagian kanan-kiri gunungan yang menggelembung) sebagai lambang dunia atau alam medium, dan unsur puncak gunungan yang merepresentasikan dunia metakosmos/ nir.
Struktur horisontal merupakan representasi alam dunia (duniawi), imanen. Dalam struktur imanen terdapat pola dualistik antagonistik, yaitu pasangan kembar yang saling berhadapan/bertentangan yang terdapat pada ornamen belahan kanan-kiri gunungan. Hanya pada bagian puncaklah tidak ada oposisi, karena bagian ini merupakan tahta Sang Mataya (Taya) atau Teu Aya yang putih, kosong, atau nir.






Gb. Bagian Struktur vertikal dan horisontal pada gunungan.



Penjelasan lambang dari masing-masing unsur dalam gunungan adalah seperti gambar dibawah ini;



1. Lambang Unsur Api



2. Lambang Unsur Tanah



3. Lambang Unsur Angin



4. Lambang Unsur Air



Makna yang tersirat di dalam banyu tumetes adalah di dalam air kehidupan (mani) menyimpan keempat sifat Zat, yaitu bakal kehidupan yang terdiri dari unsur tanah, angin, air, dan api. Unsur tanah diwakili oleh gambar pepohonan seperti pohon gurda atau mandera/beringin atau randu alas. Penjelasannya adalah karena pohon-pohon tersebut hidup dengan menggunakan kekuatan tanah, sedangkan untuk menggambarkan nafsu tanah diwakili oleh ular naga dan dua binatang hutan lain, yaitu harimau dan banteng.

Unsur angin diwakili oleh simbol burung garuda yang membentangkan sayapnya (Jw: lar-lar’an Garuda) di setiap pojok lambung kayon. Karena wujud angin yang sulit digambarkan, maka dengan alasan bahwa apabila burung sedang mengipaskan sayapnya, maka akan muncul apa yang disebut angin atau udara yang bergerak.
Unsur air diwakili dengan lambang blumbangan yang berisi air (dalam gunungan wadon). Unsur api diwakili dengan simbol ‘mangkara’ atau kepala kemamang. Kemamang berbentuk kepala raksasa berambut api dan keseluruhan berwarna merah sebagai representasi dari inti api.
Hal ini secara kasar dapat ditarik kesimpulan bahwa gunungan merupakan mimesis alam, yaitu menggunakan alam sebagai acuan primernya. Meskipun seluruh komponen dalam gunungan dianggap sebagai simbol, artinya dimaknai secara manasuka dan berdasar konvensi tertentu, namun konvensi ini bisa diterima oleh ratio internasional.

E. Makna Filosofis Axis Mundi
Meminjam pernyataan Gahral bahwa ““Setelah nalar berhenti, intuisi meneruskan perjalanan spiritual menuju yang asing…nalar manusia terbatas…ia bekerja dengan keasingan…Matinya realitas adalah hidupnya nalar puitis, nalar yang bekerja di tanah tak berjejak antara yang relatif dan yang mutlak”(Donny Gahral Adian dalam Yasraf A. P, 2009:43). Kiranya refleksi inilah yang menyisakan ruang bagi para pencari jalan mistis pada zaman hiper realitas seperti sekarang ini. Refleksi pernyataan Gahral memberi inspirasi penulis untuk berani menyatakan bahwa walaupun artefak gunungan atau kayon telah melalui berkali-kali trans zaman, namun ‘ia’ dan penganut filsafatnya tetap mempertahankan makna dasarnya sampai sekarang.
Gunungan dianggap sebagai simbol yang menghubungkan dunia atas dengan dunia bawah (axis mundi). Artinya bahwa simbol ini merekam ceritera, petuah, atau petunjuk. Petunjuk yang terdapat di dalam gunungan merupakan petunjuk suatu perjalanan religius untuk mencapai kemanunggalan dengan ‘Sang Lain’. Pada hakikatnya, manusia berasal dari kegelapan menuju ke pencerahan (Budisme/Hinduisme), artinya bahwa pengetahuan merupakan salah satu jalan untuk mencapai pencerahan. Berikut uraian makna falsafah perjalanan religius dalam gunungan wayang gapuran (kayon lanang);
Pada mulanya manusia berasal dari dunia kesadaran yang rendah, dilambangkan dengan wujud plemahan/pondasi pada dasar gunungan. Ketika manusia ingin belajar pengetahuan mistik, yaitu perguruan yang dilambangkan dengan gambar padhepokan/bangsal yang pintunya tertutup dari dalam, harus melalui ujian masuk atau seleksi. Penguji ini dilambangkan dengan gambar dwapara atau dua raksasa kembar penjaga pintu masuk. Kedua raksasa ini, meskipun kembar rupa tetapi berlainan karakter. Raksasa dalam bahasa jawa disebut buta (betah buteng nganiyaya) yang artinya bersifat suka menyiksa. Dalam bahasa jawa kuna, yang diadobsi dari kosa kata dewanagari, buta diambil dari kata denawa, yang diartikan oleh Jawa bermakna ngeden hawa atau mengumbar hawa nafsu. Manusia yang telah mampu mengendalikan hawa nafsunyalah yang diijinkan memasuki perguruan tersebut, artinya manusia tersebut telah lolos seleksi.
Perguruan mistik yang dilambangkan dengan gambar bangsal tertutup rapat bermakna bahwa suatu perguruan mistik merupakan perguruan yang mengajarkan pengetahuan tingkat tinggi. Artinya tidak boleh sembarangan diajarkan, sehingga tidak terjadi penafsiran-penafsiran salah. Kerahasiaan atau ke-wingitan inilah yang dilambangkan dengan gambar pintu tertutup rapat – yang hanya bisa dibuka dari dalam.
Setelah manusia lolos seleksi dan memasuki pintu gerbang wilayah ’perguruan’ mistik, manusia sudah siap terbang menuju puncak. Dalam tahap ini dilambangkan dengan ornamen makhluk setengan burung garuda, setengah naga. Burung garuda direpresentasikan dengan sayap, yakni melambangkan dunia atas, sedangkan mulut burung ini merupakan representasi kepala naga yang melambangkan dunia bawah. Artinya, dalam tahap ini manusia berada pada lintasan dua alam, yakni alam bawah dan alam atas. Perjalanan menuju ’yang puncak’ ini penulis sebut dengan istilah magical flight.
Jalur perjalanan mistik ini disimbolkan dengan tanaman pohon hayat yang tertanam di dalam candi/bangsal, tumbuh menembus atap pendhapa laju ke puncak gunungan. Pada gunungan buatan dahulu, pohon hayat dililit oleh seekor ular besar. Lilitan ular besar tersebut mulai dari ekor di atas (di bawah kuncup puncak gunungan) sampai kepala di atas atap pendhapa. Ular besar merupakan lambang ’trans dunia’. Lambang ini diadobsi dari konsep Budha Mahayana. Jenis lilitan ular besar pada gunungan ada dua macam, yaitu:
1. lilitan searah dengan jarum jam pada axis mundi (pohon hayat) disebut dengan istilah ’pradaksina’, yaitu meng-kanan-kan pusat atau jalan naik ke atas (alam spiritual), dan
2. lilitan berlawanan dengan arah jarum jam pada axis mundi (pohon hayat) disebut dengan istilah ’prasawya’, yaitu meng-kiri-kan pusat atau jalan turun dari alam spiritual ke dunia manusia.

Alam atau wilayah suci/sakral puncak pohon hayat dijaga oleh banaspati (kemamang/mangkara). Alam suci memiliki dua sifat sekaligus, yaitu menakutkan (tremendum) sekaligus memikat, mempesona (fascinosum). Dengan begitu tidak mengherankan bahwa banyak ceritera dalam naskah-naskah suluk Jawa mengatakan bahwa siapapun jua yang telah masuk ke wilayah alam suwung atau nir tersebut enggan untuk pulang atau kembali ke alam ke-wadag-an (lihat ceritera Dewa Ruci).
Adapun makna yang terkandung pada ornamen horisontal dualistik antagonistik dalam gunungan dimulai dari dasar adalah sebagai berikut:
1. gambar banteng – harimau; menunjukkan alam dewa-dewa yang tinggal di alam bumi
2. kera – kera; menunjukkan alam kedewaan tingkar dua, yaitu dewa-dewa penghuni dunia antara (langit-bumi).
3. ayam hutan – ayam hutan; merujuk pada alam spiritual
4. burung merak – burung merak; merujuk pada alam spiritual dewa-dewa langit
5. bunga teratai – bunga teratai; bunga teratai ini bertingkat empat, yaitu merujuk pada alam spiritual meditatif.

Setelah pembahasan akan masalah ini, tentu akan muncul pertanyaan apa perbedaan konsep gunungan yang tiada ornamen candi atau pendhapa dan yang ada ornamen blumbangan atau air?
Sedikit hal yang membedakan kedua konsep gunungan lanang dan wadon tersebut. Penjelasan untuk hal ini, penulis cuplikkan dari serat Dewa Ruci (R. Tanoyo, 1979). Lambang perguruan mistik (dalam kayon lanang disimbolkan dengan gambar pendhapa yang tertutup rapat dan dijaga oleh dwapara) pada gunungan wadon dilambangkan dengan ornamen air (sendhang). Konsep ini dihubungkan dengan peristiwa saat Bima diperintah oleh gurunya Rsi Drona untuk menghanyutkan diri ke samudra Minangkalbu, jika Bima benar-benar ingin mengetahui ilmu kasampurnan. Lautan dilambangkan dengan air pada gunungan wadon ini. Lautan dimaknai sebagai perguruan mistik tingkat lanjut seperti makna yang diberikan untuk pendhapa pada gunungan lanang. Buktinya adalah ketika Bima semakin memasuki alam mistik (lautan), Bima berhasil menemukan jati dirinya. Ia bertemu dengan Dewa Ruci (bdk Sang Marbudengrat; serat suluk babaring ngilmu makrifat ’Syekh Malaya’).
Ceritera Dewa Ruci ataupun ceritera Syekh Malaya/Sunan Kalijaga bertemu dengan jati diri disebut dengan pengalaman mistik. Mistik atau suluk disebut juga dengan tasawuf. Mistik adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari bagaimana orang dapat berada sedekat mungkin dengan Tuhan (Sri Mulyono, 1983:57). Laku mistik biasanya ditempuh dengan cara bertapa, mengasingkan diri, dan bersemedi. Dalam cerita pewayangan cerita tentang mistic dipertunjukkan dalam lakon Bima Suci, Dewa Ruci, yaitu bagaimana Bima bertemu dengan Dewanya/Guru Sejati. Lebih jelas lagi bahwa mistic adalah jalan dimana manusia mencari Tuhan atau guru sejatinya dengan jalan mengalahkan anazir 3 (tiga) hal; amarah, aluamah, dan supiah.

Damardjati merumuskan makna mistik sebagai persoalan tentang gaib, rahasia-rahasia terdalam. Mistik juga dipahami sebagai eksistensi tertinggi, atau lenyapnya segala perbedaan, atau kesatuan mutlak hal-ikhwal, atau dasar-dasar dari segala pengalaman, atau ketiadaan, mistik juga berarti pamoring kawula-Gusti (bersatunya manusia dan Tuhan), puncak kecintaan makhluk kepada Khaliknya sebagai suatu pengalaman dan aktivitas spiritual yang disertai peniadaan atau pengabaikan diri, bukanya bersifat teori tetapi bersifat praktis: (1) mistisisme adalah persoalan praktik, (2) secara keseluruhan merupakan aktivitas spiritual, (3) jalan dan metode mistis adalah cinta, (4) mistisisme menghasilkan pengalaman psikologis yang nyata, (5) mistisisme yang sejati adalah tidak mementingkan diri (Damardjati Supadjar, 2001:99-100).
Beberapa ahli yang meneliti tentang mistic menarik benang merah, bahwa mistic adalah kawruh manunggaling kawula-Gusti, Gusti-kawula. Keduanya saling mengikat tidak bisa dipisahkan dan terpisahkan, bagaikan api dengan panasnya, madu dengan manisnya. Adanya kawula karena adanya Gusti, dan adanya Gusti karena adanya kawula.
Konsep kemanunggalan pada tafsir terhadap artefak gunungan–sedikit banyak juga merujuk pada konsep kundalini yang digambarkan seperti naga. Melatih kundalini dari cakra dasar, cakra sex, cakra pusar, cakra jantung, cakra eter, cakra ajna, sampai cakra mahkota sebenarnya memiliki tujuan untuk mencapai atau memasuki cakra yang lebih tinggi yaitu cakra Illahi.

F. Hubungan Antar Unsur Gunungan Wayang (Kayon)
Telah dijelaskan di atas bahwa di dalam gunungan atau kayon – terdapat empat unsur pokok yang menopang cosmik, baik makrokosmos maupun mikrokosmos. Narto Sabdha dalam ”Sawitri” (no. 8 side A; Kusuma Record) mengatakan bahwa keempat unsur penopang kehidupan yaitu tanah, air, api, dan angin – tidak bisa dipisahkan. Keempat unsur ini mewakili sifat-sifat Zat. Artinya bahwa keempat unsur ini bisa sebagai indeks, simbol/lambang, icon, serta acuan yang merujuk pada sifat-sifat Hyang Agung. Bersatunya semua komponen – membangun keutuhan atau kebulatan makna yang indah.
Apabila salah satu unsur melemah atau hilang, maka akan terjadi ketimpangan di dalam kosmik. Unsur yang satu selalu menutup kekurangan unsur yang lain. Barang siapa yang mampu menguasai dan mengendalikan empat unsur cosmik maka ia disebut sebagai Avatar.
Di dunia pakeliran, wayang klasik selalu menang (secara kualitas dan kwantitas penikmat) dan bertahan terhadap tandinganya, yakni budaya populer. Hal ini karena, dalam wayang kulit purwa, terutama gunungan yang penulis bicarakan penuh dengan representasi – yakni memiliki nilai yang sebanding dengan intensitas energi yang diberikan kepada penikmat seni. Semakin sedikit nilai representasi suatu karya, maka semakin banyak perubahan-perubahan yang terjadi (bdk Lyotard; Lass, 2004:100). Sekali lagi penulis tegaskan bahwa kayon merupakan mimesis jagad gede dan jagad cilik.
Wujud atau bentuk serta konsep yang mengiringi gunungan wayang merupakan perpaduan antara mitologi gunung, mitogi semesta, mitologi penciptaan seputar kehidupan manusia sendiri dan terangkai dalam satu struktur karya seni yang estetik. Hal-hal lain atau konsep lain yang datang belakangan merupakan adanya tanggapan dari para pemikir yang berdasar dengan teori hermeuneutik atau ilmu interpretasi. Tetapi perlu diingat bahwa artefak ’gunungan’ menempati lapis arti tingkat dua, yaitu lapis maknawi, karena konsep gunungan bisa dikatakan dengan pembelaan konsep mimesis alam (realis), namun sebenarnya bertajuk suryalis (contoh: dua makhluk bernama Kinara dan Kinari (makhluk berkepala burung berbadan manusia) yang berada dibawah pohon beringin gunungan).






BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Karya seni atau karya sastra merupakan artefak yang sesungguhnya mati. Ia hidup ketika diberi makna. Hasil kebudayaan baik itu karya seni atau karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. karya-karya ini merupakan pengkristalan dari perenungan panjang. Kayon menyimpan nilai-nilai intektual tinggi yang mengkolaborasikan ilmu flsafat, ilmu tanda, ilmu sastra, ilmu pahat, ilmu sungging, ilmu arsitektur, dan pengetahuan serta pemahaman religius untuk menuju ke ’yang transenden’. Sedikit mengutip dan sedikit menambah pernyataan dari Annan Krisna; ”Ketika ’sebagian’ Barat baru belajar mandi, kita sudah bercocok tanam dan membangun candi”. Setelah melihat dan menganalisis kayon, penulis menarik benang merah bahwa konsep-konsep intelektual Jawa adalah salah satu icon lokal genius yang memang perlu diperhitungkan keberadaannya di dunia internasional.
Orang Jawa mampu menggambarkan dengan jelas, rinci, serta terstruktur dengan baik tentang konsep kosmik, bukan hanya sekedar dalam wujud ide, melainkan telah mampu ngejawantah dalam wujud mental dan artefak. Orang Jawa adalah manusia yang penuh simbol dan upacara dalam kehidupannya sehari-hari. Simbol dan bentuk-bentuk upacara ini merupakan penghormatan orang Jawa terhadap kebesaran Tuhan. Sebelum datangnya pengaruh agama-agama besar dunia ke Nusantara, orang Jawa telah mengenal hakikat dari Tuhan, yakni Zat yang tidak bisa diumpamakan dengan apapun, dan hanya bisa diterangkan melalui sifat-sifatnya.
Tuhan orang Jawa asli adalah Hyang Taya yang berarti kosong namun memiliki sifat, artinya adalah kosong tapi sebenarnya penuh dengan isi. (Jw: Gusti iku adoh tanpa wangenan, cerak tanpa senggolan, Gusti iku nyangga ya ngayomi). Jadi jelas bahwa bangsa kita adalah bangsa yang sesungguhnya ditakdirkan cerdas intelektual dan religius, maka sudah sepatutnya apabila nilai-nilai local yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu kita gali dan kita renungkan untuk menanggulangi local-global. Pernyataan ini memang sedikit berkesan chauvimistive.
Bibiliografi
Bagoes P. Wiryomartono. 2001. PIJAR-PIJAR PENYINGKAP RASA: Sebuah Wacana Seni dan Keindahan dari Plato sampai Derrida. Jakarta: Gramedia.
Budiono Herusatoto. 2008. Simbolisme Jawa. Yogyakarta: Ombak.
Cavallaro, Dani. 2004. CRITICAL AND CULTURAL THEORY (penerjemah: Laily Rahmawati). Yogyakarta: Niagara.
Damardjati Supajar. 2001. Filsafat Sosial Serat Sastra Gending. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
I. Praptomo Baryadi. 2007. TEORI IKON BAHASA: Salah Satu Pintu Masuk ke Dunia Semiotika. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
Jakop Sumardjo. 2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB.
Kinayati Djojosuroto. 2006. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Lash, Scott. 2004. SOSIOLOGI POST MODERN (terjemahan A. Gunawan Admiranto). Yogyakarta: Pustaka Filsafat.
Mudji Sutrisna & Hendar Putranto (ed). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
Rachmat Djoko Pradopo. 2008 (cetakan ke V). Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta: Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Sindunata. 2004. Bocah Bajang Nggiring Angin. Jakarta: Pustaka Gramedia
Sri Mulyono. 1983. Sebuah Tinjauan Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang. Jakarta: Gunung Agung.
Strinati, Dominic. 2004. Popular Cultur; pengantar menuju teori budaya. Yogyakarta: Bentang.
Sturrock, Jhon (ed). 2004. Strukturalisme Post-strukturalisme; dari Levi Strauss sampai Derrida. Surabaya: Jawa Pos Press.
Teeuw, A. 1980. Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya.
_______, 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Turner, Brian.S. 2008 (cetakan ke III). Teori-teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yasraf Amir Piliang. 2003. HIPERSEMIOTIKA: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Yasraf Amir Piliang. 2004. POSREALITAS: Realitas Kebudayaan dalam era Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.

5 komentar:

  1. Sorry banget ya..blog'nya tidak sempurna, soalnya baru bisa buat, so...gambar gunungannya ilang deh...nyuwun pangapunten...semoga berguna. by: Ki Hartarta.

    BalasHapus
  2. Saya bersyukur menemukan artikel tsb., analisisnya akan semakin tajam dan ilmiah kalau dihubungkan dengan bukunya Stephen W. Hawking : "A BRIEF HISTORY OF TIME - From Big Bang to Black Hole" dan dikaitkan dengan karya-karya William Blake. Pandangan NeoSUFI baik juga untuk jadi rujukan.
    Tato Sugiarto.

    BalasHapus
  3. terimakasih atas kunjungan panjenengan (mas Tato Sugiarto), dan terimakasih sekali untuk info referensinya...setiap orang adalah guru...salam hormat dan salam kenal saya...arif har.nuwun

    BalasHapus
  4. Permisi...
    Artikel yang Anda buat sungguh bagus, dapat memperkaya wawasan saya tentang gunungan.
    Mas, bolehkah saya mengutip karya Anda untuk artikel yang akan saya buat mengenai kayon?

    Terima kasih.

    Hormat saya,
    Andrian.

    BalasHapus
  5. terimakasih mas Andrian...
    silahkan...
    maaf baru saya balas, karena hampir 9 bulan saya lupa sandi email blog saya...dan kini saya mengingatnya kembali...
    silakan bergabung dalam persahabatan dengan saya di FB: A Hart Penaloza

    nuwun...

    BalasHapus