Kamis, 23 Juli 2009

”Eksistensi Seniman Klasik dan Kontemporer pada Era Globalisasi”

”Eksistensi Seniman Klasik dan Kontemporer pada Era Globalisasi”
(Wilayah Eks-Karesidenan Surakarta)
Oleh: Arif Hartarta

A. Latar Belakang Masalah
Kehidupan seniman kelas madya dan bawah di wilayah eks-karesidenan Surakarta sungguh sangat membingungkan pun memprihatinkan. Pasalnya, bagi para pelaku dan penghayat ’kesenian klasik’ menganggap bahwa bentuk-bentuk lain atau dekontruksi karya seni oleh seniman-seniman radikal untuk kemajuan, dianggap oleh seniman klasik sebagai wujud ’melacurkan seni’. Sementara di kepala para tokoh seni radikal, hal itu justru merupakan wujud pelestarian karya seni dengan jalan dekontruksi demi eksistensi kesenian atau karya itu sendiri. Dilema yang nampak adalah bahwa cita rasa jaman yang diperankan oleh beberapa kubu, seperti: kubu pelestari (klasik), penikmat, dan kubu pembaharu (radikal) selalu terjadi konflig hantam menghantam dan saling menjatuhkan antara satu kubu dengan kubu lainnya. Menyikapi fenomena semacam, munculah pertanyaan ”apakah ”yang klasik” mampu bertahan dalam kondisi hiper realis?”. Di sana-sini semua orang berkomentar, dan komentar-komentar itupun hanyalah tautologi yang selalu malah membawa persoalan-persoalan baru, bukanya sesuatu yang solutive.
Berbicara tentang produk budaya, maka kita (mau tidak mau) harus di/terpaksa melihat pasar. Pasar kultural akan berjalan berbeda jauh dengan pasar yang mementingkan pelayanan sosial. Sebagian pasar budaya merupakan cara untuk mendapatkan hal-hal yang sebelumnya bersifat aurastis, yang hanya tersedia bagi kaum elite kepada kelompok masyarakat yang lebih luas.
Kondisi hiper realis memang sudah membunuh keberadaan eksistensialisme, dimana si pelaku tidak lagi menjadi dirinya sendiri melainkan mencoba mengkloning diri menjadi orang atau sesuatu, produk yang lain. Pergeseran nilai-nilai sosial lokal selalu menimbulkan konflig, namun konflig sendiri merupakan ciri kemajuan, ciri pertahanan, dan ciri pelepasan. Dikatakan sebagai sebuah proses menuju kemajuan dengan alasan bahwa menurut teori konflig di dalam kehidupan sosial masyarakat pasti terjadi persaingan, dan yang dipersaingkan adalah sebuah ide, praktik, kenyataan yang dianggap sebagi kemajuan (jaman). Dikatakan sebagai pertahanan dengan alasan bahwa di suatu masyarakat pasti masih menyisakan ruang bagi kelompok penghayat tata nilai lama. Dalam kondisi pergeseran cita rasa jaman, orang-orang ini juga berjuang untuk mempertahankan nilai-nilai yang diwarisinya secara kompetitif juga. Bagi seniman radikal, mereka menganggap semua yang ada merupakan belenggu, sehingga mereka mulai berfikir untuk mencari jalan keluar atau pembebasan walaupun akhirnya toh mereka akan terjebak dalam sistem struktur juga sebagaimana Derrida-pun tidak mampu menyatakan karyanya yang memang mustahil untuk dilaksanakan.
Berperilaku local berfikir global, nah itulah motto yang sering kita baca di liflet-liflet seminar, dan di baliho-baliho pinggiran jalan. Namun apa maksud sebenarnya dari moto berperilaku local dan berfikir global ini? Sebelum lebih jauh menelusuri paradikma sosial dunia seniman, akan lebih baik penyusun sampaikan beberapa masalah yang akan penyusun ulas dalam paper singkat ini.

B. Sejarah Pemahaman Seni
Sebagai pengantar dalam paragraf ini, penyusun mengutip pernyataan lisan tradisional yang berkembang di kalangan seniman Jawa yang berbunyi ”Seni kuwi larang dituku duit, murah yen ditembung”, artinya bahwa karya seni itu pada hakikatnya sangat mahal hingga tidak bisa diukur dengan penghargaan berupa uang atau materi, tetapi sangatlah murah apabila hanya diminta. Edward Shills, seorang ahli ilmu sosiologi Amerika dewasa ini berpendapat bahwa awal mula tiga fungsi ilmuwan, seniman, agamawan masih dirangkap oleh satu orang yang dianggap paling bijak di dalam sukunya. Kita tidak berhenti pada gejala-gejala yang kelihatan itu, tetapi kita mencoba menerobos dan melihat apa yang tersembunyi di balik gejala-gejala tersebut. Pengalaman estetik itu tidak hanya ingin tahu, tetapi mengikutsertakan daya-daya lain dari dalam diri kita, seperti misalnya kemauan, daya penilaian, emosi, bahkan seluruh diri kita. Dokumentasi sejarah perkembangan seni bisa di runut dari sejarah pengetahuan Yunani. Cita-cita pendidikan yunani adalah mencapai keindahan.
Pada awal perkembangannya, alamlah yang merupakan sumber utama dari pengalaman estetik. Menurut pandangan Klasik itu pula, maka terjadinya suatu karya seni berpangkal pada pengalaman estetik yang timbul dari perjumpaan dengan alam. Pada saat pengalaman estetik manusia merasa bahagia, merasakan suatu ”ekstatis”. Tetapi saat itu mungkin hanya berlangsung selama beberapa detik, pasti tidak lama. Saat matahari yang sedang terbenam mewarnai awan-awan dengan warna-warni yang indah, mungkin hanya berlangsung selama sepuluh menit. Lalu habis. Lalu seniman ingin mengabadikan saat yang membahagiakan itu, dan terjadilah karya seni. Dan setiap kali ia memandang karyanya itu ia teringat kembali akan saat yang indah itu, karena karya itu bersifat simbolik; lewat lambang-lambang membangkitkan kembali, mengingatkannya kembali pada saat itu. Dan setiap orang yang mengamati karya itu lalu juga menangkap isyarat-isyarat, lambang-lambang itu, dan dapat turut merasakan apa yang dirasakan oleh sang seniman.
Demikianlah secara sangat singkat dan sangat implistis, salah satu teori mengenai terjadinya sebuah karya seni. Nanti kita masih akan meninjau beberapa teori lain mengenai genesis atau riwayat terjadinya sebuah karya seni. Cukuplah di sini kita menyimpulkan, bahwa menurut teori manapun sang seniman ingin mengungkapkan isi hati dan pengalaman spiritualnya lewat lambang-lambang, entah lambang visual (lukisan, patung), entah lambang auditif (lewat pendengaran : bahasa dan musik), entah langsung lambang jasmani (seni tari, sikap badan).
Persoalan lain yang juga masih harus kita bicarakan, ialah sejauh mana sebuah karya seni hanya menampilkan pengalaman tentang keindahan. Sejauh mana seni modern misalnya menimbulkan getaran keindahan dalam hati kita. Masalah ini pun harus kita tunda sampai nanti.
Tetapi, sebelum kita meneruskan pembicaraan kita, ada sebuah pertanyaan praktis yang mungkin telah timbul dalam hati pembaca budiman. Sudah beberapa kali saya memakai istilah ”estetik” : pengalaman tentang keindahan saya samakan dengan pengalaman estetik. Apa artinya kata ”estetik” itu? Estetik bererti mengacu pada yang indah, artinya karya seni seharusnya bersifat indah. Namun makna indahpun sekarang telah kehilangan makna konvensionalnya. Para penganut poststruktur telah memberikan makna indah dengan wujud representasi lain, yaitu total dan tidak terikat dengan apapun.
Berbeda dengan Jean Paul Sartre, seorang penganut eksistensialisme yang menyatakan bahwa ’manusia adalah subjek yang otonom, tanpa terkait pada apapun, manusia bebas total, karena eksistensi manusia mendahului esensi’, Strauss mewartakan sebuah ide perlawanan yaitu bahwa manusia sebagai subjek itu tidak seotonom yang Sartre bayangkan. Manusia tidak selalu bertindak sadar dan membuat pilihan-pilihan dalam kebebasan total, tetapi ada ’struktur’ yang diam-diam, tanpa disadari, serta menentukan tindakan dan pilihan-pilihan partikular dalam individu-individu.
Levi-Strauss tertarik meneliti tentang human mind atau nalar manusia dan mencoba memahami strukturnya, ia tertarik pada sifat ’nirsadar dari fenomenal sosial (Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2006). Menurut Strauss, struktur mental memaksakan kekuatanya dengan mengabaikan peranan subjek yang tidak sadar terhadap apa yang tengah terjadi. Lebih lanjut ia katakan bahwa ”apa yang disebut ’kesadaran kolektif’ pada analisis akhirnya akan menjadi tak lebih dari sekedar ekspresi pada tingkat pemikiran dan perilaku individu, pada keadaan ruang dan waktu dari hukum-hukum universal yang mendorong terjadinya aktivitas pikiran bawah sadar” (lihat Dominic Strinati, 2004).

C. Seni Kemasan dan Pe-Label-an Model Kapitalis
Jawaban untuk masalah yang pertama memang masih bersifat indeks. Apabila kita runut dari sejarah perkembangan karya seni, karya sastra, maka makalah ini akan begitu panjang lebar. Penyusun mengkonsentrasikan diri dan mencoba membuat prediksi-prediksi tentang apa yang akan terjadi pada diri seniman kelas madya ke bawah untuk beberapa tahun mendatang. Penyusun tidak berbicara tentang filsafat dan hakikat sebuah karya, namun akan lebih menyoroti ke dalam keadaan ’budaya konsumtive’. Di sini, perhatian utama terletak pada komunikasi dan objek-objek kultural. Selain itu, perlu disadari bahwa komoditas dan pasar tidak harus selalu merupakan hal yang sama. Dalam kapitalisme, cara-cara dan dan sasaran produksi harus memiliki kekuatan tukar.
Dalam seni primitif, pertengahan, dan kebangsawanan, penerimaan besifat kolektif. Sebaliknya, dalam seni otonom dan auratik penerimaan terindividuasi dan penikmat terserap dalam karya tersebut. Praktik-praktik karya sastra, karya seni kontemporer menurut penyusun adalah lebih merupakan penolakan dari karya-karya seni kebudayaan tinggi sebelumnya. Yang jelas bahwa penerimaan, konsumsi, dan kelahiran sebuah produk budaya (karya) berlangsung dalam kondisi ”kacau”.
Para pencipta karya seni auratik merupakan individu yang mempunyai sifat unik, berbakat, dan kreatif. Mereka masih menuangkan nilai-nilai ke-Agung-an, dan yang jelas mereka masih memiliki pengikut. Mungkin mereka memunafikkan diri dengan selera jaman. Seorang pujangga besar keraton Kasunanan Surakarta yaitu Raden Ngabehi Ronggowarsito pernah menulis konsep ’Jaman Edan’ dalam serat ”Kalatida”-nya yang prinsipnya bahwa apabila jaman itu datang (jaman edan) dan kita tidak mengikuti polanya alias tidak ikut ngedan, niscaya kita akan kelaparan. Namun selalu ada harapan sebagai pelipur lara yang menyertainya, bahwa janganlah kuatir karena keberuntungan orang yang sedang lupa (gila, edan) masih lebih besar keberuntungan manusia yang selalu waspada dan sadar.
Melihat indeks dan fakta yang ada, pembicaraan akan penyusun arahkan ke pembahasan tentang seni kemasan dan label. Sebagai contoh kecil penulis suguhkan fenomena celana jeans produk Tanah Abang; industri tekstil di Tanah Abang terkenal dalam memproduksi pakaian. Pakaian-pakaian itu di beli oleh pengusaha dagang produk kenamaan kemudian di bubuhi merk ’Lea’ buatan Amerika, lalu di kemas sangat menarik, dipasarkan di mall-mall besar dengan membandrol harga yang luar biasa mahal, toh laku juga. Keuntungan yang raub si pengusaha pemilik merk dua kali lipat dari modal awal. Artinya, bahwa produk Tanah Abang merupakan simulakrum produk dan gaya Amerika. Kelemahan sistem kapitalisme seperti ini adalah produk dan local genius tidak memiliki kebanggaan fundamen. Tetap saja ada pihak yang di tindas, tidak jauh beda dari jaman revolusi industri. Menurut pengetahuan kosmologi Cina, fenomena tersebut disimpulkan bahwa belum terjadi keseimbangan antara ’Yin’ dan ’Yang’.
Namun, untuk sementara waktu ini, metode yang bisa ditempuh oleh para seniman klasik untuk bertahan adalah mengikuti cara tersebut dengan prinsip Jawa ”ngeli nanging ora keli’ yang artinya menghanyut boleh, tapi jangan benar-benar hanyut, dengan masih memegang prinsip-prinsip pokok. Mereka hanya perlu merubah kostum luarnya saja dengan menumpang pada hal-hal, sesuatu yang sedang banyak dicitrakan. Inilah yang penyusun maksudkan dengan berperilaku lokal berfikir global. Setelah melakukan observasi, penyusun memiliki keyakinan bahwa nilai-nilai lokal tidak sepenuhnya hilang, karena memori itu tersimpan dalam superego yang digambarkan oleh Freud seperti fenomena gunung es terapung di tengah lautan. Jadi, jawaban untuk masalah no satu (1) adalah mampu apabila si pelaku seni (seniman klasik) mau berfikir kreatif dan cerdas. Memang sudah sangat masyur di masyarakat bahwa seniman memang tidak ahli beriklan dan tidak ahli managemen, dan sekaranglah waktu yang tepat bagi seniman untuk merubah pandangan atau image seperti itu.
Dilihat dari paradikma teori konflik, fenomena persaingan seniman klasik dan radikal justru akan menjadi motivasi usaha yang kuat dari kedua belah pihak. Secara otomatis mereka akan mengembangkan tingkat kreatifitas dalam berkarya. Walaupun begitu, sudah dapat dipastikan bahwa kelompok yang satu akan menjadi ’yang asing’ bagi kelompok lainnya.

D. Hilangnya Perbedaan
Setiap wujud produk, baik yang bersifat ide, benda, dan ’yang sosial’ sebenarnya telah memiliki pasar masing-masing, hanya secara kuantitas yang menjadi pembedanya secara eksplisit. Memang seharusnya pemerintah mengelola sebuah lembaga khusus yang menangani marketing produk seni, dan mampu menjadi wadah kreatifitas seniman, baik yang beraliran klasik maupun kontemporer. Cara lain yang seharusnya ditempuh adalah membuka wilayah otonom pemasaran produk, maksudnya memberi ruang gerak bagi masing-masing aliran seni, dan pada akhirnya akan menarik selera masing-masing pasar, peminat, dan pengamat. Untuk hal-hal seperti ini memang perlu menerapkan faham sekuler. Apabila di lihat dari pengertiannya, pengertian, pemahaman seni, seniman di jaman ini terasa kabur dan abstrak, hal ini sebenarnya akibat dari pergeseran nilai dari ’yang sakral’ ke profan. Pergeseran nilai inipun adalah karena imbas dari konsep pemikiran poststruktur.
Dalam hubungan sebagaimana diungkapkan di atas, partikular dan universal secara unik berada dalam hubungan yang tak berperantara satu sama lain. Lebih spesifik, tidak terdapat istilah ketiga di mana pemisahan antar keduanya itu diperantarai.ketika unsur transendental itu lenyap, problem yang timbul dari persamaan tingkat bahkan menjadi lebih kentara. Dengan demikian apa yang menjadi universal dalam etika adalah individu itu sendiri. Bahwa partikular menjadi universal berarti meruak individualisme masyarakat itu sendiri.
Masalah representasi masyarakat pertama dan terutama merupakan persoalan simbolisasi masyarakat, sebagai universal atau sebagaimana dijelaskan di atas sebagai perpaduan pertikular-partikular. Pentingnya pembedaan antara bentuk itu, lebih lanjut merupakan pokok dalam memahami dan mengkontraskan fenomena klasik dan kontemporer. Akhirnya, kita pasti ingat bahwa persoalan yang dihadapi oleh representasi publik dan pribadi tertentu yang digambarkan sebagai penyatuan adalah setiap sistem referensi diri yang pada akhirnya adalah bagian yang mendukung keseluruhan.

E. Simpulan
Pada hakikatnya, berkarya adalah bukan untuk menafsirkan yang kelihatan, tetapi menerjemahkan agar menjadi kelihatan. Produk klasik masih mampu mempertahankan ruang geraknya apabila dikelola dengan baik dengan jalan selalu berfikir kreatif, karena kreatifitas adalah salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang seniman.
Menghilangkan adanya perbedaan yang tidak jelas sumber masalahnya, karena hal tersebut hanyalah tautologi semata merupakan cara yang harus ditempuh untuk mengkondisikan seniman klasik dan kontemporer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar