Kamis, 23 Juli 2009

Mpu Sangkala

Arif Hartarta
NASKAH/TEKS CERITERA DRAMA JAWA (KETHOPRAK)
”M A R D I K A J A V A D V I P A”
(DIANGKAT DARI LEGENDA ’AJI SAKA’)

N a s k a h & S u t r a d a r a:
*S A N G A M U R W A B H U M I*

Naskah ini dibuat untuk keperluan pentas produksi ke 41 KKTT WISWAKARMAN FSSR, UNS, SURAKARTA
Tempat Pementasan: Arga Budaya

Setelah sukses menuai pujian pada pementasan pertama di Arga Budaya dengan judul ”GITA CINTA (SAWITRI)”, ceritera “MARDIKA JAVA DVIPA” akan mencoba mengisi kembali kesunyian Arga Budaya, dan masih dengan tema yang sama “Arga Budaya Bangun dari Tidur Panjang” pada tanggal 19 Agustus 2009 nanti. Bahasa dalam naskah ini memang dibuat sedikit brutal dan kacau, alias tidak memenuhi kaidah kasusastran dan udanegara yang telah disepakati. Berbeda dengan naskah yang dipentaskan terdahulu, yang disusun atas bahasa sastra yang indah dan mendekati kaidah-kaidah kesusastraan baku. Alasannya terdapat dalam kesatuan unsur di dalam naskah ini. Naskah ini juga berguna sebagai bahan pembelajaran seni pementasan bagi yang berniat terjun ke dunia panggung. Naskah ini lengkap dengan sinopsis ceritera, dialog, setting, perwatakan, swasana, properti, analisis ceritera, dan keperluan panggung lainnya. Dan akhirnya, semoga tulisan kecil ini berguna.

Ketua Dewan Pengasuh KKTT WISWAKARMAN
A r i f H a r t a r t a , S . S.

K L A T E N
Tlas Sinrat ing Dwi Hari;
RSUP. dr. Soeradji Tirtanagara, Cempaka no. 9 * 06-07 / 06 / 2009 (20.15 WIB)
“MARDIKA JAVA DVIPA”
Dening: Ki Hartarta Sang Amurwa Bhumi

* Sinopsis Salebeting Alur Panggung
(1) Alkisah seorang raja muda Negeri Surati di tanah Hindi jejuluk Prabhu Isaka putra Bathara Anggajali – sedang menjalani tapa brata di tengah hutan gung liwang-liwung ditemani oleh kedua abdi setia bernama Dora dan Sembada...
Dora – Sembada rajin berlatih olah kanuragan dan kesaktian sembari menjaga majikannya bertapa. KOCAP…”tan samar pamoring suksma, sinukmaya winahya ing asepi, sinimpen telenging kalbu, pambukaning warana, tarlen saking layab-litebing aluyub, pindha pesating supena, sumusubing rahsa jati”…dalam kekhusukan olah samadi, datanglah tujuh bidadari. Perputaran roda waktu seolah berhenti – seperti halnya mimpi. Ketujuh bidadari tersebut adalah bhathari Supraba, bhathari Wilutama, bhathari Gagar Mayang, bhathari Tunjung Biru, bhathari Warsiki, bhathari Surendra, dan bhathari Lengleng Mulat yang bertugas menggoda tapa brata yang dijalani Prabhu Isaka. Berbagai cara dilakukan oleh para bidadari untuk membatalkan pertapaan sang Prabhu, namun sia-sia belaka semua usaha yang dilakukan. Tiba-tiba tubuh Prabhu Isaka yang tengah khusuk bertapa memancarkan cahaya dan membuat ketujuh bidadari kontal / terlempar dari tempat sang Wiku...
Datanglah satu sosok suku polarian, bangsa cahaya yang disebut-sebut orang dengan sebutan Sang Dewa. Ia muncul dari celah-celah gumpalan awan gelap – terbang menukik ke pertapaan Sang Isaka melalui alam kedewaan. Dia adalah dewa peradaban (ahli membuat senjata) bernama Hyang Anggajali yang tidak lain adalah ayah Sang Prabhu Isaka. Terjadilah dialog antara Hyang Anggajali dengan Sang Isaka (Sukma Langgeng) di alam ”sunya”. Hyang Anggajali memuji keteguhan Prabhu Isaka mengatasi godaan para bidadari. Sesungguhnya para bidadari itu adalah salah satu wujud ujian iman yang harus ditempuh oleh Sang Isaka – dan selanjutnya Sang Isaka akan mengemban misi mulia yang cukup berat dari para Dewa. Bersabdhalah Sang Dewa kepada Sang Isaka: ” anakku yang kukasihi, pergilah engkau bersama kedua abdi setiamu ke belahan bumi sebelah tenggara, tepatnya di Jawa Dwipa, singgahlah engkau di wilayah negeri Medhang Kamulan. Singkirkanlah angkara murka yang ada di dalam wadang seorang ’dewa yang ingkar (dari jalan dharma)’, hentikanlah kebiadaban, bangunlah suatu peradaban yang baru, ajarilah para manusia yang menduduki pulau itu agar menjadi manusia sejati, dan mulai sekarang ubahlah namamu menjadi Empu Sangkala”. Setelah bersabda demikian, sang Dewa dan para bidadari pulang ke alam cahaya.
Sang Isaka memanggil kedua abdi setianya; Dora – Sembada yang sedang sibuk berlatih ilmu kanuragan. Diceritakanlah pengalaman mitisnya kepada kedua abdi tersebut. Setelah bertekad bulat, ketiganya berkemas berangkat ngejawa. Lamanya perjalanan tidak diceritakan, dan sampai sekarang masih menjadi misteri sastra yang tetap abadi terbungkus rapat (digedhong)...
(2) Tersebutlah seorang raja kanibal di pulau Jawa, tepatnya di negeri Medhang Kamulan. Raja ini memiliki kebiasaan biadab, yaitu memakan daging manusia. Saat itu, manusia yang menghuni pulau Jawa bisa dikata belum berperadaban atau nyaris tidak berkesenian. Raja bengis ini disebut-sebut orang bergelar raja Dewata Cengkar. Karena kebiasaan seperti itu, dikemudian hari sering disebut dengan nama buta, denawa. Bukan hal yang aneh apabila lama-kelamaan penduduk di wilayah Medhang Kamulan berkurang, karena setiap harinya harus ada yang dijadikan santapan Sang Dewata Cengkar. Hingga pada suatu hari, sudah habis manusia di tempat itu. (3) Yang masih hidup mencoba mengungsi melarikan diri ke daerah yang lebih aman dan sulit dijangkau oleh pasukan Medhang Kamulan. Dewata Cengkar marah-marah kepada pasukannya karena sudah seharian ia tidak menyantap daging manusia. Dewata Cengkar memerintahkan kepada patih beserta pasukannya memburu manusia ke seluruh pelosok negeri untuk dijadikan mangsa, dan jika tidak berhasil maka para prajurid itu yang harus menanggung akibatnya, yaitu menjadi pengganti makan siang.
(4) Berhari-hari perburuan manusia dilakukan, tetapi tidak ada tanda-tanda manusia yang berkeliaran. Semua orag yag masih tersisia, ketakutan dalam persembunyian. Pencarian hari ketujuh terdapat tanda-tanda jejak kaki manusia. Jejak kaki diikuti oleh para prajurid Medhang Kamulan, dan berhentilah penelusuran sampai di pinggiran jalan setapak dekat hutan. Ternyata ada tiga orang wanita yang sedang mencari kayu dan makanan. Mereka adalah seorang janda dan kedua anaknya – pelarian dari Medhang Kamulan. Tanpa banyak bicara, para prajurid menyeret ketiga wanita tersebut untuk di bawa pulang ke Medhang Kamulan. Untung saja Empu Sangkala, Dora dan Sembada melewati jalur setapak itu. Dora dan Sembada segera menolong membebaskan ketiga wanita tersebut dari cengkeraman para prajurid. Pertempuran sengit terjadi, namun para prajurid kewalahan dan lari tunggang langgang pulang ke Medhang Kamulan untuk melapor. Janda tua mengucapkan terimakasih kepada sang pengembara, dan meminta kepada sang pengembara/Empu Sangkala untuk mampir beristirahat dan makan di tempat persembunyiannya.
(5) Padepokan (Bakalan) untuk mengajarkan hukum dharma kepada masyarakat mulai direncanakan berdirinya oleh Empu Sangkala di tempat persembunyian janda tua. Janda tua dan kedua anaknya menceritakan keadaan di wilayah Medhang Kamulan selengkapnya kepada Empu Sangkala. Bagaimana kekejaman Dewata Cengkar yang tega membunuh rakyatnya sendiri setiap hari untuk dijadikan santapan. Raja kanibal itu sungguh sakti, dan tidak ada yang berani menghalangi kiprahnya. Mendengar cerita itu, Empu Sangkala teringat akan tugasnya, maka ia bermaksud pergi ke negeri Medhang Kamulan untuk menghentikan keangkaramurkaan Prabhu Dewata Cengkar. Banyak-banyak pesan, peringatan dari janda tua – sangat disayangkan apabila pemuda berbakat seperti Empu Sangkala harus mati menjadi santapan Sang Raja Kanibal. Empu Sangkala berkemas mengajak Dora. Sebelum berangkat, Empu Sangkala berpesan kepada Sembada bahwa Sembada harus tinggal di padhepokan untuk menjaga ketentraman padepokan dan melanjutkan pendidikan dharma di tempat itu. Empu Sangkala juga menyampaikan pesan wasiat dan menitipkan sebilah keris pusaka kepada Sembada dengan pesan agar menjaga keris tersebut dengan nyawanya dan janganlah memberikan keris tersebut kepada siapapun juga kecuali Empu Sangkala sendiri yang meminta. Selesai berpesan, berangkatlah Empu Sangkala dan Dora menuju Medhang Kamulan.
(6) Gusar perasaan Sang Raja Kanibal karena sudah berhari-hari belum menyantap daging manusia. Tiba-tiba datanglah segerombolan prajurid yang melaporkan kegagalan. Meledaklah amarah Dewata Cengkar. Semua yang ada dihajar, ditendang, dibanting, dipukul sampai babak belur. Menghadaplah seorang prajurid beserta dua orang pemuda tampan dan gagah yang bersedia menjadi santapan Sang Raja. Dewata Cengkar terheran-heran dengan niat Empu Sangkala, tetapi hatinya juga sangat gembira karena mendapat makan siang. Saking senangnya, Dewata Cengkar akan mengabulkan satu permintaan Empu Sangkala, apapun yang diminta akan dikabulkan. Empu Sangkala mengeluarkan destar dan berkata kepada raja bahwa ia hanya meminta imbalan tanah seluas destar yang dibawa tersebut, namun dengan syarat yang mengukur adalah Dewata Cengkar sendiri. Dengan senang hati Dewata Cengkar segera melakukan pekerjaan tersebut karena sudah tidak sabar ingin segera menikmati daging dan darah segar. Namun destar yang ditarik tidak habis-habis, malah semakin bertambah panjang menutupi wilayah Medhang Kamulan.
Semakin ditarik, sampailah Dewata Cengkar di tepi tebing curam samudra Hindia. Karena marah, Dewata Cengkar berniat menarik destar sekuat tenaga agar Empu Sangkala terjatuh, namun bersamaan dengan hentakan itu, empu Sangkala melepaskan destarnya sehingga Dewata Cengkar terpental dari tebing terjun ke samudra. Setelah tubuh Dewata Cengkar menyentuh air samudra, segera ia berubah ke wujud aslinya yaitu raja siluman buaya putih, dan mengancam akan memangsa setiap manusia yang berlayar atau mencari ikan di wilayah kekuasaannya di laut selatan. Hasil gemilang Empu Sangkala memerdekakan Jawa Dwipa disaksikan oleh Dewa-Dewi yang menaburkan bunga-bunga dari angkasa. Hyang Anggajali segera menobatkan Empu Sangkala menjadi raja di Medhang Kamulan dan bergelar ”Prabhu Aji Saka”. Sebagai penghormatan dan peringatan raja dan bakal munculnya peradaban baru, mulai hari itu diperingati sebagai tahun 1 Caka . Dunia bergetar sebagai saksi munculnya peradaban baru di pulau Jawa. Aji Saka teringat akan Sembada dan pusakanya yang masih berada di padepokan Bakalan. Ajisaka memerintahkan kepada Dora agar memboyong Sembada dan pusakanya ke Medhang Kamulan. Dora segera berangkat dengan rencana-rencara curang agar Sembada tidak ikut menikmati kemenangan dan kemuliaan di Medhang Kamulan.
Setelah keberangkatan Dora, Hyang Anggajali mengingatkan kekilafan Aji Saka tentang pesan wasiatnya kepada Sembada dan mengingatkan Aji Saka akan sifat Dora yang kurang jujur. Aji Saka segera menyusul ke desa Bakalan diiringi oleh Dewa-Dewi.
(7) Sembada duduk di bawah atap sirap sambil mengusap-usap membersihkan keris pusaka titipan Empu Sangkala majikannya. Tiba-tiba datanglah Dora. Setelah saling berbagi pengalaman dan ceritera, dora menceritakan maksud kedatangannya yang diutus oleh Sang Aji Saka agar mengambil keris pusaka yang ada pada Sembada. Dora tidak mengatakan bahwa seharusnya Sembada diboyong bersama keris pusaka. Sembada tetap teguh pada wasiat sang empu, pusaka tetap dikukuhi. Dora naik pitam sehingga terjadi perang mulut yang berujung pada perang tandhing. Mereka sama-sama sakti pilih tanding. Dalam keadaan sedikit terdesak, Sembada menghunus keris dan menghujamkan ke dada Dora. Keris menusuk jantung, membuat Dora tersungkur lemas. Melihat keadaan saudaranya yang telah sekarat, Sembada merasa khilaf dan menyesal. Maksud hati ingin menolong, namun apa boleh dikata, memang harus seperti itulah yang semestinya terjadi... Dora mencabut keris yang menghunjam di dadanya lalu balik dihujamkan ke dada Sembada, tewaslah keduanya, sampyuh... Tidak ada sesuatu yang kebetulan, semua memenuhi takdirnya...pembaharuan selalu diiringi suatu pengorbanan. ”Jer Basuki Mawa bea”.
Aji Saka datang ke tempat itu, namun terlambat. Kedua abdinya telah menemui ajal. Hanya tinggal penyesalan yang tiada guna, menyesali tindakan yang terburu-buru. Hyang Anggajali bersabda agar Aji Saka memperingati pengorbanan kedua abdi setianya dengan membuat alfabet DENTAWYANJANA. Aji Saka menengadah sembari mengucapkan lafalan yang berbunyi: ”HA NA CA RA KA – DA TA SA WA LA – PA DHA JA YA NYA – MA GA BA THA NGA” yang artinya: ”ada utusan (abdi setia), berperang tanding, sama-sama sakti, sama-sama mati”. (geteran – jenggleng sambung ayak layu-layu).

Penokohan:
1. Prabu Isaka/Aji Saka/Empu Sangkala: wicaksana, wibawa, angker, ruruh, sekti, sareh, anteng. (kostum raja, kemudian brahmana hindu warna putih, nganggo ’simpai’ sirah)
2. Sukma Langgeng (Isaka): tenang, tidak banyak bicara, pendiam (kostum brahmana hindu warna putih, tanpa irah-irahan sirah, hanya memakai iket ditambah simpai)
3. Dora: getapan (gampang kobong), tegas, seneng goroh, egois, seneng mlencengake kasunyatan. (kostum pendekar lelana, ligan, iket pendekar+simpai)
4. Sembada: tegas, kuat pendirian, patuh, jujur, setya, ngemong. (kostum pendekar lelana, ligan, iketan pendekar + simpai)
5. Prabhu Dewata Cengkar (Yaksha): Ganas, braok, brangasan, brutal, kejam, sombong, congkak, getapan (gampang nesu), nyaris tidak berkesenian. (kostum yaksa gimbal tanpa sesotya/perhiasan = peradaban rendah)
6. Bhathara Anggajali: tegas tapi halus, wicaksana, waskitha, angker, berwibawa. (kostum dewa = peradaban tinggi)
7. Bhathari Supraba (W1): halus gerak-geriknya, lemah-lembut tutur katanya, angker, ruruh, sabar, tutur katanya berwibawa/sugestive. (kostum bathari = widadari = peradaban tinggi, kabeh rambut ‘ore’/tidak sanggulan, kemben mewah)
8. Bhathari Wilutama (W2): bijak, agak lanyap, pintar membawa diri. (idem)
9. Bhathari Lengleng Mulat (W3): agak anteng, kalem, ngujiwat. (idem)
10. Bhathari Surendra (W4): setengah lanyap tapi halus, tegas, waspada, halus gerak-geriknya, pandai. (idem)
11. Bhathari Gagar Mayang (W5): manja, gandhes, luwes, kekanak-kanakan, pandai mengurus kerepotan rumah. (idem)
12. Bhathari Warsiki (W6): kemayu, kenes, luwes, lanyap, mbranyak. (idem)
13. Bhathari Tunjung Biru (W7): halus tingkah laku, lembut, ruruh, angker, sabar, bijak, sederhana, berwibawa. (idem)
14. Mbok Randha ‘Nyai Sagopi’ (kawula Medhang): tua tetapi agak mbranyak, pinter crita (kostum ndesa, kemben lecek, rambut gelung alami).
15. Anak mbok randha 1 (Margiyati): manut, sareh. (kostum ndesa, kemben lecek)
16. Anak mbok randha 2 (Niken Raras): sak senenge, angel diatur, nganyelke. (idem)
17. Patih Karang Kếlếng (patih Medhang Kamulan): braok, latah guyu, kasar (nyaris tidak beradab).
18. Prajurid Medhang Kamulan): braok, nyaris tidak beradab)






”Kemerdekaan adalah kebebasan bersama
(-sama) – sekelompok kaum untuk mengatur kehidupannya di dunia mereka”










PROLOG
NALIKA PULO JAWA MAKSIH MUDA, SUWUNG, AMUNG ALAS GUNG LIWANG-LIWUNG. NALIKA KABUDAYAN, PERADABAN DURUNG KA’UDI... NALIKA ANA CARITA DEWA-DEWA KANG NGUWASANI JAGAD KANTHI PANGUWASA MUTLAK... ANA SALAH SAWIJINING ’DEWA INGKAR’ KANG DUMADI SAKA PANJALMANING RAJA SILUMAN BAJUL PUTIH, NGUWASANI TLATAH JAWA ING WEWENGKON ’MEDHANG KAMULAN’. KAREM MBADHOG DAGINGING MANUNGSA. ’DEWATA CENGKAR’ SANG RAJA KANIBAL…!!!
ING PERANGAN JAGAD ELOR KULON, ANA SAWIJINING RAJA PANDHITA SAKA NEGARA SURATI ING TLATAH HINDI – MANGUN TAPA NGGAYUH RAHAYUNING BAWANA AGUNG, NEDYA HAMBRASTHA ANGKARAMURKANING BUMI KANG SINANDHANG DENING SANG RAJA KANIBAL…!!! MANCORONG TEJANE MANTHER SAK SADA LANANG GEDHENE !!! SAYEKTI SATRIA PINANDHITA MUDHA PILIHANING DEWA, SANG RATU ADIL….SANG PRABHU ISAKA, YA EMPU SANGKALA, YA SANG AJI SAKA !
HA-NGEJAWA !!
MARDIKA JAWA DWIPA !!!


(Keterangan Sawatawis: Prolog ing nginggil punika kawaos kanthi cara deklamasi sugestive, ing pangangkah supados saged nyireb lan narik kawigatosanipun para miyarsa lan penonton)



Babak 1
Setting: Alas/sanggar pamelengan, terdapat emperan
Paraga: Prabhu Isaka, Sukma Langgeng, Dora – Sembada, Bathara Anggajali, WIDODARI 7
Swasana: mitis religius, angker, kebak wibawa

Keterangan Sawetawis: Prabu Isaka nedheng mangun tapa brata. Dora lan Sembada gladhen kanuragan ana ing saknjabaning sanggar pamelengan. Kacarita, saka genthenging pangesthi, kaya-kaya wektu bisa mandheg. Widodari pitu lumaku ing alam kadewatan nggodha tapaning sang raja pinandhita. (Dora lan Sembada tablo).

Dialog:
W 1: Sang Tapa...prabhu Isaka...wis ta...racuten yoga bratamu kang wus sumundhul ing ngawiyat. Sawangen alusing pamuluku, endahing badanku, weweging sariraku...luwih becik ayo dak kanthi manjing palereman, aku sarju leladi nindhakake ulah kridhaning asmara priya – wanodya ...(ngujiwat mbebidho Sang tapa)
W 2: Apa sira ora kepingin ngrasakake prigeling para widadari ulah asmara kanthi cara kadewatan sang tapa? Mara gage sawangen aku...eman-eman lho sang tapa, barang mulus anyir gris kaya ngene kok mung dionggrokake...(sarwi ngekeb saking wingking/geger)
W 3: (ngomentari W2): Kakang mbok ki lho!!! Aja murka ta ! aku ya melu nyekel ta ya...(melu nggoceki astane sang Tapa)
W 4: (ngomentari W2, W3): Aduh-aduh...! mbok aja padha yak-yakan ta ya...sikilku kepidak iki...., sang tapa... ayo tak pijeti supaya bisa suda sayahing raga lan pikirira...(laju mijeti sukune sang tapa)
W 2: Gagar Mayang !!! mbok aja meneng wae, kancane wis gobyos kok kono malah kepenaken hleyeh-hleyeh...!
W 5: (Gagar Mayang mbebondhet suku kering. Rada kaget). Lha mumpung wonten kok..., menawi kula cekap nemplek sampun rumaos ayem...(menakake patrabe maneh).
W 6: Kulite jan alus tenan...mbok mati ta yen aku emoh.... kaya ngene kok ora wingi-wingi...(ngelus pipine sang tapa)
W 7: Sang tapa...tak aturi nglalekake perkaraning jagad sawetara, awit sejatine wis ana sing menggalih. Ayo tak dherekake mbebedhak wana mburu kidang – menjangan..., yen sayah tak pijeti, tak ladeni apa wae panyuwunmu...(karo ngelus lan mijeti saka suku tekan asta)
W 2: Tangane kuwi lho, mbok aja grayah-grayah, wong lagi yahmene. Marahi pengin sing nyawang. Ngono yo ngono, ning urut saka sing tuwa sik...(banjur nemplekake awak menyang ragane sang tapa)
W 3: Uwong kok baguse kaya ngene...(meraba muka Sang Isaka), gawe kedher sok sapa wae sing mulat...(dheleg-dheleng,oneng)
W 4: Biyuh-biyuh...baguse wong sakjagad kok dipek kabeh. sang tapa...aku wis ora kuwat menggak kobaring asmara..., aku pasrah jiwa raga...
W 6: Semono uga aku sang tapa, sawangen aku...welasa marang jiwa ragaku...senadyan mung dadi juru tebah, aku lila lahir batin suwita lan leladi panjenengan...
W 5: Ning janji lho...mengko sapa wae sing dipilih leladi dening Prabhu Isaka, liyane ora kena meri, liyane kudu nrima, lan kudu lila nunggu giliran...
W 1: Wis wis, aja padha kakehan gunem, ayo enggal mungkasi jejibahan, leladi sang tapa...

Ket: Para widadari sami nggrayangi sarirane Prabhu Isaka. Eling-eling tabeting satriya linuwih, datan mobah, datan mosik, datan kengguh ing panggodha, malah saya sru panelangsaning raos ngantos sumundhul ing wiyati, adamel gara-gara. Dumadakan ragane Sang Prabu Isaka murub. Para widodari padha sanalika kontal (terpental). Bhathara Anggajali rawuh, paring dhawuh dhumateng sang isaka ingkang sampun raga sukma ing alam sunya.





Dialog:
Bt. Anggajali: Ngger, anak Prabhu Isaka...? wengakna korining kalbumu! Ulun Sang Hyang Anggajali nedya medarake wisik marang kita kulub.
Dubb/Sukma: Rama pukulun....sembah hamba mugi konjuk...(patrab sumuyud kaya patrabe prajurid laporan)
Bt. Anggajali: Tak tampa kulub, pangestu ulun wae tampanana.
D/ Sukma: Sanget anggen hamba mundhi rama...
Bt. Anggajali: kulub, mangertiya manawa ngrembakaning angkaramurka ing lumahing bumi kurebing langit kudu enggal disirep. Jejibahan agung lan abot iki, dening para Dewa dipasrahake marang kowe ngger. Ngelingi marang manthenging panembahmu, luhuring kasektenmu, lan sira sanyata satriya mudha pinilih kang bangkit nguwasani lan kawasa ngendhih ubaling hawa kanepson. Buktine sira ora pasah godhaning asmaradahana...
D/ Sukma: Lajeng keparenging para Jawata kula kedah tumindak kados pundi?
Bt. Anggajali: Kulub..., wektu kalungguhan dina iki, ing perangan bumi sisih kidul wetan – ana raja kanibal, kang tegese karem memangsa ing sapepadhaning tumitah. Tlatah kono sinebut Jawa Dwipa, penere ing negara Medhang Kamulan.
Dina iki uga sira lan abdimu sakeloron; Dora lan Sembada budhalo ”HANGEJAWA” – tumpesen angkaramurkaning Dewata Cengkar, Dewa kang ingkar saka marganing kautaman. Sesinglana brahmana lelana, lan wiwit dina iki sira peparab’a EMPU SANGKALA !!!

Ket:- Hyang Anggajali – widodari 7 (pitu) makahyangan, sukmanipun Prabhu Isaka manjing raga.
- Dora – Sembada ingkang sewaunipun tablo udhar nglajengaken nyambung pakartinipun ing ngajeng (gladhen perang tandhing).
- Empu Sangkala nyandhet ingkang sami gegladhen, laju paring pangandikan:

Empu Sangkala: Dora – Sembada ...!!! wis cukup anggonmu padha gegladhen...
Dora – Sembada: Gusti Prabhu... (sarwi nyembah dhadha, marekaken sowanipun).
Dora: Wonten timbalan dhawuh Gusti?
Sembada: Patik nyadhong dawuh Gusti Prabhu...
Empu Sangkala: Dora apa dene Sira Sembada...
Dora – Sembada: (Sembah dhadha sarwi tumungkul). Daulat gusti...
Empu Sangkala: Ingsun mentas wae nampa wangsit saka rama pukulun Hyang Anggajali ing sajroning samadi. Dene wangsit kang dumeling – dhawuh supaya jeneng ingsun lan sira sakeloron hangejawa, tegese lumawat menyang pulo kang aran Jawa. Perlune mbrastha angkaramurka lan ndandani pranatan lan kabudayan kang rusak utawa durung temata. Dora lan sira Sembada, wiwit dina iki ingsun tilar keprabon negara Surati, lan silih asma Empu Sangkala.
Dora: Keparengipun bidhal dinten menapa Gusti?
Sembada: Kaparenga pun apatik nyawisaken sedaya kabetahan ingkang kaperlokaken ing margi mangke...
Empu Sangkala: Ora perlu Sembada, sakcukupe wae. Mangertiya menawa lakune awake dewe iki mengko kajangkung dening para Dewa. Mula ayo, sakiki uga enggal budhal tumuju pulo Jawa...
Dora – Sembada: Suwawi kula dherekaken Gusti...











Babak 2

Setting: Puraya/Baleirung/Pendhapan Medhang Kamulan
Paraga: Prabhu Dewata Cengkar, patih Karang Keleng, Prajurid
Swasana: penuh ketakutan, kecemasan, kekuatiran/tintrim ing ati

Ket. Sawetawis: Dewata Cengkar nedheng ngunjuk arak sinambi dhahar tanganing manungsa wonten ing dhampar wewangunan sarwi lakak-lakak ngetingalaken braokipun. Kaadhep para punggawa jangkep.

Dialog:
Dew. Cengkar: Aahh...sueger tenan...(ngusabi tutuk), puiye le, apa wis dhua mbuadhog he ?!!
Punggawa (sMa): Mpun kyaine...
Dew. Cengkar: Mbadhog apa dhapur-dhapurmu iki mau? Kok sajak seger sumyah guwayamu? Hwa ha ha ha ha ha...
Punggawa 1: (saut-sautan) mbadhog sapi kyai, sirahe kula kepruk watu gilang ambyar, getihe kula kokob, hwa ha ha ha ha ha...
Punggawa 2: Mbadhog celeng kyaine. Kula sabetke kayu ambyar, polone kula dhueruki, lalapane godhong kecubung, camilane kelabang dipepe, uwenak tenan.. hwa ha ha ha ha...
Dew. Cengkar: Leng – Keleng, tak gwatekne awit mau, suntrut praubamu, luecek praenmu, sajake ana sing bakal kok kandhakke. Mikir apa kowe le?! Ndang nyangkema, aja mung pendelak-pendelik ! Hwa ha ha ha ha...kaook cuh (karo ngidu).
Pt. Kar.Keleng: Kyai, ketiwasan kyai...
Dew. Cengkar: Ketiwasan piye? Cangkirmu ki sing cetha yen kandha !!! rasah prembak-prembik, bedhes kowe!!!
Pt. Kar.Keleng: Lha tibak’e niku, wewengkon Medhang Kamulan ngriki mpun sepi menungsa. Sing tesih ambegan, dho minggat ngungsi, sebab ajrih yen ajeng didhahar kiyayine...
Dew. Cengkar: Kuenyung, monyet, buedhes elek !!! (ngadeg, ngepruk tuwak). Gaweyanmu ki dho ngapa he ?!!! buron kok nganti bisa mlayu?! Utegmu kebuntel gombal ya?!!
(para nayaka sami tumungkul ajrih)
wis embuh piye caramu, menungsa-menungsa kuwi kudu kok cuekel, lebokne kerangkeng dadi badhoganku!!!
Ndang dha minggat kana, malah ting plorok !!! (sarwi ngagar agari bogem/tungkak dhateng para punggawa).
Para Nayaka: (sarwi lumayu)..Nggih, enggih kiyayine...
Dew. Cengkar: Menus elek !!! (mlebet kraton lumampah garoyah-garoyah)



Babak 3

Setting: Taman Medhang
Paraga: dagelan
Swasana: gecul
Wos: Dagelan 1: Co, mumpung awake dewe isih urip, ayo padha lunga saka kene, ora wurunga – suwening suwe, awake dewe sak ndase sing bakal dadi mangsane Prabu Dewata Cengkar. Yo lunga, nyolong wayah...




Babak 4

Sett: Dalan Setapak Pinggiran Alas
Paraga: Mbok randha (Nyai Sagopi + Anake Wedok (Margiyati, Niken Raras), Prajurid, Mpu Sangkala, Dora – Sembada.
Swasana: gugup, kesusu, rada wedi, nggragap, gampang nesu, hawa panas.

Keterangan sawatawis: Mbok Randha Nyai Sagopi, Margiyati lan Niken Raras padha leren sawetara ing pinggiran alas sinambi mapanake gawan kang kurang temata.

Dialog:
Ny. Sagopi: (karo ngringkesi buntelan isi pangan lan kayu) Wuk, ayo ta!! Mbok rada rikat sing mlaku! Mengko yen kecekel gedibale Dewata Cengkar simbok ra melu tanggung!
N. Raras: Halah-halah mbok, pangggonan wis ndelik, ra menakke ngene iki ora-orane kecekel karo prajuride Dewata Cengkar. Sabar ta mbok...leren-leren sik, wong ya genah puanas ngenthang-enthang ngene.., yen aku semaput piye coba? Rak malah saya rekasa ta?!
Ny. Sagopi: Oalah beng-beng...kapan kowe ki yen tak takoni, tak kongkon ora nganggo semaur ngono?! Mbok kaya mbakyumu kuwi, meneng, ning rikat yen tandhang gawe.
Margiyati: Wis tokna wae mbok, bocah siji kuwi pancen paling pinter nyengkakke patine wong tuwa...aja meneh simbok, sing aku wae cumleng mbok-mbok...
N. Raras: Sing pidhato mpun sami rambung ndara??? Mangga lho nek tesih ajeng nyambung.
Ny. Sagopi: Anak setan tenan cah iki, malah ngece yen dikandhani. Tinggal wae Mar...
Margiyati: Titenana yen ana apa-apa, aku ro simbok ra tanggung!
N. Raras: Ra tanggung yo ra tanggung, tanggung dewe. Nyet aku ki ket mbiyen mesthi di nomerke loro. Coba bapak isih urip...
Margiyati: Kowe kuwi.., bocah cilik ditresnani malah mbejijat. Simbok wis kelangan bapak merga di pangan karo Dewata Cengkar, aja nganti simbok kelangan meneh. Watakmu malah kaya ngono, mbok sing bisa ndedawa swargane wong tuwa.
Ny. Sagopi: Aja dha udreg. Kowe kuwi sedulur. Marahi atiku kelara-lara. Kowe kabeh tak gadhang-gadhang bisa mikul duwur mendhem jero jenenge wong tuwa, ya senadyan kowe bocah wadon.

Ket: tanpa kanyana-nyana, jagongane mbok randha lan anak-anake di ulati dening para prajurid Medhang. Mbok randha sak anake kaget, bingung, wedi, pating jlerit katekan prajurid kang ora kanyana-nyana asale kang banjur ngeret-eret katelune pisan.

Mbok Randha sak anake: tulung, tulung, tulung!!!
Margiyati: (karo nangis keweden) Iki mau merga kowe Ken!!! Nyengsarakake wong tuwa!
N. Raras: (njlerit-jlerit keweden setengah mati) ampun den, ampun...kula tesih pengin urip...
Kar. Keleng: Hwa ha ha ha ha ha ha...bengok-bengok’a nganti telakmu njepat ora bakal ana sing wani nulungi, yen ana malah kepeneran, malah bisa tak cekel kanggo tandho badhogane Kyaine Dewata Cengkar. Ndang di tali, diseret gawa bali cah!!!
Punggawa 1: Eman-eman niki kiraka, yen mung ndang di badhog.
Kar. Keleng: Karepmu le?! Aja sembrana kowe, konangan kyaine kelakon diuntal rempelamu kowe!
Punggawa 1: Sabar kiraka, karep kula, sakderenge dibadhog kalih kyaine, rak luwih prayoga awake dewe disik sing mbadhog, mbadhog penakecah ayu-ayu niki. Nek mbokne ditali teng uwit niku sik, pripun?
Prajurid (kabeh): Ha ha ha ha ha ha ha....(saut-sautan) cocok tenan penemumu. Mathuk ro mathuk, wis ndang ayo digarap, selak mambu...hwa ha ha ha...
Kar. Kel: Ayo ndhuk, tak penakke sakdurunge kowe mati (karo mbergonjak Margiyati)
Margiyati bengok-bengok ”ora sudi lsp”,ngronta, nanging meksa diplekotho karo Karang Keleng. Semono uga nasibe si Niken raras ora beda kaya Margiyati. Nyai Sagopi mung bengok-bengok nangis meruhi anake kang dirudapeksa nedya kaprawasa, saking kesele nangis ngati mung mageb-mageb...

(Durung nganti para prajurid bisa ngrasakake kanikmataning marga ina, durung bisa methik makutha retna lan ndobrag korining sela matangkep lan ngunus kyai ’sarutama’ (saru ning utama), dumadakan Dora – Sembada teka mancali, nungkak kang lagi nindakake rudaparipaksa. Empu Sangkala ngluwari Nyai Sagopi. Prajurid padha gero-gero kelaran campur nesu)

Kar. Keleng: Menus elek, setan alas!!! (disaut ora trimane prajurid liyane) Sapa kowe wani ngganggu marang aku he?!
Empu Sangkala: Ditepungake wae, aranku empu Sangkala, lan wong lora iki muridku. Aja kok bajutake patrapmu kang murang susila iku. Elinga menawa wong nandur kuwi bakal ngundhuh.
Prajurid kabeh: Kojah apa, ra mudheng, ndang kiraka, rasah suwe-suwe, cekel dadekne tandhon badhogane kyaine.
Kar. Keleng: Pawongan!!! Manuta dadi bandan kowe. Cekel cah!!!
Ket: Dora – Sembada maju tumandang ngadhepi para prajurid supaya bendarane ora perlu tumandang. Mpu Sangkala ngayomi mbok randha sakanake. Para prajurid kasoran yuda, banjur padha mlayu karo ngancam-ngancam.

Empu Sangkala: Nyai lan kowe nini sakeloron, ayo luwih dhisik tak terke bali menyang pondhokmu kanggo nyireb swasana kang ora menakke iki mau...

Babak 5

Setting: Dukuh Bakalan; pondhok/gubug ndesa.
Paraga: Empu Supa, dora – Sembada, Ny. Sagopi, Margiyati, N. Raras
Swasana: prihatin, trauma, naging rada lega lan ayem

Katerangan sawatawis: Nyai Sagopi nyekecakake tamune enggah lan ngaso, disambi resik-resik panggonan kono.

Dialog:
Ny. Sagopi: Kisanak, sampeyan niku sinten lam saking pundi asale hla kok wano-wani nglawan prajuride Dewata Cengkar?
Mpu Sangkala: Jenengku Empu Sangkala nyai, lan iki (nuduhhake abdine) muridku...
Dora: Aku Dora Nyai...
Sembada: Jenengku Sembada nyai...
Mpu Sangkala: Saktemene aku iki pendhita kabur kanginan tanpa dhangka, banjur nyai kuwi sapa, lan kepriye sujarahe nganti dicekel dening para prajurid mau?
Ny. Sagopi: Jeneng kula Sagopi, cah loro niku anak kula... (nuduhake anake)
Margiyati: Jeneng kula margiyati empu...
N. Raras: Nek kula Niken Raras, anake simbok sing paling digethingi...(karo mlengos)
Margiyati: Bola-bali cah gemblung, mbok eling, lelakon ana ndalan mau jan-jane sing nyebebake kowe awit saka patrabmu sing kaya bocah cilik...
Empu Sangkala: Uwis ta sing uwis ya uwis, sesuk meneh sing waskitha, lan kebek pengati-ati. Ora ana ’simbok gething anak’, anane wong tuwa kuwi tresna anak. Sak galak-galake macan ora bakal kolu mangan gogor’e dewe (lht ket. bwh). Kepriye nyai, tutukna caritamu mau...
(Margiyati lan Niken raras rumangsa isin, banjur meneng ndungkluk)
Ny. Sagopi: Kula niku jane judeg nggagas cah loro niku....ngeten kisanak... prajurid-prajurid niku wau prajuride Sang Dewata Cengkar saking tlatah Medhang Kamulan. Dewata Cengkar niku panguwasa ning senengane mangan uwong, sing dipangan nggih kawulane dewe, mula kawula Medhang niku meh telas...
Margiyati: Sing tasih urip nggih mlayu supaya mboten dicekel terus di badhog. Kados kula, simbok, kalih Niken niki, ngungsi ndelik dugi ngriki. Papan sing paling aman nggih ngriki, dadi pandelikane tiyang kathah.
N. Raras: Malah anu kok Empu.., pejahe bapak niku dipangan kalian Dewata Cengkar.
Dora: Lha apa ora ana sing wani menggak utawa ngelingake sang Dewata Cengkar kuwi nyai?
Ny. Sagopi: Mboten enten, wong Sang Dewata Cengkar niku sekti tanpa tandhing, tur kejeme mboten ukur.
Empu Sangkala: Nyai, aku kepengin menyang Medhang Kamulan ngelingake marang Sang dewata Cengkar, tuduhna aku dalane...
Mbok randha sakaneke: (saut-sautan) ampun sang empu, mrika niku mung ajeng setor nyawa...
Empu Sangkala: Ora papa nyai, pati uripe manungsa kuwi wis ana sing nggarisake, ya Sang Panguwasa Agung, muga-muga aku bisa nyireb angkaramurka iki. Dora lan sira Sembada...
Dora – Sembada: Kula guru...(sembah dhadha)
Empu Sangkala: Aku bakal budhal menyang Medhang Kamulan netepi wangsit kang dumeling, yokuwi nyirep angkaramurkane Dewata Cengkar. Dora, kowe nderekake lakuku tumuju menyang Medhang Kamulan, lan sira Sembada, kowe tak percaya ngreksa keslametane wong-wong ing kene. Ayomana. nom-noman kang isih ana, gladhinen kanuragan lan aja lali nyebarake piwulang luhur minangka nggayuh kamulyaning donya lan swarga.
Dora-Sembada: Ngestokaken dawuh guru....
Empu Sangkala: Supaya anggonku lumebu ing Medhang ora ndadekake kawigaten kang luwih, prayogane pusaka iki tak tinggal ana kene (ndudud pusaka kang disengkelit). Sembada...
Sembada: kula guru...
Empu Sangkala: Aku titip pusaka iki tampanana, jaganen, reksanen kaya nyawanira dewe. Welingku Sembada..”Aja pisan-pisan sira menehake utawa masrahake pusaka iki marang sapa wae, yen dudu ingsun pribadhi kang teka mundhut”. Ngerti? (karo masrahake pusaka)
Sembada: Mugi-mugi kula saged ngestokaken dawuh panjenengan guru...pusaka menika badhe kula jagi nglangkungi gesang kula...
Dora: sing tenan lho dhi...yen saguh ya sing saguh tenan, ora mung nggah-nggih ning ora kepanggih.
Sembada: Iya kakang, aja kuatir. Sing pinter nyrateni Sang Empu lho kakang...
Dora: Beres dhi...
Empu Sangkala: Kabeh wae seksenana! Papan kene tak wenehi tenger dukuh ”BAKALAN”...
Sembada, nyai, nini, aku njaluk pamit. Pandongamu kang tak jaluk ngiringi lakuku. Ayo Dora..
Dora: Sumangga guru, kula dherekaken...
Sembada: Sembah kula ingkang nderek guru...
sing ngati-ati kakang Dora...
Nyai, Nini: Sing ngatos-atos kisanak, ndang wangsul ngriki....

Ket: Empu Sangkala lan Dora budhal ninggalake papan kono...

Babak 6
Setting: pendhapa Medhang Kamulan
Paraga: Dewata Cengkar, Karang Keleng, Prajurid, Sangkala, Dora.
Swasana: tegang

Ket: Dewata Cengkar nesu-nesu merga kesuwen nunggu buron manungsa kanggo dibadhog.. Sedela-sedela ngusap weteng. Bareng para prajuride teka, Dewata Cengkar ngguyu latah-latah sajak bakal mangan enak, nanging...?

Dialog:
Dew. Cengkar: Endi cah buadhoganku? Ha ha ha ha..., selak ra sabar rasaku kepengin nyesep-nyesep sungsum gegere menungsa, endi he, endi menungsane? Rungokna gilo wadhukku wis kemrucuk..
Kar. Keleng: e...anu, a...menung...
Dew. Cengkar: a e a e, ona-anu, apa !!? (wiwit nesu)
Kar. Keleng: Ketiwasan Kyai...jane wau mpun oleh menungsa telu, ning pas kula cekel enten uwong liyan wewengkon mriki nulungi. Tiyang telu, sekti kabeh. Prajurid sami kalah...(ndungkluk wedi)
Dew. Cengkar: Kethek elek!!! Nyambut gawe kaya ngono wae ora bisa ngrampungi, ketimbang nyenyepet mataku, malah kowe kabeh tak pateni dadi panganku (karo ngajar prajuride kabeh nganti pating gloso).

Ket: ana prajurid sowan (kyai!, kyaine!), nglarabake Empu Sangkala lan Sembada. Banjur satata maneh.

Dew. Cengkar: Kenyung! Ngapa kowe! (nguwasake Sangkala lan Dora, seneng atine, mendha nesune) we e e e e, sapa (k)uwiii? Hwa ha ha ha ha...
Kar. Keleng+Prajurid: Lha niku menungsane sing kula critakne wau kyai...ning wau kabeh wong telu
Dew. Cengkar: Hus!!! Isoh mingkem pora doan?! (karo ngagar-agari arep ngantem)... ngapa le. Hee?
Prajurid *: Niki enten wong loro ajeng pasrah dadi pangan njenengan Sang Dewata Cengkar.
Dew. Cengkar: He?? Hwa ha ha ha ha ha, apa aku ora salah krungu? Tenan cah bagus? (nguwaske lan nuding marang Sangkala)
Empu Sangkala: Leres sang Dewata Cengkar, sowan kula badhe nyarawidekaken gesang supados dados dhaharipun Sang Dewata Cengkar.
Dew. Cengkar: Sakdurunge kowe sakeloron tak badhog, luwih disik ngakua sapa jenengmu lan saka ngendi asalmu?
Empu Sangkala: Nami hamba empu Sangkala, lan wingking menika siswa hamba nami Dora, hamba menika pandhita kabur kanginan saking tlatah eler kilen tebih saking ngriki. Menawi sang prabhu kersa dahar daging hamba, hamba tanggung sang prabhu mboten badhe kraos lupa sapta hari laminipun...
Dew. Cengkar: Ha ha ha ha ha , mokal, mokal. Nanging ya sakkarepmu. Biasane wong yen wis cerak patine kuwi nglindur mangka ora turu. Hwa ha ha ha ha...(prajurid melu ngguyu lakak-lakak).

(Empu Sangkala amung meneng, semu ndungkluk. Jroning ati nyenyuwun kekuatan marang Sang maha Agung)

Dew. Cengkar: Saka senenging atiku, sakdurunge kowe tak pangan, kowe nduwe panjaluk apa, mesthi bakal tak turuti..ha ha ha ha ha...
Empu Sangkala: Menapa saged hamba ugemi?
Dew. Cengkar: Mesthi. Wang iki panguwasa gedhe, sugih tur sekti. Ndang kandha!!!
Empu Sangkala: Hamba namung nyuwun siti...
Dew. Cengkar: Lemah??? Arep tok nggo kuburan ya??! Njaluka sak karepmu, sisih ngendi pilihen.
Empu Sangkala: Hamba nyuwun siti ingkang wiyaripun sami kaliyan panjanging destar ingkang kula bekta menika...(karo ngetokake destar)
Dew. Cengkar: Hwa ha ha ha ha ha ha huk...huk...hukk...hem, gene mung sepele, wis ukuren, pilihen dewe sisih ngendi...
Empu Sangkala: Saratipun ingkang ngukur kedah sang Dewata Cengkar piyambak...
Dew. Cengkar: Mbok hiya..., kene tak ukure destarmu... (Dewata Cengkar nyaut destare Sangkala)

Ket: destar dipun tarik malah saya tambah panjang ngantos Dewata Cengkar dumugi perenging segara kidul.

Dew. Cengkar: Sangkala, jebul kowe pancen duwe niat nyingkirake aku, keparat, menus elek kowe!!! Sakiki rasakna, tak kebutke gombalmu ...
(muni mangkono, banjur nyendhal destar, nanging Sangkala tanggap, destar diculake, Dewata Cengkar kontal, kepleset kecemplung segara), banjur nyupatani:

(Dew. Cengkar: a...a...a...aaaaaaaaaa!!!! (mbengok amarga tiba saka jurang))

Dew. Cengkar: Wanti-wanti he Sangkala, sapa wae sing golek iwak ing segara kidul, bakal dadi panganku, sang Raja Siluman Baya Putih...
Empu Sangkala: Sakiki wani, mbesuk ya wani, pancen wis ginaris menawa kowe kudu sirna saka tlatah Jawa...
Keterangan sawetawis: Isih keprungu pangerone Dewata Cengkar saka segara kidul: :wrrrr...hwaooo..waaaaooooooo......, (suara ilang)
Empu Sangkala: Apa ana sing ora narimakake patine Dewata Cengkar?
Kar. Keleng+Praj: mboten sang empu, kula sadaya malah seneng, lan ajeng nderek Sang Empu...

Ket: Hyang Anggajali, lan para widodari tumurun nyebarake kembang wangi kanggo pakurmatan ungguling jurid sang Sangkala...
Hy. Anggajali: Kulub Prabhu Isaka, wiwit dina iki kita ulun winisudha jumeneng narendra ing Medhang Kamulan nata uribe kawula Jawa, ngrembakakake kabudayan kang luwih nduwe tatanan, lan jejuluka Prabhu ”AJI SAKA”. (Sangkala sembah dhadha ngaturke panuwun). Kanggo pengeling-eling, saka dina kalungguhan iki, kapetung tahun siji Caka!!!

(jagad geter nyekseni. Aji Caka, mlaku tumuju dampar)

Aji Caka: Dora...
Dora: Kula Gusti...
Aji Caka: Ingsun kemutan marang si Sembada lan pusakaningsun kang isih keri ing dukuh Bakalan.. dina iki sira sun utus bali menyang Bakalan, boyongen mrene si Sembada bebarengan lan pusakaningsun.
Dora: Sendika Gusti, keparenga patik nyuwun pamit...
(Dora Bidhal..., Hyang Anggajali paring pangandika)
Hyang Anggajali: Anak Prabhu...!
Aji Caka: Hamba rama pukulun...
Hyang Anggajali: Kepriye kok nganti kita kekilapan? Dupeh darbe panguwasa kita lali marang janji-janjimu marang kawulamu dewe. Kepriye kita iku?
Aji Caka: Ingkang rama pukulun pikajengaken kados pundi?
Hyang Anggajali: Apa jeneng kita lali marang watake si dora kang kurang jujur, lan sok goroh. Banjur eling-elingen welingmu dewe marang si Sembada nalika kita bakal budhal menyang medhang kene!
Aji Caka: Aduh, kula kalimput rama (karo ngadeg, tangan loro nyekel praupan).... Dora Sembada, entenana aku...
(ngoyak lakune Dora, para Dewa Ngetutake kanthi laku kadewatan)
Babak 7
Setting: Padhepokan dukuh Bakalan
Paraga: Sembada, Ny. Sagopi, Margiyati, Niken Raras, Dora
Swasana: ayem, bungah, ----- tegang, panas, panik

Ket: Sembada lungguhan ing lincak karo ngusap keris pusaka lan ngudarasa kahanane bendarane (Isaka), Ny. Sagopi nyapu, Niken nyekukruk...

Dialog:
Margiyati: Sang Empu, niki unjukane diunjuk riyin...
Sembada: Matur nuwun nini...kira-kira kepriye kahanane Sang Sangkala nini?
Ny. Sagopi: Ampun dipikir abot-abot, mengke yen urusane mpun rampung rak ndang wangsul utawi paring kabar.
Sembada: Ya muga-muga wae ora ana apa-apa nyai...

Ket: dumadakan Dora jumedhul lumebu ana ing padhepokan

Dora: Yayi Sembada...
Sembada: Kakang Dora..., lagi wae meneng dadi rerasan..., dipenakake sing lungguh kakang...
Dora: Kaya wis prayoga yayi...Nyai, nini, padha becik...
Sagopi+anak2e: nggih empu, sedaya slamet...lha pundi sang Sangkala?
Sembada: Iya kakang, kok si kakang mung dewean. Kanjeng gusti ana ngendi? Rak ora ana apa-apa ta kakang?
Dora: Aja padha kuatir. Gatekna tak critani lelakon saka aku budhal nderekake kanjeng gusti nganti tekaku mrene.;
Aku lan kanjeng gusti wis lumebu ana kedhatone Sang Raja Kanibal. Kanjeng gusti masrahake sarirane supaya dipangan dening sang raja kanibal...
Sembada: yen mengkono kanjeng gusti wis mangkat? Oh gusti...(ndungkluk semu nangis. Sagopi sakanake uga melu nangis lan nggelani)
Dora: Kosik ta, crita durung rampung kok dipedhot, dadi ilang gregete ngono...
Niken Raras: Woo...durung rampung ta niki wau, tiwas lek’ku purik njeblokne jogan...
Sembada: Bacutna kakang...
Dora: Saking senenge oleh memangsan, Sang Dewata Cengkar paring kanugrahan marang kanjeng gusti. Kanjeng gusti mung njaluk lemah ambane padha kalawan ambane destar kas diasta kangjeng guru, lan kudu Sang Dewata Cengkar dewe kang ngukur. Sang Raja Kanibal semu nyepelekake, destar banjur ditarik ngono wae...anehe destare kanjeng guru ora pedhot lan ora entek-entek ditarik nganti tekan ereng-erenging segara kidul. Destar banjur dikebutake dening kanjeng guru, Dewata Cengkar kecemplung segara malih baya putih...ngono critane...
Sembada+Sagopi+anak2e: Sukur sekethi jumurung, yen kaya mengkono kanjeng gusti unggul juride munah satru murka...banjur sakiki kanjeng gusti ana ngendi kakang?
Dora: Lha yo iki perluku teka ing dukuh Bakalan kene. Kanjeng gusti empu Sangkala wiwit dini kuwi kawinisida dening Dewa jumeneng nata Medhang kamulan jejuluk prabhu ”AJI SAKA”.
Sembada+sagopi+anak2e: we lha sukur, nyata bakal ana peradaban anyar ing pulo kene...
Dora: Ning ngene dhi...,mbaleni rembug tekaku ing kene saktemene diutus karo kanjeng gusti supaya mundhut utawa mboyong keris pusaka kang nalika semana dititipake marang yayi Sembada...tegese baliku menyang Medhang kudu bebarengan lan pusaka kuwi, lan yayi Sembada kajibah ngreksa dukuh kene, paring pangayoman marang para kawula Bakalan...mengkono pitungkase kanjeng guru marang aku, mula pusaka paringna dak boyonge dina iki uga yayi...
Sembada: Aduh kakang...(sedih, semu kuciwa ing batin), aku njaluk ngapura. Ora kok jeneng aku ora percaya karo si kakang, nanging pitungkase kanjeng gusti mbiyen marang aku ”aja pisan-pisan masrahake pusaka iki marang sapa wae kajaba ingsun dewe sing mundhut”, lan kakang uga nekseni. Dadi kepeksa aku ora bisa ngulungake kakang...aku wis janji marang kanjeng guru bakal ngreksa pusaka iki ngluwihi nyawaku dewe kakang...
Dora: Sembada...mosok kowe ora percaya karo aku? Aku uga mung netebi dhawuhe kanjeng gusti, yen nganti aku ora bisa nuhoni, iba wirangku Sembada....
Sembada: Nanging aku uga nuhoni dhawuh kakang...
Apa mengkene wae kakang, si kakang bali meneh menyang Medhang Kamulan lan matur marang kanjeng gusti apa kang tak aturake kabeh mau...apa yen perlu karo aku...
Dora: Sembada!! (Wiwit nesu)... yen kaya mangkono mau tegese kowe ngina marang kaluhuraning kanjeng gusti ya Sang Prabhu Aji Saka. Pangkatmu kuwi apa he?! Rak mung gedibal ta! Gene wani-wani ngereh ratu!
Sembada: Kakang, genea si kakang nesu? Aku rak mung nuhoni dawuh lan janji. Apa wae sing bakal tumempuh, pusaka iki tak rungkebi!
Sagopi Cs: Mbok empun, dirembug sing apik-apik..(karo panik jerit-jerit)
Dora: Wis menenga !!! cekake yen pusaka ora kok pasrahake sarana aris, bakal tak rebut kanthi cara rudapeksa!
Sembada: Yen kaya mangkono aku mung sakdrema ngladeni! Kowe sing miwiti!
Dora: Murang tata, nantang wong tuwa kowe!!! (karo jumangkah nyempalani Sembada)

Ket: Sembada sigap nandhingi Dora, keris pusaka diandhemi, disengkelit ing ngarep. Sagopi Cs jerit-jerit panik, banjur lunga saka papan kono arep golek pitulungan misah. Sru kang samya bandayuda, padha dene sekti pilih tandhing. Suwening suwe Sembada rada kelindhih kridhane, gurawalan ngunus keris katandukake ing dhadhane Dora. Tumancep jaja butul prapteng walikat, padha sakala Dora nglumpruk rubuh tanpa daya...Sembada kaget, rumangsa gela ing batin amarga wis mentala mrajaya sedulure tuwa. Lengging ati nedya paring pitulungan marang Dora, ngrangkul ngrungkebi Dora karo nangis...;

Sembada: Kakang Dora, aku ora sengaja kakang...dikuat-kuatake kakang...oh kakang...aku njaluk ngapura...
Dora: Sembada, dikayangapa’a kowe adiku...tak trima...sejatine aku kautus kanjeng gusti mboyong kowe lan pusaka...(celathune keprungu lan katon rekasa) = Metafor sinestesia.
Sembada: Gene’a si kakang ndadak goroh...ora-orane aku ngrayah kamuktenmu kakang...banjur sakiki piye iki...Nyai !!! Nyai !!! goleka pitulungan...
Dora: Ora perlu...kaya-kaya iki wis titi wanciku tumeka janji...nanging aku ora bisa pisah karo kowe Sembada...

(ket: karo ndudut keris kang tumanceb dhadha banjur katamakake ing dhadhane Sembada. Sembada mbengok kelaran, banjur nglumpruk tanpa daya...sakeloron gugur sampyuh bela benere dewe-dewe. Bebarengan kalawan tumanduking keris...Aji Saka teka ing papan kono banjur ngrungkebi kang padha pralaya...)

Aji Saka nangisi abdine sakeloron...
Aji Caka: Dora – Sembada...kepriye iki mau...kabeh iki salahku dewe, aku njaluk pangapura....oh dewa-dewa kula nyuwun pangayoman...(tumlawung)

Hyang Anggajali lan para widodari padha jumedhul nyebarake puspa manca warna kanggo ngormati gugure Dora lan Sembada. Hyang Anggajali paring Sabda;

Hy. Anggajali: Aji Saka!!! Ora ana gunane nggetuni lelakon kang wus dumadi, mbesuk meneh kudu luwih wicaksana, pancen kudu mangkono garising Kawasa. Prastawa iki minangka kaca brenggala menawa jagad iki dumadi saka rong perkara kang baku. Ana apik ana elek, ana lanang ana wadon, ana awan ana wengi, ana raga ana sukma, ana thesis lan ana anti thesis, iku mau jenenge oposisi binner (binarry opposition). Rong perkara mau saknyatane ora bakal bisa nyawiji selawase...Kamardikan iku pancen larang regane, panebuse ora mung sarana bandha, nanging uga tetesing ludira wekasan. Jer basuki mawa bea !!!
Aji Caka: Mugi jagad anyekseni, wiwit dinten menika kula badhe damel prasasti kangge ngengeti lelabuhanipun Dora lan Sembada; WONTEN UTUSAN, PERANG TANDHING, SADAYA UNGGUL, SADAYA GUGUR...
Dewa-dewi: Ulun hanyekseni kulub...
Aji Caka: (tumlawung banjur ngucap;)
H A – N A – C A – R A – K A
D A – T A – S A – W A – L A
P A – D H A – J A – Y A – N Y A
M A – G A – B A – T H A – N G A

WIDODARI: “P R A S A S T I D E N T A W Y A N J A N A” !!!

Keterangan Sawetawis: Sasampunipun Nyabda makaten, sedaya paraga panggung tablo, iringan “Ayak Layu-layu” sawetawis...tabrak mataraman seseg – suwuk.




*TAMAT*
Lampiran:

Properti: Bancik persegi; 3 buah ditumpuk, Toak (saka pring), meja kecil dibuntel koran (dadi meja watu kothak), tangan palsu, slendhang, tali tampar, kayu sakbongkok, destar (back groun coklat panjang), keris 1, pedhang (gobang), kapak untuk prajurid, gombal lab bersih (untuk ngelap pusaka), back ground hitam buat tutub bancik/level, bunga setaman 7 bungkus untuk bidadari.

Costum: *Costum Hy. Anggajali; Dewa (Semu resi)
*Costum widodari 7; putri gebyar/mewah = menandakan sudah berperadaban tinggi.
*Costum Raja (Isaka); gebyar, mewah, jaman Hindu (spt costume mb. Karna = Aswapati dlm Sawitri)
*Costum resi/Mpu Sangkala; mendhita lugu, memakai simpai
*Costum Dora – Sembada; Satriya ligan (ngliga), iket cara pendekar (lht; Wira Sableng), hanya ditambah simpai
*Dewata Cengkar; rambut gimbal, pakaian embrong-embrong, sedikit perhiasan = menandakan peradaban belum maju/tinggi.
*Sagopi Cs; Kemben elek, rada kluwuk, jarit tagen ngisor dhengkul.
*Punggawa Medhang Kamulan; gimbalan, prajuridan, nduwur sampur tarzan.






”Analisis Singkat Tentang Carakan Jawa”

Asal mula terjadinya carakan Jawa yang beredar di masyarakat, oleh para sarjana dikategorikan sebagai cerita mitologie semata. Namun benarkah aslinya seperti itu ? Untuk menjawab misteri tersebut, memerlukan penjelasan dan penelusuran history yang panjang dan rumit, sedangkan data tertulis hanya bisa diketahui melalui karya pujangga terakhir Karaton Kasunana Surakarta Hadiningrat, R.ng Rangga Warsita. Selebihnya, cerita tersebut lebih populer secara lisan, dan oleh beberapa sarjana hanya dianggap sebagai folk cultur semata tanpa menoleh kepada makna intelektualnya.
Katakan bahwa legenda Aji Saka merupakan cerita fiksi, sebuah karya sastra/seni, namun tidaklah mungkin – alias mustahil apabila sebuah penciptaan karya atau teks hanya semata-mata berdasarkan daya ekspresif imaginatif. Secara natural, penciptaan/prosesnya biasanya berdasarkan kepada sesuatu yang ada sebagai simulacrumnya. Jadi jelas bahwa cerita Aji Saka digarap berdasarkan beberapa atau kemungkinan-kemungkinan suatu peristiwa monumental.
*Beberapa Pandangan;
Ada sebuah analisis dari seorang sarjana sejarah yang mengatakan bahwa mitologi Aji Saka merupakan cerita fiktif yang dibuat oleh penjajah Belanda untuk menjajah mental budaya suku Jawa. Bukti yang disodorkan adalah ketika carakan HA NA CA RA KA diartikan sebagai ’ada utusan’ – penjajah membentuk mental suku Jawa sebagai mental budak, pembantu, atau pesuruh, dan bukan mental majikan. Analisis ini menarik, tetapi secara psikologi dan melihat tingkat pemahaman atau analisis masyarakat kita tempo dulu, analisis ini kurang bisa dipertahankan.
Analisis yang lain adalah ketika asal-usul mitos ini sulit dirunut asalnya, maka Ronggo Warsito mencoba merumuskan sebuah dongengan agar mudah diingat oleh masyarakat tentang asal mula carakan Jawa.
Analisis lain yang lebih mudah diterima dengan logika adalah dengan jalan menempuh jalan history philoshopie. Melihat teks Aji Saka dan meninjau sejarah perkembangan budaya Indonesia, Jawa Khususnya, jalas bahwa terjadi diffusi kebudayaan dari Hindia ke Indonesia yang dilambangkan dengan datangnya Aji Saka. Artinya bahwa kebudayaan Jawa didominasi oleh kebudayaan Hindu. Sebelum kedatangan Hindu ke Jawa, suku Jawa dianggap sebagai manusia kalang atau manusia yang belum memiliki peradaban. Hindu di anggap sebagai bangsa yang berperadaban sudah maju atau tinggi. Orang Jawa masa itu dilambangkan dengan ’Dewata Cengkar’ seorang kanibal. Nama ’Dewata Cengkar’ sering diterjemahkan dengan makna ’dewa yang ingkar’. Nama ’Aji Saka’ secara etimologie berasal dari kata ’Aji’ yang berarti jimat, yang dimuliakan, raja, sesuatu (ajaran) yang berharga, sedangkan kata ’Saka’ berarti tiang penyangga utama (Jw: cagak). Jadi secara etimologie, nama ’Aji Saka’ bisa diterjemahkan sebagai suatu ’ajaran pokok yang utama – mulia’ atau penyangga, penopang ajaran mulia. Pada tingkat perkembangannya muncul istilah saka guru, dan dalam hal ini ’guru’ merupakan pengganti kata ’aji’ karena sosok guru adalah sosok yang di-aji-aji atau dihormati. Saka guru ini akhirnya mengalami metamorfosa makna dan memiliki arti ’penyangga’ (tiang utama).
Analisis seperti di atas memberikan dua pandangan sekaligus, yaitu; pertama bahwa ceritera ini dituturkan, dikembangkan oleh agen Hinduisme dalam rangka ekspansinya di Nusantara, kedua adalah dikembangkan oleh orang-orang Jawa sendiri (penganut Hinduisme) sebagai padanan terhadap munculnya kepercayaan baru dan menurunnya pamor Majapahit pada akhir abad 15. Pertanyaan pokok tentang mitologi carakan Jawa adalah; carakanipun – sinten – carakanipun. Itulah yang perlu diteliti lebih mendalam lagi.




P e n g a s u h K K T T W I s w a k a r m a n, F S S R , U N S




A r i f H a r t a r t a, S. S.
J u n e – 2 0 0 9

1 komentar:

  1. pripun mas arip makin maju ae kie....hehehehehehe
    monggo mampir...
    http://www.guritaku.co.cc

    BalasHapus